Senin, 21 September 2015

hakekat manusia dan pengembangannya oleh Rizal,S.pd.M.Hum ( Dosen Pengantar Pendidikan FKIP,UHO)



BAB 1
HAKEKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA

Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud Rasional, membantu peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia. Ibarat biji mangga bagaimanapun wujudnya jika ditanam dengan baik, pasti menjadi pohon mangga dan bukannya menjadi pohon jambu.
Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan benar dan tepat, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia itu sebenarnya memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dari hewan. Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu (integrated) dan apa yang disebut sifat hakekat manusia. Disebut sifat hakekat manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidik terhadap sifat hakekat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan serta memberikan acuan baginya dalam bersikap. menyusun strategi, metoda dan teknik memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional didalam interaksi edukatif. Dengan kata lain, dengan menggunakan peta tersebut sebagai acuan seorang pendidik tidak mudah terkecoh ke dalam bentuk-bentuk transaksional yang patologis yang berakibat merugikan subyek didik.
Analisa kedua mengapa gambaran yang benar dan jelas tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah karena adanya perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini dan lebih-lebih pada masa mendatang. Memang banyak manfaat yang dapat diraih bagi kehidupan manusia daripadanya. Namun, disisi lain tidak dapat dielakkan akan adanya dampak negatif, yang terkadang tanpa disadari sangat merugikan bahkan mungkin mengancam keutuhan eksistensi manusia, seperti ditemukannya bom kimia dan bakteri, video dan DBS (Direct Broadcasting System), rekayasa genetika dan lain-lain, yang digunakan secara tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu adalah sangat strategis jika pembahasan tentang hakekat manusia ditempatkan pada bagian pertama dari seluruh pengkajian tentang pendidikan dengan harapan menjadi titik tolak bagi paparan selanjutnya.
.
A.    Sifat Hakekat Manusia
Sifat hakekat manusia menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan praktek yang berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif. Besifat filosofis karena untuk mendapatkan landasan yang kokoh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar sistematis dan universal tentang ciri yang hakiki dari manusia
Karena pendidikan mempunyai tugas untuk menumbuh kembangkan sifat hakekat manusia tersebut sebagai sesuatu yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Uraian selanjutnya akan membahas pengertian sifat hakekat manusia dan wujud sifat hakekat manusia.

  1. Pengertian sifat hakekat manusia
Sifat hakekat manusia diartikan sebagai ciri-ciri yang karakteristik, yang secara prinsipal (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dan hewan. Meskipun antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi biologisnya.
Bentuknya (misalnya orang hutan) bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan segala dan ada persamaan metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filsuf seperti Socrates menamakan manusia itu (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller menggambarkan manusia sebagai Das Kranke tier (hewan yang sakit) (Drijarkara, 1962: 138) yang selalu gelisah dan bermasalah.
Kenyataan dan pernyataan demikian ini dapat menimbulkan kesan yang keliru, misalnya mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu perbedaan yang dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya dengan air karena perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan orang utan dapat dijadikan manusia. Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah ditemukan. Charles Darwin (dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia berasal dari primata atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap menjembatani pro perubahan dari primata ke manusia yang tidak sanggup diungkapkan yang disebut The Missing Link yaitu suatu mata rantai yang putus. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dan primata atau kera melaiui proses evolusi.

  1. Wujud Sifat Hakekat Manusia
Pada bagian ini akan dipaparkan wujud sifat hakekat manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan) yang dikemukakan oleh faham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan dalam membenahi konsep pendidikan yaitu :
a.       Kemampuan menyadari diri
b.      Kemampuan bereksistensi
c.       Pemilikan kata hati
d.      Moral
e.       Kemampuan Tanggungjawab
f.       Rasa kebebasan (kemerdekaan)
g.      Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari hak
h.      Kemampuan menghayati kebahagiaan

Butir-butir tersebut akan dikemukakan pada uraian dibawah ini.
a.       Kemampuan menyadari diri
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia itu, maka manusia menyadari bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini menyebabkan manusia dapat membedakan lahirnya dengan Aku-Aku yang lain (ia, mereka) dan dengan non Aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya itu manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungan yang baik yang berupa pribadi maupun non pribadi/ benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi di sekitar, adapun pohon, batu, cuaca dll merupakan lingkungan non pribadi.
Kemampuan membuat jarak dengan lingkungannya berarah ganda yaitu arah ke luar dan ke dalam.
Dengan arah ke luar, Aku memandang dan menjadikan lingkungan itu sebagai obyek dan Aku memanipulasi untuk memenuhi kebutuhan Aku. Puncak aktivitas mengarah ke luar ini keluar sebagai gejala egoisme. Dengan arah ke dalam, Aku memberi status kepada Iingkungan (dalam hal ini Kamu, Dia, Mereka), sebagai subyek yang berhadapan dengan Aku sebagai obyek, yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa dan seterusnya. Dengan kata lain Aku keluar dan dirinya dan menempatkan Aku pada diri orang lain. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang terpuji. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah luar merupakan pembinaan aspek sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti peimbinaan aspek individualitas manusia. Yang Iebih istimewa ialah bahwa menusia dikaruniai kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri akunya sendiri. Sungguh merupakan suatu anugerah yang luar biasa, yang menempatkan posisi manusia itu sebagai makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Aku seolah-olah keluar dari dirinya dengan berperan sebagai subyek kemudian memandang dirinya sendiri sebagai obyek. Untuk melihat kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat pada dirinya. Pada saat demikian seorang Aku dapat berperan ganda (sebagai subyek dan sekaligus sebagai obyek), suatu aktivitas yang tidak mudah untuk dilakukan. Bukankah pada suatu ketika manusia dapat berperan sebagai polisi, hakim, pendidik atas dirinya sebagai pesakitan, terdakwa, siterdidik. Lazim dikatakan bahwa peran yang paling besar ialah menghadapi musuh yang ada didalam diri sendiri. Inilah manifestasi dan puncak karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul dari hewan. Drijarkara (Drijarkara: 138) menyebut kemampuan tersebut dengan istilah “mengAku”, yaitu kemampuan mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan sehingga Aku dapat berkembang ke arah kesempurnaan diri. Kenyataan seperti di gambarkan itu mempunyai implikasi Paedagogis, yaitu keharusan pendidikan untuk menumbuh kembangkan kemampuan meng-Aku pada peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri yang oleh Langeveld disebut self forming perlu mendapat perhatian.

b.      Kemampuan Bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara Aku dengan obyek, lalu melihat obyek itu sebagai sesuatu yang ada disana, berarti manusia itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan Waktu. Dengan demikian manusia tidak terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tapi dapat menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena manusia memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan, melainkan “meng-ada” dimuka bumi (Drijarkara, 1962 : 61-63). Jika seandainya pada diri manusia itu tidak terdapat kebebasan, maka manusia itu tidak lebih hanya sekedar “esensi” belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada” dan tidak pernah meng ”ada” atau “ber-eksistensi”. Adanya kemampuan bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari hewan selaku makhluk infra human, di mana hewan menjadi onderdil dari lingkungan, sedangkan manusia menjadi manager terhadap lingkungannya.

c.       Kata Hati (Geweten Consciance of man)
Kata Hati atau (conscience)  of man juga sering disebut sebagai istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita hati dsb. Conscience adalah pengertian yang ikut serta atau pengertian yang mengikut perbuatan.
Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang  apa yang akan sedang dan yang telah dibuatnya , bahkan mengerti juga akibatnya (baik atau buruk) bagi manusia sebagai manusia.)
Dengan sebutan pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik buruknya perbuatannya sebagai manusia.
d.      Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai perbuatan maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika) adalah perbuatan itu sendiri.
Disini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya merupakan realisasi dari kata hatinya. Untuk menjembatani jarak yang mengantarai keduanya masih aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak orang yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak memiliki moral (keberanian berbuat). Itulah sebabnya pendidikan moral sering disebut pendidikan kemauan, yang oleh Langeveld dinamakan De oveodaling om zichzelfs wil.

e.       Tanggungjawab
Kesediaan untuk menanggung segenap akibat dari perbuatan yang menuntut tanggungjawab, merupakan pertanda dari sifat orang yang bertanggungjawab. Wujud bertanggungjawab bermacam-macam. Ada tanggungjawab kepada diri sendiri, tanggungjawab kepada masyarakat, dan ada tanggungjawab kepada Tuhan. Tanggungjawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam. Bertanggungjawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma sosial. Bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan masyarakat, hukuman dll. Bertanggungjawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa, terkutuk.
Di sini tampak betapa eratnya hubungan antara kata hati, moral dan tanggung jawab. Kata hati memberi pedoman, moral melakukan dan tanggungjawab merupakan kesediaan menerima konsekuensi dari perbuatan.
Eratnya hubungan antara ketiganya itu juga terlihat dalam hal bahwa kadar kesediaan bertanggungjawab itu tinggi apabila perbuatan dengan kata hati (yang dimaksud kata hati yang tajam). ltulah sebabnya orang yang melakukan sesuatu karena paksaan (bertentangan dengan kata hati) sering tidak bersedia untuk memikul tanggungjawab atas akibat dari apa yang telah dilakukannya.
Dengan demikian, tanggung jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh kata hati, oleh masyarakat) oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh kesadaran dan kerelaan. Dari uraian di atas menjadi jelas betapa pentingnya pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota masyarakat.
f.       Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas (tidak merasa terikat oleh sesuatu) tetapi yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia. Dalam pernyataan tersebut ada dua hal yang kelihatannya saling bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia” yang berarti ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya. Dengan kata lain, ikatan luar (yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam (yang menggerakkan). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabi buta tanpa memperhatikan petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu. Sebab hanya kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan seperti itu segera disusul dengan sanksi-sanksinya, dengan kata lain kebebasan demikian segera akan diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang justru mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis membunuh (perbuatan bebas tanpa ikatan) biasanya berupaya mati-matian menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Disini bahwa kemerdekaan erat berkaitan dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa merdeka apabila segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kata hatinya yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, karena perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk dipertanggungjawabkan, dan tidak akan sedikit pun menimbulkan kekhawatiran (rasa ketidak merdekaan). Implikasi paedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan agar peserta didik dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan kedalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merintangi gerak hidupnya.

g.      Kewajiban dan hak
Kewajiban dan hak adalah dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu belum di penuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang harus dipenuhi haknya. Pada dasamya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong. artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Dan meskipun sudah diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya (misalnya hak cuti tahunan). Namun terlepas dan persoalan apakah hak itu diketahui atau tidak, digunakan atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak yag berkewajiban untuk bersiap sedia memenuhinya.
Dalam reliatas hidup sehari-hari, umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban dipandang sebagai suatu beban. Benarkah kewajiban menjadi beban manusia? Ternyata bukan beban melainkan suatu keniscayaaan (Drijarkara, 1978: 24- 27). Artinya. Selama seseorang menyebut dirinya manusia, dan mau dipandang sebagai manusia, maka wajib itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika mengelakkannya maka ia berarti mengingkari kemanusiaannya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial). Karena itu seseorang semakin menyatu dengan kewajiban, nilai dan martabat kemanusiaannya semakin tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain melaksanakan “kewajiban” itu adalah suatu keluhuran. Alangkah luhurnya seorang guru yang melaksanakan kewajiban sebaik baiknya sebagai guru (tanpa pamrih). Seorang prajurit yang melaksanakan tugas (kewajiban) sepenuhnya di medan perang adalah suatu perbuatan yang luhur. Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi Iebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain dan sejenisnya.
Melaksanakan kewajiban berarti terikat kepada kewajiban, tetapi anehnya-yang sesungguhnya bukan keanehan, manusia memilihnya. Mengapa ? Sebabnya adalah karena melaksanakan kewajiban berarti meluhurkan diri sebagai manusia. Atau merasa baru manusia bila mentaati kewajiban. Dengan demikian baru merasa lega, bebas atau merdeka.
Dilihat dan segi ini, wajib bukanlah “ikatan”, melainkan suatu keniscayaan. Karena wajib adalah keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerimanya. Tetapi terhadap keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia merdeka untuk memilihnya dengan konsekuensi jika taat akan meningkat martabatnya sebagai manusia, dan jika melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia.
Sudah barang tentu realisasi hak dan kewajiban dalam prakteknya bersifat relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Sebab tak ada kewajiban untuk melaksanakan hal yang mustahil (yang berada diluar sikon dan kemampuan). Kita sama mengetahui misalnya bagaimana realisasi hak asasi manusia atas pendidikan dan wajib belajar di negara-negara yang sedang berkembang pada umumnya. Jadi meskipun setiap warga punya hak untuk menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang tersedia belum memadai, maka orang harus menerima keadaan itu. Realisasinya sesuai dengan sikon. Hak yang secara asasi dimiliki oleh setiap insan serta sesuai dengan tuntutan kodrat manusia disebut hak asasi manusia.
Pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak segenap kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan sebagai cita-cita, aspirasi-aspirasi atau harapan-harapan yang berfungsi untuk memberi arah pada segenap usaha menciptakan keadilan.
Kemampuan menghayati kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuh kembangkan rasa wajib sehingga dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin.
Jika ada orang tua yang beranggapan bahwa pendidikan disiplin dan tanggung jawab belum sepantasnya diberikan kepada anak-anak sejak masih balita adalah keliru. Benih-benih kedisiplinan dan rasa tanggung jawab seharusnya sudah mulai ditumbuh kembangkan sejak dini, baik sejak anak masih dalam keranjang ayunan, melalui latihan kebiasaan (habit forming) khusunya mengenai hal-hal yang nantinya bersifat rutin dan dibutuhkan di dalam kehidupan. Disiplin diri menurut Selo Soemarjan (Wawancara TVRI. Desember, 1990) meliputi empat aspek yaitu:
a.       Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran menimbulkan rasa salah
b.      Disiplin sosial, jika dilanggar menimbulkan rasa maIu
c.       Disiplin afektif, jika dilanggar menimbulkan rasa gelisah
d.      Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan rasa berdosa
Keempat macam disiplin tersebut perlu diTamankan pada peserta didik dengan disiplin agama sebagai titik tumpu.

h.      Kemampuan Menghayati Kebahagian
Kebahagiaan adalah suatu istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang disebut “kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit untuk dirasakan. Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami rasa bahagia. Untuk menjabarkan arti istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas dipahami serta memuaskan semua pihak sesungguhnya tidak mudah. Ambillah misal tentang sebutan: senang, gembira, bahagia dan sejumlah istilah lain yang mirip dengan itu. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang mengalami rasa senang atau gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan.
Sebahagian lagi menganggap bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan, sebab kebahagiaan sifatnya lebih permanen dari pada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer. Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dan sejumlah kesenangan. Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendapat bahwa kebahagian tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan saja, tetapi lebih dan itu, merupakan integrasi dan segenap kesenangan, kegembiraan, kepuasaan dan lain-lain sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman pahit dan penderitaan. Proses integrasi dan kesemuanya itu (yang menyenangkan maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut “bahagia”.


HASIL
 











Gambar 1.1a Kebahagiaan sebagai hasil perpaduan dari pengalaman
yang menyenangkan (+) dengan yang pahit (-) dan
antara proses dengan hasil.

Peliknya persoalan mungkin juga disebabkan oleh karena kebahagian itu lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan. Pada saat orang menghayati kebahagiaan aspek rasa lebih berperan dari pada aspek nalar. Oleh karena itu dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya irrasional. Padahal kebahagiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu ternyata tidak demikian, karena aspek-aspek kepribadian yang lain seperti akal pikiran juga ikut berperan.
Bukankah seseorang hanya mungkin menghayati kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi obyek rasa bahagia itu? Juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Di sini jelas bahwa penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar disamping aspek rasa.
Kepelikan lain lagi yang mungkin timbul ialah apabila kebahagiaan itu dipandang sebagai suatu kondisi atau keadaan (yaitu kondisi emosi yang pasitif) disamping sebagai suatu proses. Di muka telah dijelaskan bahwa kebahagiaan itu merupakan suatu intergrasi pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dengan yang pahit antara perasaan dan penalaran. Sekarang pengertian integrasi mencakup perpaduan proses dan hasilnya, sehingga persoalan menjadi lebih pelik lagi.
Juga dengan predikat kelulusan yang baik, karena mencapai IPK: 3,8). (kebahagiaan). Setelah itu dengan masa menunggu sekitar setahun (penderitaan) dapat diterima pada sebuah perusahaan kimia dengan gaji yang sangat menggembirakan (kebahagiaan). Setelah dua tahun dinas ia mendapat kecelakaan (penderitaan), karena mukanya terkena uap kimia yang menjadikan ia rusak mukanya dan kedua matanya buta (azab).
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik dari apa yang telah dipaparkan tentang kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan itu rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual (lulus sebagai sarjana, mendapat pekerjaan dan seterusnya) ataupun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut didalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu: usaha, norma-norma dan takdir.
Yang dimaksud dengan usaha adalah perjuangan yang terus-menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup dengan menghadapi masalah itulah ialah hidup. Karena itu masalah hidup harus dihadapi. Masalah hidup adalah sesuatu yang realistis, obyektif, bukan sesuatu yang dibuat-buat. Orang mengalami kebahagiaan bila bersedia menyerah kepada obyektifitas (Drijarkara). Kebahagiaan juga sesuatu yang realistis bukan dibuat-buat. Orang yang menderita tidak dapat megatakan kepada orang lain bahwa ia bahagia, atau menunjukkan sikap atau lagak seolah-olah bahagia.
Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu pada norma-norma/kaidah-kaidah. Kebahagiaan adalah hidup yang tenteram. Hidup tenteram terlaksana dalam hidup tanpa ada tekanan. Itulah hidup merdeka. Di muka sudah dijelaskan bahwa merdeka dalam arti yang sebenarnya, bukan merdeka dalam arti bebas liar tanpa kendali yang justru mengundang keonaran dan akhirnya tekanan-tekanan. Seseorang akan hanya merasa merdeka dalam arti yang sebenarnya bila olehnya tidak dirasakan adanya belenggu/ikatan-ikatan, paksaan-paksaan dari aturan-aturan (norma-norma), yakni apabila ia telah menyatukan diri dengan norma-norma kehidupan sehingga kehidupannya dan segenap sepak terjangnya merupakan pancaran (personifikasi) dari norma-norma. Jadi kebahagiaan dicapai dengan penyatuan diri dengan norma-norma (kaidah-kaidah hidup). Dilihat dan segi ini tampak pula bahwa kebahagiaan yang sifatnya individual itu karena derajat kebahagiaan sangat tergantung kepada orang seorang mengandung juga sisi sosial, karena norma-normal kaidah-kaidah hidup selalu bersifat sosial.

Kemudian takdir merupakan rangkaian yang tak terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan. Komponen takdir ini erat bertalian dengan komponen usaha. Pepatah yang menyatakan “Manusia berusaha Tuhan menyudahi”, harus diartikan bahwa istilah takdir baru boleh disebut sesudah orang melaksanakan usaha sampai batas kemampuan, kemudian hasilnya-sepadan atau tidak dengan yang diinginkan, diterima dengan pasrah serta penuh kesyukuran. Kebahagiaan hanya dapat diraih oleh mereka yang mampu bersyukur. Untuk itu kemampuan menghayati sangat diperlukan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat dikembangkan, yaitu: kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan keagamaan.










Gambar 1. 1b        Kebahagiaan sebagai perpaduan dari usaha, hasil/
takdir dan kesediaan menerimanya.
Manusia adalah makhluk yang serba terhubung, dengan masyarakat, lingkungannya, dengan dirinya sendiri dan dengan Tuhan. Beerling mengemukakan sinyalemen Heinemann bahwa pada abab 20 manusia mengalami krisis total. Disebut demikian karena yang dilanda di sini hanya segi-segi tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis energi dan sebagainya, melainkan yang krisis adalah manusianya sendiri (Berling, 195 1:43).
Dalam krisis total manusia mengalami krisis hubungan dengan masyarakat, dengan lingkungannya dengan dirinya sendiri dan dengan takdir, usaha. Tidak ada pengenalan dan pemahaman yang seksama terhadap apa atau dengan siapa dia berhubungan. Tidak ada kemesraan hubungan dengan apa atau siapa ia berhubungan. Inilah bencana yang melanda manusia sehingga manusia semakin jauh dari kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia meningkatkan kualitas hubungannya sebagai mahkluk yang memiliki kondisi serba terhubung. Dengan diri sendiri memahami kelebihan dan kekurangan- kekurangannya. Kelebihannya ditingkatkan, kekurangan diperbaiki. Dengan lingkungan alam dapat memanfaatkan (mengeksploitasi) sembari peduli terhadap pelestarian dan pengembangannya. Terhadap Tuhan memahami ajaran-Nya dan dapat mengamalkannya (lihat Gambar 2).
Dalam hubungan ini pendidikan mempunyai peranan penting sebagai wahana untuk menghantar peserta didik mencapai kebahagiaan yaitu dengan jalan membantu mereka meningkatkan kualitas hubungannya dengan dirinya, lingkungannya dan dengan Tuhannya.
Yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi manusia dengan segenap keadaan dan kemampuannya. Manusia menghayati kebahagiaan apabila jiwanya bersih dan stabil. Jujur, bertanggungjawab, mempunyai pandangan hidup dan keyakinan hidup yang kokoh dan bertekad untuk merealisasikan dengan cara yang realistis demikian Max Scheler (Drijarkara,1978: 137-140)













HK    : Hubungan Konsentris (memahami kelebihan dan kekurangan diri)
HH1 : Hubungan Horisentral (perimbangan antara hak dengan kewajiban)
HH2 : Hubungan Horisentral (perimbangan antara mengeksploitasi dengan melestarikan)
HV    : Hubungan Vertikal (pemahaman dan pengalaman nilai agama)
Gambar 1.2 Manusia sebagai makhluk serba terhubung
Disamping itu, kepribadian harus serasi dan berimbang. Antara segenap aspek kepribadian terdapat perimbangan yang selaras. Begitu juga antara kemampuan rohani dan jasmani, antara cipta dan rasa dan dengan karsa, antara cita-cita dengan kemampuan mencapainya, antara kemampuan berihktiar dengan kesediaan menerima hasilnya. Jiwa yang bersih stabil dan kpribadian yang selaras membuka kemungkinan bagi terciptanya suasana hidup dengan penuh kedamaian. Pendidikan dapat dimanipulasikan untuk membina terbentuknya kepribadian yang demikian.


B.     Dimensi-dimensi Hakekat Manusia Potensi, Keunikan dan Dinamika
Di dalam butir A telah diuraikan sifat hakekat manusia. Pada bagian ini sifat hakekat tersebut akan dibahas lagi dimensi-dimensinya atau dititik dan sisi lain. Ada 4 macam dimensi yang akan di bahas yaitu :
1.  Dimensi Keindividualan
2.  Dimensi Kesosialan
3.  Dimensi Kesusilaan
4.  Dimensi Keberagamaan

  1. Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”, sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide). Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. (Lysen, Individu dan Masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri. Tidak ada diri individu yang identik dimuka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld (seorang pakar pendidikan yang tersohor di tanah Belanda) yang mengatakan bahwa setiap orang memiliki individualitas (M.J.Langeveld, 1955: 54) Bahkan dua anak kembar yang berasal dan satu telur pun, yang lazim dikatakan seperti pinang dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat fisiknya maupun hidup kejiwaannya (Kerohaniaannya). Dikatakan bahwa setiap individu bersifat  unik (tidak ada tara dan bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat perbedaan mengenai matanya. Secara kerohaniaan mungkin kapasitas intelegensinya sama tetapi kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita, kecenderungan, semangat, daya tahan yang berbeda. Dalam hidup sehari-hari dua orang murid sekelas yang mempunyai nama sama tidak pernah bersedia untuk disamakan satu sama lain. Pendek kata, masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya sendiri. Gambaran tersebut telah dikemukakan oleh Francis Galton seorang ahli biologi dan matematika dari Inggris dari hasil penelitiainya terhadap banyak pasangan kembar satu telur.  Ternyata tidak sepasang pun yang identik.
Kecenderungan akan perbedaan ini sudah mulai bertumbuh sejak seorang anak menolak ajakan ibunya pada masa kanak-kanak. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa setiap orang memiliki sikap dan pilihan sendiri yang dipertanggungjawabkan sendiri, tanpa mengharapkan bantuan dari orang lain untuk ikut mempertanggungjawabkan.
Kesanggupan untuk memikul tanggungjawab sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada diri manusia. M.J. Langeveld menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapat dijadikan tempat bergantung untuk memberi penlindungan dan bimbingan. Sifat-sifat sebagaimana digambarkan di atas yang secara potensial telah dimiliki sejak lahir perlu ditumbuh kembangkan melalui pendidikan agar bisa menjadi kenyataan. Sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian yang unik akan tetap tinggal laten. Dengan kata lain kepribadian sescorang tidak akan terbentuk dengan semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian yang khas sebagai miliknya. Jika terjadi hal yang demikian, seseorang tidak memiliki kepribadian yang otonom dan orang seperti ini akan tidak memiliki pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa. Padahal fungsi utama pendidikan adalah membantu peserta didik untuk membentuk kepribadiannya, atau menemukan kediriannya sendiri. Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok untuk mendorong bertumbuh dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana dimaksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya yang bersifat otoriter) dalam hubungan judul disebut pendidikan yang patologis. Dalam pengembangan individualitas melalui pendidikan tidak dibenarkan jika pendidik memaksakan keinginannya kepada subyek didik. Tugas pendidik hanya menunjukkan jalan dan mendorong subyek didik bagaimana cara memperoleh sesuatu dalam mengembangkan diri dengan berpedoman pada pinsip “ing ngarso sungtulodo, ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.

  1. Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi sosialitas. Demikian kata M.J. Langeveld (M.J. Langeveld, 1955: 54) pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat saling berkomunikasi yang ada hakekatnya didalamnya terkandung unsur saling memberi dan menerima. Bahkan menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan. Adanya dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi. Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa senang. Kemudian sebagai balasan ia dapat memberikan senyuman kepada lingkungannya, khususnya pada ibunya. Kelak jika sudah dewasa, dan menduduki status atau pekerjaan tertentu, dorongan menerima dan memberi itu berubah menjadi kesadaran akan hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus dilaksanakan untuk kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari memberi.
Adanya dimensi kesosialan pada diri manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya dorongan tersebut sehingga dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat dirasakan oleh manusia, karena dengan diasingkan dalam penjara berarti diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak. Masih banyak contoh-contoh lain yang menunjukkan betapa dorongan sosialitas tersebut demikian kuat. Tanpa orang menyadari sebenarnya ada alasan yang cukup kuat. Bukankah tidak ada orang yang dapat hidup tanpa bantuan orang lain? Kenyataan ini tidak hanya berlaku pada bayi yang belum berdaya. Bantuan dari orang lain itu tetap diperlukan pada masa anak, remaja, setelah dewasa bahkan sampai kepada sisa-sisa usia dalam kehidupan seseorang. Immanuel Kant seorang filosof tersohor bangsa Jerman menyatakan manusia hanya menjadi manusia jika berada diantara manusia. Kiranya tidak usah dipersoalkan bahwa tidak ada seorang manusia yang dapat hidup seorang diri lengkap dengan sifat hakekat kemanusiaannya ditempat terasing yang terisolir. Mengapa demikian? Sebabnya, orang hanya dapat mengembangkan individualitasnya di dalam pergaulan sosial. Seorang dapat mengembangkan kegemarannya, sikapnya, cita-citanya didalam interaksi dengan sesamanya. Seseorang berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang dikagumi dan orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak dicocokinya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling menerima dan memberi seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaaimya. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa anak manusia tidak akan menjadi manusia bila tidak berada diantara manusia, antara lain cerita tentang manusia terpencil yaitu anak yang diketemukan oleh seorang pendeta bangsa India yaitu Mr. Singh dalam sebuah gua, waktu ia sedang berburu. Yang besar berumur 8 tahun dan yang kecil berumur 1 ½ tahun. Yang kecil (Amala) segera meninggal, tetapi yang besar (Kamala) mencapai usia 17 tahun. Anak tersebut pada waktu ditangkap memperlihatkan segala tingkah laku seekor serigala (Mayor Polak, 1959: 21).

  1. Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dan kata su + sila yang artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi di dalam kehidupan bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang mempunyai konotasi berbeda yaitu Etiket (persoalan kepantasan dan kesopanan) dan Etika (persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut seperti telah disinggungaa butir A2d terdahulu. Biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban. Orang yang berbuat jahat artinya melanggar hak orang lain dikatakan tidak beretika atau tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar maka ada orang lain yang merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan ketidaksenangan orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua pendapat yaitu :
a.       Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan mencakup kedua-duanya. Etiket tidak usah dibedakan dari etika karena sama-sama dibutuhkan dalam kehidupan.
b.      Golongan yang memandang bahwa etiket perlu dibedakan dari etika, karena masing-masing mengandung kondisi yang tidak selamanya selalu sejalan. Orang yang sopan belum tentu baik, dalam arti tidak merugikan orang lain. Sebaliknya orang yang baik belum tentu halus dalam hal kesopanan. Kesopanan menjadi minyak pelicin dalam pergaulan hidup sedang etika merupakan isinya. Kesopanan dan kebaikan masing-masing diperlukan demi keberhasilan hidup dalam masyarakat.
Didalam uraian ini kesusilaan diartikan mencakup etika dan etiket, Persoalan kesusilaan selalu berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan manusia itu adalah makhluk susila. Drijarkara mengartikan manusia susila sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai tersebut dalam perbuatan. (Drijarkara, 1978:36-39). Nilai-nilai merupakan sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, karena mengandung makna kebaikan, keluhuran, kemuliaan dan seterusnya, sehingga oleh karena itu Penjenja diyakini dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat asalnya darimana nilai-nilai itu diproduksi dibedakan atas tiga macam, yaitu : nilai otonom yang bersifat individual (kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat kolektif (kebaikan menurut kelompok) dan nilai keagamaan yaitu niiai yang berasal dan Tuhan. Tentu saja meskipun nilai otonom dan heteronom itu diperlukan karena orang atau masyarakat hidup lekat dengan lingkungan tertentu yang memiliki sikon berbeda-beda, namun keduanya harus bertumpu pada nilai theonom. Karena yang terakhir ini merupakan sumber dari segenap nilai yang lain. Tuhan adalah alpha dan omega (pemula dan tujuan akhir).
Selanjutnya dalam kehidupan ada dua hal yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai dan kesanggupan melaksanakan nilai. Idealnya keduanya harus sinkron. Artinya untuk dapat apa yang semestinya harus dilakukan, terlebih dahulu orang harus mengetahui, menyadari dan memahami nilai-nilai. Dan apabila nilai sudah dipahami semestinya dilakukan. Tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam praktek kehidupan sehari-hari banyak orang memahami nilai bahkan mungkin mengetahui banyak hal, lagi memiliki wawasan keilmuan yang cukup luas, tetapi ternçakurang atau tidak susila. Jadi tidak secara otomatis orang yang telah memahami nilai pasti melaksanakannya. Kejadian seperti itu sangat wajar, karena memahami adalah kemampuan penalaran (kognitif), sedangkan bersedia melaksanakan adalah sikap (kemampuan afektif), yang masing-masing memiliki kondisi yang berbeda. Antara keduanya terdapat jarak yang perlu dijembatani. Masih terdapat beberapa titik yang harus dikerjakan. Dan memahami perlu meyakini, untuk berikutnya menuju ke penginternalisasian (penyatu ragaan) nilai-nilai kemudian kemauan atau kesediaan untuk melaksanakan nilai-nilai baru sampai kepada melakukannya.
Jangankan antara memahami dan melaksanakan yang rentangannya begitu jauh, antara niat (kesediaan untuk melaksanakan) dengan perbuatan (melaksanakan) yang rentangannya begitu dekat saja masih sering terjadi kesenjangan. Sering niat baik sudah menggebu-gebu tetapi tidak sampai berkelanjutan pada perbuatan. Lazimnya penilaian masyarakat terhadap kualitas kesusilaan seseorang tertuju kepada apa yang dibuatnya dan tidak semata-mata pada apa yang diniatkannya, sehingga niat buruk yang belum terlakukan (jika diketahui) sering masih dimaafkan.
Berdasarkan uraian di atas maka pendidikan kesusilaan meliputi rentangan yang luas penggarapannya mulai dari ranah kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada menginternalisasi nilai, sampai kepada ranah afektif dari meyakini, meniati sampai kepada siap sedia untuk melakukan. Meskipun demikian, tekanannya seharusnya diletakkan pada ranah afektif. Konsekuensinya adalah sering memakan waktu panjang dalam pemrosesannya, berkesinambungan dan memerlukan kesabaran serta ketekunan dari pihak pendidik. Di muka telah disinggung bahwa kesusilaan bertalian erat dengan kesadaran akan kewajiban dan hak. Adanya perimbangan yang laras antara melaksanakan kewajiban dengan tuntutan terhadap hak (to give and to take) di dalam kehidupan menggambarkan kesusilaan yang sehat.
Di dalam dunia pendidikan yang intinya adalah pelayanan, berlaku hukum “saya akan memberikan lebih dari pada yang saya terima”.
Implikasi paedagogisnya ialah bahwa pendidikan kesusilaan berarti menanamkan kesadaran dan kesediaan melakukan kewajiban disamping hak pada peserta didik. Pada masyarakat kita pemahaman terhadap hak (secara obyektif rasionil) masih perlu diTamankan tanpa mengabaikan kesadaran dan kesediaan melaksanakan kewajiban. Hal ini penting, sebab kepincangan antara keduanya bagaimanapun juga akan mengganggu suasana hidup yang sehat.

  1. Dimensi keberagaman
Pada hakekatnya manusia adaiah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau dengan perantaraan alat inderanya diyakini akan adanya kekuatan supranatural yang menguasai hidup di alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen dan memberikan korban-korban. Sikap dan kebiasaan yang membudaya pada nenek moyang kita seperti itu dapat dipandang sebagai embrio dari kehidupan manusia dalam beragama.
Kemudian setelah ada agama maka manusia mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia, karena manusia adalah makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi untuk keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluarga, karena pendidikan agama adalah persoalan afektif dan kata hati. Pesan-pesan  agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar dari ketulusan dan kesungguhan hati orang tua dan menembus kata anak. Dalam hal ini orang tua lah yang paling cocok sebagai pendidik, karena ada hubungan darah dengan anak. Pendidikan agama yang diberikan secara massal kurang sesuai. (M.Thayeb, 1972: 14-15). Pendapat Kohnstamm ini mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara pendidik dengan peserta didik. Disamping itu juga penanaman sikap dan kebiasaan dalam beragama dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada latihan kebiasaan (habit formation). Tetapi untuk pengembangan pengkajian lebih lanjut tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada orang tua. Untuk itu pengkajian agama secara massal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di sekolah.
Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah sekolah mulai dan SD s/d PT. (Pelita V). Di sini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama melalui mata pelajaran agama ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa tekanannya adalah pendidikan agama dan bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi segi-segi afektif harus diutamakan.
Disamping itu mengembangkan kerukunan hidup diantara sesama umat beragama dan diantara sesama penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian GBHN, Hal.134 butir a.1). kiranya tidak cukup jika pendidikan agama ditempuh hanya melalui pendidikan Formal. Kegiatan di dalam Pendidikan Non Formal dan Informal banyak yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.

C.    Pengembangan Dimensi Hakekat Manusia
Seperti telah berulang kali dikatakan, sasaran pendidikan adalah manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakekat manusia menjadi tugas pendidikan.
Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakekat manusia, tetapi masih dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau “aktualisasi”. Dari kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terdapat rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan jasanya. Seorang yang dilahirkan dengan bakat seni misalnya memerlukan pendidikan untuk diproses menjadi seniman terkenal. Setiap manusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu dorongan-dorongan yang alami (dorongan makan, seks, mempertahankan diri dan lain-lain.). Jika seandainya manusia dapat hidup hanya dengan naluri, maka tidak bedanya ia dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah ke arah status manusiawi. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik, tetapi dalam pelaksanaannya mungkin saja bisa terjadi kesalahan-kesalahan yang lazimnya disebut salah didik. Hal demikian bisa terjadi karena pendidik itu adalah manusia biasa, yang tidak luput dan kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu:
1.  Pengembangan yang utuh dan
2.  Pengembangan yang tidak utuh

1.  Pengembangan yang utuh
Tingkat keutuhan perkembangan dimensi hakekat manusia ditentukan oleh dua faktor yaitu bagaimana kualitas dimensi hakekat manusia itu sendiri secara potensial yang kedua bagaimana kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas perkembangannya. Meskipun ada tendensi perkembangan pandangan modern lebih cenderung memberikan tekanan yang lebih pada pengaruh faktor lingkungan. Optimisme ini timbul berkat pengaruh perkembangan IPTEK yang sangat pesat yang memberikan dampak kepada peningkatan perekayasaan pendidikan melalui teknologi pendidikan.
Namun demikian kualitas dari hasil akhir pendidikan sebenarnya harus dipulangkan kembali pada peserta didik itu sendiri sebagai-subyek pendidikan. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang sanggup menghantar subyek didik menjadi seperti dirinya sendiri selaku anggota masyarakat.
Selanjutnya pengembangan yang utuh dapat dilihat dan berbagai segi yaitu: wujud dimensinya, arahnya.
a.       Dari segi wujud dimensinya, keutuhan terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan kesosialan-kesusilaan dan keberagamaan, antara aspek kognitif-afektif dan-psikomotor.
Pengembangan aspek jasmaniah dan rohaniah dikatakan utuh utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang. Meskipun diakui bahwa nilai manusia akhirnya ditentukan oleh kualitas berkembangnya aspek rohaniahnya seperti pandai, berwawasan luas, berpendirian teguh tetapi bertenggangrasa, dinamis kreatif dan seterusnya, tanpa terlalu memandang bagaimana kondisi fisiknya; Namun demikian demi keutuhan pengembangan aspek fisik tidak boleh diabaikan. Karena gangguan fisik dapat berdampak pada kesempurnaan perkembangan rohaniah.
Pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagaman dikatakan untuk jika semua dimensi tersebut mendapat layanan dengan baik, tidak terjadi pengabaian terhadap salah satunya. Dalam hal ini pengembangan dimensi keberagaman menjadi tumpuan dari ketiga dimensi yang disebut terdahulu.
Pengembangan domain kognitif, afektif dan psikomotor dikatakan untuk jika ketiga-tiganya mendapat pelayanan yang berimbang. Pengutamaan domain kognitif dengan mengabaikan pengembangan domain afektif misalnya seperti yang terjadi pada kebanyakan sistem persekolahan dewasa ini hanya akan menciptakan orang-orang pintar yang tidak berwatak.

b.        Dari Arah Pengembangan
Keutuhan pengembangan hakekat manusia dapat diarahkan kepada pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagaman secara terpadu. Keempat dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika dianalisa satu persatu gambarannya sebagai berikut: Pengembangan yang sehat terhadap dimensi keindividualan memberi peluang pada seseorang untuk mengadakan eksplorasi terhadap potensi-potensi yang ada pada diri baik kelebihannya maupun kekurangannya. Segi positif yang ada ditingkatkan, yang negatif dihambat. Pengembangan yang berarah konsentris bermakna memperbaiki diri atau meningkatkan martabat Aku yang sekaligus juga membuka jalan ke arah bertemunya suatu pribadi dengan pribadi yang lain secara laras tanpa mengganggu otonomi masing-masing.
Pengembangan yang sehat terhadap dimensi kesosialan yang lazim disebut pengembangan horisontal membuka peluang terhadap ditingkatkannya hubungan sosial di antara sesama manusia dan antara manusia dengan lingkungan fisik yang berarti memelihara lingkungan disamping mengeksploitasinya. Pengembangan dimensi keindividualan serempak dengan kesosialan berarti membangun terwujudnya hakekat manusia sebagai makhluk monodualis.
Pengembangan yang sehat dimensi kesusilaan akan menopang pengembangan dan pertemuan dimensi keindividualan dan kesosialan. Hal ini menjadi jelas jika terjadi keadaan yang sebaliknya. Bukankah tidak adanya kesusilaan akan memisahkan hubungan antar manusia?. Pengembangan yang sehat terhadap dimensi keberagaman akan memberikan landasan dari arah pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan dan kesusilaan.
Pengembangan domain kognitif, afektif dan psikomotor (di samping keselarasannya perimbangan antar ketiganya) juga perlu diperhatikan arahnya. Yang dimaksud arah pengembangan dari jenjang yang rendah ke jenjang yang lebih tinggi. Pengembangan ini disebut pengembangan vertikal. Sebagai contoh pengembangan domain kognitif dan kemampuan mengetahui, memahami dan seterusnya sampai kepada kemampuan mengevaluasi. Pengembangan yang berarah vertikal ini penting, demi untuk ketinggian martabat manusia sebagai makhluk.
Dapat disimpulkan bahwa pengembangan dimensi hakekat manusia sebagai pembinaan terpadu terhadap dimensi manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara laras. Perkembangan dimaksud mencakup baik yang bersifat horisontal (yang menciptakan keseimbangan) maupun yang bersifat vertikal (yang menciptakan ketinggian martabat manusia). Dengan demikian secara totalitas membentuk manusia yang utuh.

2.      Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakekat manusia akan terjadi apabila di dalam proses pengembangan ada unsur D.H.M yang terabaikan untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan dimensi keindividualan ataupun domain afektif didominasi oleh pengembangan domain kognitif. Demikian pula secara vertikal ada domain tingkah laku yang terabaikan penanganannya.
Pengembangan yang tidak utuh berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.

D.    Sosok manusia Indonesia seutuhnya
Pengertian manusia utuh sudah digambarkan pada butir C1. Sosok manusia Indonesia seutuhnya telah dirumuskan didalam GBHN mengenai arah pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya dan pengembangan seluruh masyarakat Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan sebagainya, ataupun kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggungjawab, rasa keadilan dan sebagainya, melainkan keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara keduanya. Selanjutnya juga diartikan bahwa pembangunan itu merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia antara manusia dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa dan juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagian di akherat.





*Tambahan Petunjuk Belajar
1.      Bentuklah kelompok dalam kelas anda 3-4 kelompok.
2.      Setiap kelompok membuat ringkasan bagian materi tertentu dari BAB I untuk disajikan dalam diskusi kelompok secara bergantian.
3.      Hasil ringkasan yang dibuat dipersentasikan di depan kelas
4.      Kelompok yang belum tampil berkewajiban memberikan tanggapan dan masukan.


BAB II
PENGERTIAN DAN
UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN

A.    Pengertian Pendidikan
1.          Batasan Tentang Pendidikan
Pendidikan seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks, karena sifatnya yang kompleks, itu maka tidak sebuah batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap.
Dibawah ini dikemukakan Beberapa batasan pendidikan berdasarkan fungsinya
a.       Pendidikan sebagai proses transformasi budaya.
Sebagai proses transformasi budaya pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. seperti bayi dilahirkan disuatu tempat akan mendapatkan kebiasaan-kebiasaan, larangan-larangan, dan anjuran dimana tempat dia dibesarkan. Seperti bahasa, cara menerima tamu, makan, istirahat,  perkawinan dan seterusnya.
Nilai-nilai kebudayaan tersebut mengalami proses  transformasi dari generasi tua kegenerasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu: nilai-nilai yang masih cocok diteruskan, misalnya nilai kejujuran, rasa kejujuran rasa tanggung jawab, nilai yang kurang cocok diperbaiki, misalnya tata cara pesta perkawinan, nilai yang tidak cocok diganti misalnya pendidikan seks yang dahulu ditabukan  diubah dengan  pendidikan seks melalui  pendidikan formal.
Disini tampak bahwa proses pewarisan budaya tidak semata-mata mengekalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai tugas menyiapkan peserta untuk hari esok.

b.      Pendidikan sebagai proses pembentukan pribadi.
Sebagai proses pembentukan pribadi pendidikan diartikan sebagai kegiatan yang sistematis (procedural) dan sistemik (berlangsung pada semua situasi dan kondisi disemua lingkungan yang saling mengisi {rumah, masyarakat dan sekolah}) terarah pada terbentuknya kepribadian peserta didik ada 2 sasarannya yaitu pembentukan pribadi kepada mereka yang belum dewasa oleh mereka yang  sudah dewasa atas usaha sendiri, pendidikan diri sendiri  (self vorming). Kedua-duanya bersifat alamiah dan menjadi keharusan. Bayi yang baru lahir kepribadiannya belum terbentuk dan belum mempunyai warna dan corak kepribadian. Bagi mereka yang sudah dewasa tentu tetap harus mengembangkan dirinya sebagaimana yang disebut dengan pendidikan sepanjang hidup.
Dalam posisi manusia sebagai mahluk serba terhubung, pembentukan kepribadian meliputi pengembangan penyesuaian diri terhadap lingkungan, terhadap diri sendiri dan terhadap Tuhan.
c.       Pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara .
Pendidikan sebagai proses penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik yang sebagai pribadi yang tahu akan hak dan kewajibannya (sesuai dengan tujuan Negara dan nasional masing-masing bangsa). Baca pasal dalam UUD 1945 amandemen terakhir tentang warga Negara.
d.      Pendidikan sebagai proses penyiapan tenaga kerja.
Pendidikan sebagai proses penyiapan tenaga kerja  kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar (sikap, pengetahuan dan keterampilan) untuk bekerja. Baca pasal dalam UUD1945 amandemen terakhir tentang warga Negara.
.
2.          Tujuan dan Proses Pendidikan
1)      Tujuan pendidikan
Tujuan Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, indah, untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan memiliki fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. Oleh karena itu  tujuan pendidikan memiliki dua fungsi yaitu  memberikan arah segenap kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
Dari seluruh komponen pendidikan yang menjadi sentral (paling penting) adalah komponen tujuan pendidikan. Hal ini disebabkan karena sifatnya yang normative yaitu mengandung unsur-unsur norma yang bersifat memaksa. Tetapi tidak bertentangan dengan hakikat perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai hidup yang baik.
Tujuan pendidikan masih sangat umum, absrak luas dan sulit direalisis. Misalnya membimbing peserta didik agar menjadi manusia berjiwa pancasila. Karenanya diperlukan tujuan khusus untuk menjabarkannya. Dengan alasan:
a.   pengkhususan tujuan memungkinkan dilaksanakannya tujuan umum melalui proses pendidikan
b.  adanya pengkhususan dari peserta didik, yaitu berkenaan dengan jenis kelamin.
c.   kepribadian yang menjadi sasaran untuk dibentuk atau dikembangkan bersifat kompleks sehingga perlu dirinci dan dikhususkan, aspek apa yang dikembangkan.
d.  adanya tahap-tahap perkembangan pendidikan.
e.   adanya kekhususan masing-masing lembaga penyelenggara pendidikan, misalnya pertanian, keguruan, dan lain-lain.
f.   adanya tuntutan persyaratan pekerjaan dilapangan yang harus dipenuhi oleh peserta didik sebagai pilihannya.
g.  diperlukan teknik tertentu yang menunjang pencapaian tujuan yang lebih lanjut (tujuan teknis/persyaratan)
h.  adanya kondisi situasional yaitu adanya peristiwa-peristiwa yang kebetulan muncul tanpa direncanakan.
i.    Kemampuan yang ada pada pendidik.

2)      Proses Pendidikan
Proses pendidikan adalah kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah pada pencapaian tujuan pendidikan. Kualitas proses pendidikan akan menentukan hasil pencapaian tujuan pendidikan.
Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi yaitu: kualitas komponen dan pengelolanya. Keduanya saling bergantung.
Pengelolaan  proses pendidikan meliputi ruang lingkup :
·         Makro yaitu berupa kebijakan-kebijakan pemerintah yang lazimnya dituangkan dalam bentuk UU pendidikan, peraturan pemerintah, SK menteri, SK dirjen, dokumen pemerintah, tentang tingkat pendidikan nasional.
·         Meso yaitu implikasi kebijakan-kebijakan nasional dalam kebijakan operasional dalam ruang lingkup wilyah tanggungjawab dinas propinsi
·         Mikro yaitu aplikasi-aplikasi kebijakan yang berlangsung dalam lingkup sekolah atau kelas, sanggar belajar dan satuan-satuan pendidikan lainya dalam masyarakat
Tujuan utama pengelolaan proses pendidikan adalah terjadinya proses belajar mengajar dan pengalaman belajar yang optimal, sebab berkembangnya tingkah laku peserta didik sebagai tujuan belajar hanya dimungkinkan oleh adanya pengalaman belajar yang optimal.
Kenyataan ini akan menyebabkan seorang pelajar harus mengetahui konsep-konsep inovasi-inovasi pendidikan yaitu PSI, belajar tentang (masteri learning) CBSA, dan keterampilan proses, muatan lokal dan kurikulum dan lain-lain


3.          Konsep pendidikan sepanjang hayat (PSH)
PSH = pendidikan sepang hidup mengelolah keseluruh Negara pada tahun 70-an. 14 abad yang lalu nabi Muhammad SAW. Telah bersabda tentag pendidikan seumur hidup dengan haditsnya “utlubul ’ilmi minal mahdi ilal lahdi” = tuntutlah ilmu sejak lahir hingga keliang lahat. Oleh karenanya pendidikan :
1.      Tidak dibatasi oleh umur.
2.      Tidak hanya identik dengan sekolah karena proses belajar yang berkesinambungan sepanjang hayat.
Postulat yang munculkan 14 abad yang lalu kemudian dimunculkan kembali 3 abad yang lalu oleh:
Lomenius pada abad XVI, kemudian dilanjutkan oleh Jhon Dawei (tahun 1950-an).
Alasan perlunya pendidikan sepanjang hayat yaitu:
1.      Alasan keadilan.
Karena dengan terselenggaranya pendidikan sepanjang hayat, maka keadilan sosial terhadap kesempatan memperoleh pendidikan dalam masyarakat akan dapat terwujud.
2.      Alasan ekonomi
Semakin meningkatnya beban pembangunan, sehingga suatu saat akan mencapai titik beban yang tidak tertanggulangi lagi.
3.      Alasan sosial
Berhubungan dengan perubahan peranan keluarga, remaja dan emansipasi wanita dalam kaitanya dengan perkembangan iptek.
4.      Alasan sifat pekerjaan yang terdiri dari :
a.   Perubahan persyaratan kerja
b.  Terjadinya perubahan dalam setiap generasi
c.   Bekal kerja perlu selalu diperbaharui.
5.                  Kemandirian dalam belajar.
a.  Arti dan prinsip yang mendasarinya.
Diartikan sebagai aktifitas belajar yang berlangsung lebih didorong oleh kemauan, pilihan, dan tanggunjwab sendiri dari pembelajar.
Prinsip individu yang belajar, hanya sampai kepada perolehan hasil belajar yang maksimal jika: mulai keterampilan, perngembangan penalaran, penentuan dikap, sampai pada penemuan diri sendiri apabila dia yang mengalami proses belajar tersebut.
b.  Alasan yang menompang.
    Menurut coomy setiawan, dkk. (1988: 14-16)
1.      perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berlangsung semakin pesat, sehingga tidak mungkin lagi para pendidik (khususnya)guru mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.
2.      Penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)tidak mutlak benar 100 %, sifatnya relatif. Suatu teori mungkin tertolak dan gugur setelah ditemukan data baru yang sanggup membuktikan kekeliruan teori tersebut.
3.      Para ahli psikologi sependapat bahwa, peserta mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkrit dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi dengan mengalami atau mempraktekkannya sendiri.
4.      Dalam proses pendidikan dan pembelajaran, pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan penanaman nilai-nilai kedalam diri peserta didik.

B.     Unsur-unsur Pendidikan
Proses pendidikan melibatkan :
1.      Subyek yang dibimbing (peserta didik)
2.      Orang yang membimbing pendidik/pembimbing).
3.      Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).
4.      Ke arah bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).
5.      Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).
6.      Cara yang digunakan pada saat bimbingan berlangsung (alat dan metode).
7.      Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).

1.                      Subyek yang dibimbing (peserta didik)
Peserta didik berstatus sebagai subyek didik. Peserta didik cenderung tidak pandang usia keberadaannya sebagai pribadi yang otonom yang ingin diakui keberadaanya, mengembangkan diri secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup yang dijumpai sepanjang hidupnya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik yaitu:
a.       Individu yang memiliki potensi fisik yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b.      Individu yang sedang berada dalam masa perkembangan.
c.       Individu yang sedang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d.      Individu yang memiliki kemanpuan untuk mandiri.
 
2.                  Orang yang membimbing (pendidik).
Orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik.
Peserta didik mengalami pendidiknnya dalam tiga yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Oleh karenanya yang bertanggungjawab dalam pendidikan anak adalah pertama orang tua, pimpinan program pembelajaran dan latihan dan masyarakat, dan ketiga guru.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah persoalan kewibawaan.
a.       Yang dimaksud kewibawaan (kekuasan bathin mendidik) yaitu pancaran bathin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengakui , menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan tersebut, tanpa didasarkan pada penggunaan kekuasaan lahir (kewenangan jabatan).
b.      Kekuasaan timbul kalau pendidiknya dewasa (rohani dan jasmani). Orang dewasa yaitu orang yang mampu mempertanggungjawabkan (kemampuan untuk menyatukan diri dengan norma-norma  hidup dan memperagakan dalam hidupnya) perbuatannya yang bertalian dengan statusnya. Tugas pendidik adalah mentrasformasikan nilai-nilai dan kewibawaan kepada peserta didik. Faktor penyebab pendidik memiliki kewibawaan kepada peserta didiknya, karena peserta didik membutuhkan sesuatu (pelindungan, bantuan, bimbingan, dst.) dari pendidik bersedia dan rela memberinya dan dari terdidik bersedia rela menerimanya.
c.       Kewajiban dapat terpelihara melalui 3 cara menurut L.J.Lengeveld yaitu :
1)      kepercayaan (pendidik pecaya dapat mendidik dan terdidik percaya dapat didik)
2)  kasih sayang yaitu penyerahan diri (pegabdian dalam kerja) dan pengendalian diri (agar peserta didik tidak merugikan dirinya) kepada yang disayangi.
3)  kemampuan. Ini dapat ditingkatkan melalui peengkajian ilmu pengetahuan kependidikan dan mengambil pengetahuan dari pengalaman kerja dan lain- lain.
3.      Interaksi edukatif antara peserta didik dengan pendidik
Maksudnya interaksi edukatif (proses berkomunikasi intensif dengan memanipulasi isi, metode serta alat-alat pendidikan) antara peseta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan
4.      Materilisasi  pendidikan
Dalam sistem pendidikan persekolahan materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi ini baik yang meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa, sedangakan muatan lokal misalnya adalah mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai dengan kondisi lingkungan. Dengan demikian jiwa dan semangat Bhineka Tunggal ika dapat ditumbuh kembangkan.
5.      Konteks Yang Mempengaruhi Pendidikan
a.   Alat dan metode.
Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari suatu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensinya dan efektifitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai  segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan  pendidikan. Alat pendidikan dibedakan atas yang prefentif dan yang  kuratif.
1.  yang bersifat prefentif yaitu yang bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki misalnya larangan, pembatasan, peringatan bahkan juga hukuman.
2.  yang bersifat kuratif yaitu yang bermaksud memperbaiki, misalnya ajakan, contoh, nasehat, dorongan, pemberian kepercayaan, saran, penjelasan bahkan juga hukuman.
Untuk memilih dan menggunakan alat pendidikan yang efektif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1)      Kesesuaiannya dengan tujuan yang ingin dicapai.
2)      Kesesuaiannya dengan peserta didik.
3)      Kesesuaiannya dengan pendidik sebagai sipemakai.
4)      Kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi saat digunakannya alat tersebut.
b. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)
Lingkungan pendidikan biasa disebut dengan tri pusat pendidikan yaitu keluarga masyarakat dan sekolah.

C.     Pendidikan sebagai sistem
1.      Pengertian sistem.
a.       dilihat dari wujud sistem, misalnya yang dikemukakan oleh Tatang M. Amirin (1993:10): wujud sistem yaitu suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk satu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh.
b.      Dilihat dari fungsi komponen yang saling berkaitan dan tujuan sistem, misalnya yang dikemukakan oleh Tatang M . Amirin (1992:10) yaitu himpunan komponen yang saling berkaitan bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan.
c.       Dilihat dari unsur rencana disamping saling kaitan antara komponen dan tujuan dari sistem, misalnya yang dikemukakan oleh Tatang M. Amirin (1992:11) yaitu himpunan komponen atau sub sistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu.   
Definisi-definisi tersebut di atas yang pertama (a) menekankan soal wujud sistem, yang kedua (b) menaruh perhatian pada fungsi komponen dan yang ketiga (c) menampilkan unsur rencana disamping kaitan antara komponen dan tujuan dari sistem, sekalipun demikian definisi yang berbeda-beda itu mengandung unsur persamaan  yang dapat dipandang sebagi ciri umum dari sistem yaitu yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.      suatu kesatuan yang berstruktur.
2.      kesatuan tersebut merupakan sejumlah komponen yang saling berpengaruh.
3.      masing-masing kompenen mempunyai fungsi tertentu secara bersama-sama melaksanakan fungsi terstruktur, yaitu mencapai tujuan sistem.
Dengan demikian sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan integral dari sejumlah komponen. Komponen-komponen tersebut satu sama lain saling berpengaruh dengan fungsinya masing-masing, tetapi secara fungsi komponen-komponen itu, terarah pada pencapaian  (yaitu tujuan dari sistem).
Contoh sistem yaitu LLAJR ( Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya) alasannya memiliki :
a.       tujuan : memperlancar hubungan transportasi dari satu tempat ke tempat lain.
b.      Sejumlah kelompok yang bekerja untuk mencapai tujuan yaitu : jaringan jalanan yang dapat dilalui berbagai jenis kendaraan.
c.       Peraturan lalu lintas. Misalnya berjalan disebelah kiri.
d.      Rambu-rambu lalu lintas.
e.       Polisi lalu lintas yang bertugas untuk melaksanakan peraturan lalu lintas.
f.       Pengadilan, untuk memutuskan peraturan lalu lintas
2.      Komponen dan Saling Berhubungan Antara Komponen Dalam Sistem Pendidikan Sitem Terbuka (untuk semua organisasi) yaitu :
Pendidikan  sebagai suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen. Untuk melihat komponen sistem pendidikan, di bawah ini dikemukakan pengandaian, TOFFLER.
TOFFLER (1970) menganalogikan sekolah dengan sebuah pabrik. Memang sebenarnya usaha pendidikan tidak kunjung dapat disamakan dengan pabrik. Tetapi jika dilihat dari segi proses mekanismenya, ada persamaan antara keduanya, misalnya sebuah pabrik gula yang tujuannya didirikan adalah untuk memproduksi gula. Pabrik tersebut membutuhkan bahan mentah (raw input) yang berupa tebu atau bahan lainnya. Untuk memproses tebu menjadi gula sebagai keluaran (output) diperlukan mesin-mesin penggilingan beserta perangkat peralatan  lainnya (sarana dan prasarana) yang ditangani dan dikelola oleh pekerja, kepala bagian sampai dengan pimpinan pabrik (tenaga). Sudah barang tentu , tenaga tersebut tidak asal bekerja, melainkan berdasarkan petunjuk-petunjuk, peraturan-peraturan, sistematika, dan prosedur serta jadwal yang telah ditetapkan program). Disamping itu juga dilakukan pencatatan dan pendataan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan perkembangan produksi (administrasi).
 Sarana dan prasarana, ketenagaan, program dan administrasi yang diperlukan untuk pemprosesan bahan mentah seperti dikemukakan diatas merupakan masukan instrumental
Jika persoalan tersebut diperluas dengan memperhitungkan faktor lingkungan, maka mungkin sekali faktor sosial budaya, keamanan dan faktor dan faktor lingkungan yang lain merupakan faktor yang dapat menunjang atau dapat menghambat. Segenap lingkungan yang berpengaruh pemprosesan masukan mentah disebut  masukan lingkungan (Enviromental input).   


























* Tambahan Petunjuk Belajar
1.      Bentuklah kelompok 3-5 orang pada kelas anda.
2.      Setiap kelompok mendiskusikan pencapaian tujuan pendidikan bangsa Indonesia sampai saat ini.
3.      Buatlah kesimpulan dari hasil diskusi anda
4.      Presentasikanlah di depan kelas untuk dipertanggungjawabkan. 

BAB III
LANDASAN DAN ASAS-ASAS PENDIDIKAN SERTA PENERAPANNYA

A.    Landasan Pendidikan
Pendidikan adalah suatu yang universal dan berlangsung terus tak terputus dari generasi kegenerasi dimanapun didunia ini. Upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan itu diselenggarakan sesuai dengan pandangan hidup dan latar sosial-kebudayaan setiap masyarakat tertentu. Oleh karena itu meski pendidikan besifat universal namun terjadi perbedaan-perbedaan tertentu sesuai dengan pandangan hidup dan latar sosialkultur tersebut. Dengan kata lain pendidikan diselenggarakan berdasarkan filsafat hidup serta berlandaskan sosialkultur setiap masyarakat, termasuk Indonesia.
Selanjutnya dua landasan lain yang erat kaitannya dalam upaya pendidikan yaitu landasan psikologis dan landasan IPTEK. Landasan psikologis akan memberikan tenaga kependidikan dengan pemahaman perkembangan peserta didik dan cara-cara belajarnya, sedangkan landasan IPTEK akan membekali tenaga kependidikan tentang sumber bahan ajar.

1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis bekaitan dengan makna atau hakekat pendidikan yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu dperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau bersifat filsafat. (falsahat, falsafah).
Filsafat menelaah sesuatu secara radikal, menyeluruh dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia. Kensepsi-konsepsi filosofis tentang kehidupan manusia dan dunianya pada umumnya bersumber dari dua faktor, yaitu : (i) religi dan etika yang bertumpu pada keyakinan, (ii)  ilmu pengetahuan yang bersumber pada penalaran, filsafat berada diantara keduanya, kawasannya seluas dengan religi namun lebih dekat dengan ilmu pengetahuan karena filsafat timbul dari keraguan dan karena mengandalkan akal manusia ( Redja Mudyahardjo, et.al., 1992: 126 &134)
Terdapat kaitan erat antara pendidikan dan filsafat karena filsafat mencoba merumuskan tentang citra manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra itu, Rumusan tentang harkat dan martabat  manusia beserta masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan , dan dari sisi lain , pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Filsafat pendidikan berupaya menjawab secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan pokok sekitar pendidikan, seperti apa, mengapa, kemana, bagaimana dan sebagainya dari landasan berbagai keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan. Kejelasan berbagai hal itu sangat perlu untuk menjadi landasan berbagai keputusan  dan tindakan yang dilakukan dalam pendidikan hal itu sangat penting karena hasil pendidikan tidak segera nampak, sehingga setiap keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan kebenaran dan ketepatannya meskipun hasilnya belum dapat dipastikan. Ketepatan setiap keputusan dan tindakan, serta diikuti dengan upaya pemantauan dan penyesuaian yang menerus, sangat penting karena koreksi setelah diperoleh hasilnya akan sangat sulit dan sudah terlambat.
Kajian-kajian yang dilakukan oleh berbagai cabang filsafat,(logika, epistemologi, etika dan estetika, metafisika, dll) akan besar pengaruhnya terhadap pendidikan, karena prinsip- prinsip dan kebenaran-kebenaran hasil kajian tersebut pada umumnya diterapkan dalam bidang pendidikan. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan tersebut berkaitan dengan hasil kajian antara lain tentang:
a. keberadaan dan kedudukan manusia sebagai mahluk didunia ini, seperti yang disimpulkan sebagai zoon politicon, homo sapiens, animal educandum, dan sebagainya.
b. masyarakat dan kebudayaan;
c. keterbatasan manusia sebagai mahluk hidup yang banyak menghadapi tantangan;
d. perlunya landasan pemikiran dalam pekerjaan pendidikan, utamanya filsafat  pendidikan (Wayan Ardhana, 1986:Modul 1/9). Hasil-hasil kajian filsafat tersebut, utamanya tentang konsepsi manusia dan dunianya, sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan.
Berbagai pandangan filosofis tentang manusia dan aliran dunianya yang dikemukakan oleh berbagai aliran dalam filsafat ternyata sangat bervariasi, bahkan kadang-kadang bertentangan. Secara historis terdapat dua aliran yang saling bertentangan  yakni idealisme dan naturalisme( positivisme), dengan segala variasinya masing-masing (Abu Hanifah, 1950). Disamping kedua aliran tersebut , telah berkembang pula beberapa aliran lain, sehingga terdapat aliran-aliran 1. filsafat materi, 2. filsafat cita, 3. filsafat hidup, 4. filsafat hakekat, 5. filsafat eksistensi dan 6. filsafat  ujud. ( Beerling, 1951:40). Wayan ardhana dkk (1986: Modul 1/ 12-18) mengemukakan bahwa aliran-aliran filosafat itu bukan hanya pendidikan, tetapi juga telah  melahirkan aliran filsafat pendidikan seperti: idealisme, realisme, perennialisme, essensialisme, pragmatisme dan progressivisme dan eksistensialisme. Sedangkan Waini rasyidin (dalam Redja Mudyahardjo,et.al., 1992 :140-150 membedakan antara lairan filsafat dan mazhab filsafat pendidikan, yakni aliran filsafat yang besar pengaruhnya  terhadap pendidikan adalah idealisme, realesme (positivisme, materialisme), neothomisme, dan pragmatisme, sedangkan mazhab filsafat pendidikan adalah esensialisme, parennialisme, progressiuvisme dan rekonstruksionisme. Baik sebagai aliran filsafat maupun sebagai mazhab filsafat pendidikan, pandangan-pandangannya tentang manusia dan dunianya pada umumnya ikut mempengaruhi konsepsi dan atau penyelenggaraan pendidikan
Naturalisme merupakan aliran filsafat yang menganggap segala kenyataan yang bisa ditangkap oleh pancaindra sebagai kebenaran yang sebenarnya, aliran ini bisa pula diberi nama yang berbeda sesuai dengan  variasi penekanan konsepsinya tentang manusia dan dunianya, seperti realisme, materialisme, positivisme, (kini: neo positivisme) dan sebagainya. Realisme, sebagai contoh, menekankan pada pengakuan adanya kenyataan yang hakiki yang obyektif, diluar manusia. Kenyataan yang hakiki yang obyektif itu ada secara preksistensi yakni mendahului dan lebih utama dari keberadaan diri manusia beserta kesadarannya.
Bertentangan dengan aliran di atas, idealisme menegaskan bahwa hakekat kenyataan adalah ide sebagai gagasan kejiwaan. Apa yang dianggap realitas hanyalah bayangan atau refleksi dari ide sebagai kebenaran bersifat spiritual atau mental, ide sebagai gagasan kejiwaan itulah sebagai kebenaran atau nilai sejati yang absolut dan abadai. Terdapat variasi pendapat beserta namanya masing-masing dalam aliran ini seperti spiritualisme, rasionalisme, neo kantianisme dan sebagainya.
Sementara itu Pragmatisme  yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus dinilai dari segi kegunaan praktis, dengan kata lain faham ini menyatakan yang berfaedah itu harus benar, atau ukuran kebenaran didasarkan pada kemanfaatan dari sesuatu itu kepada manusia (Abu Hanifah, 1956).
Selanjutnya perlu dikemukakan secara ringkas empat mazhab filsafat pendidikan yang besar pengaruhnya dalam pemikiran dan penyelenggaraan pendidikan. Keempat mazhab filsafat pendidikan itu adalah :
1)      Essensialisme
Esensialisme merupakan mazhab filsafat pendidikan yang merupakan prinsip idealisme dan realisme secara elektis.. Berdasarkan elektisme tersebut maka esensialisme menitikberatkan penerapan perinsip idealisme atau realisme dan tidak meleburkan perinsip-perinsipnya. Filsafat idealisme memberikan dasar tinjauan filosofis bagi mata pelajaran sejarah, sedangkan ilmu pengetahuan Alam diajarkan berdasarkan tinjauan yang realistik.

2. Perennialisme
Ada persamaan antara perrenealisme dan esesnsialisme, yakni keduanya membela kurikulum yang tradisional yang berpusat pada mata pelajaran yang pokok-pokok (suject centered). Perbedaanya, ialah parennialisme menekankan keabadian teori kehikmatan yaitu : (1)  pengetahuan yang benar (truth),  (2) keindahan, (3) kecintaan, kepada kebaikan (goodness). Oleh karena itu dinamakan parennealisme karena kurikulumnya berisi materi yang konstan atau parennial.

3.  Pragmatisme dan Progresivisme
Manusia akan mengalami perkembangan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran . Sekolah adalah suatu lingkungan khusus yang merupakan sumbangan dari lingkungan sosial yang lebih umum, atau juga merupakan lembaga masyarakat yang bertugas memilih dan menyederhanakan unsur kebudayaan yang dibutuhkan oleh individu, belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif dengan cara memecahkan masalah. Guru harus bertindak sebagai pembimbing, atau fasilitator bagi siswa.
Progresivisme atau gerakan pendidikan progresif mengembangkan teori pendidikan yang mendasarkan diri pada beberapa prinsip, antara lain : (a) anak harus bebas untuk dapat berkembang secara wajar, (b) pengalaman langsung merupakan cara terbaik untuk merangsang minat belajar, (c) Guru harus menjadi seorang peneliti dan membimbing kegiatan belajar, (d) sekolah progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk melakukan reformulasi pedagogis dan eksperimentasi.

4.  Rekonstruksionisme
Mazhab ni merupakan kelanjutan dari mazhab progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang pengalaman-pengalamannnya di masyarakat masa kini disekolah tetapi harus mempelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Dengan demikian, tidak semua individu dan kelompok akan memecahkan masalah secara sendiri-sendiri sebagai akses progresivisme.

2. Landasan Sosiologis
Manusia selau hidup berkelompok, sesuatu yang juga terdapat pada hewan. Meski demikian pengelompokan manusia jauh lebih umit dari pada hewan. Kehidupan sosial manusia tersebut dipelajari oleh filsafat yang berusaha mencari hakikat manusia yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat tentang realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam aliran filsafat sosial.
Kependidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi muda mengembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi dilembaga sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologis terhadapat kegiatan pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut, maka lahirlah cabang sosiologi pendidikan.
      Sosiologi pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola interaksi sosial didalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari sosiologi meliputi empat bidang :
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain
2. Hubungan manusia disekolah
3. Pengaruh sekolah terhadap prilaku anggotanya
4. Sekolah dalam komunitas

3. Landasan Kultural
Pendidikan selalu terkait dengan manusia, sedang setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung kebudayaan tertentu. Dalam UU-RI No. 2 1989 pasal 1 : 2 ditegaskan bahwa Sistem Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik  sebab kebudayaan dapat dilestarikan dengan jalan mewarisi kebudayaan dari generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik secara informal maupun informal.

4. Landasan Psikologis
Pemahaman peserta didik utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan, seperti pengetahuan tentang aspek-aspek kepribadian, urutan dan ciri- ciri pertumbuhan setiap setiap aspek dan konsep tentang cara-cara paling tepat untuk mengembangkannya. Untuk maksud itu psikologi menyediakan sejumlah informasi tentang kehidupan pribadi manusia pada umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi.
Menurut A.Maslow kategori kebutuhan dasar ada enam kelompok antara lain:
1.  Kebutuhan fisikologis
2.  Kebutuhan rasa aman
3.  Kebutuhan akan cinta dan pengakuan
4.  Kebuthan harga diri
5.  Kebutuhan untuk aktualisasi diri
6.  kebutuhan untuk mengetahui dan memahami.
7.  Berbagai pengaruh dalam pembentukan konsep diri

Harapan-harapan
orang tua tehadap teman sebaya.
Problem pesonalia keluarga
Problem ekonomi keluarga
Opini diri teman sebaya
Afiliasi
Keagamaan
Tuntutan sekolah










KONSEP DIRI
ANAK







Sikap terhadap anggota keluarga
Keadaan fisik anak
Maturasi biologis
Dampak dari radio, TV dll
Kesempatan di-/ melalui sekolah


5. Landasan ilmiah dan Teknologis
Terdapat beberapa istilah yang perlu dikaji agar jelas makna dan kedudukan masing-masing yakni pengetahuan, ilmu pengetahuan, teknologi, serta istilah lain terkait dengannya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diperoleh melaui berbagai cara penginderaan terhadap fakta, penalaran, intuisi, dan wahyu. Pengetahuan yang memenuhi kriteria dari segi ontologism, epistemologis dan axiologis secara konsekuen dan penuh disiplin biasanya disebut ilmu atau ilmu pengetahuan .
Ilmu pengetahuan itu dapat bermakna kumpulan informasi, cara memperoleh informasi itu, serta manfaat dari informasi itu. Ketiga sisi ilmu pengetahuan itu seharusnya mendapat perhatian yang proporsional didalam bahan ajar, dengan demikian pendidikan bukan hanya berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Dengan demikian, pendidikan akan mewujudkan fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan IPTEK tersebut.
IPTEK merupakan salah satu  dari hasil usaha manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, yang telah dimulai pada permulaan kehidupan manusia. Pada zaman dahulu manusia purba senantiasa menghadapi kekuasaan alam yang mendominasi kehidupannya. Berkat perkembangan IPTEK hubungan kekuasaan antara manusia dan alam dapat dikatakan terbalik, alam kini dibawah kekuasaan manusia.
Pengembangan dan pemanfaatan IPTEK pada umumnya ditempuh rangkaian kegiatan: penelitian dasar, penelitian terapan, pengembangan teknologi, penerapan teknologi, serta biasanya diikuti pula dengan evaluasi ethis-politis-religis.


B.     Asas-Asas Pokok Pendidikan
Asas pendidikan merupakan suatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, pada tahap perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Asas-asas pendidikan Indonesia antara lain :

1.  Asas Tut Wuri Hadayani
Awalnya merupakan semboyan dari perguruan nasional taman siswa. Asas ataupun semboyan ini dikumandangi oleh KI Hadjar Dewantara itu mendapat tanggapan positif dari Drs. RPM Sosrokartono dengan melengkapi dua semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing Ngarso Sung Tulada dan Ing Madya Mangun Karsa.
Kini ketiga semboyan itu bersatu menjadi satu kesatuan asas yakni :
Ø  Ing Ngarso Sung Tulada ( Jika didepan menjadi contoh )
Ø  Ing Madya Mangun Karsa ( Jika ditengah membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi )
Ø  Tut Wuri Handayani ( Jika dibelakang mengikuti dengan awas )
2.  Asas Belajar Sepanjang Hayat
Asas belajar sepanjang hayat merupakan pandangan dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup. Pendidikan seumur hidup adalah pendidikan yang harus:
Ø  Meliputi seluruh hidup setiap individu
Ø  Mengarah pada pembentukan, pembaharuan, peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidup
Ø  Tujuan akhirnya adalah mengembangkan penyadaran diri setiap individu
Ø  Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk belajar mandiri
Ø  Mengakui dari kontribusi dari semu pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non formal.

3.   Asas Kemandirian dalam Belajar
Baik asas tut wuri handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat kaitannya dengan asas kemandirian dalam belajar.  Asas tut wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari campur tangan guru, namun selalu siap untuk ulur tangan apabila diperlukan.
Selanjutnya, asas belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena adalah tidak mungkin seorang belajar sepanjang hayat apabila selalu tergantung dari bantuan guru ataupun orang lain.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalam peran utama sebagi fasilitator dan motivator, disamping peran-peran lain: informator, organisator, dan sebagainya.


























* Tambahan Petunjuk Belajar
1.   Anda telah mengalami pendidikan di sekolah (SD, SMP, SMA/sederajat) selama bertahun-tahun, Cobalah ingat-ingat dan carilah bukti-bukti pelaksanaan berbagai landasan dan asas pendidikan tersebut. Khusus untuk asas pendidikan belajar sepanjang hayat dan kemandirian dalam belajar, upaya apa yang sedang anda lakukan untuk mewujudkan asas-asas tersebut?
2.   Tahap Diskusi kelompok
     Bentuklah kelompok-kelompok kecil (3-5) orang dan bandingkanlah hasil kerja tahap (1) di atas. Carilah titik persamaan dan buatlah kesimpulan tentang itu. Sedangkan hal-hal yang berbeda, diskusikanlah perdedaaan itu dan buatlah kesimpulan diskusi itu.

BAB IV
PERKIRAAN DAN ANTISIPASI TERHADAP MASYARAKAT MASA DEPAN

Pendidikan selalu bertumpu pada suatu wawasan kesejarahan, yakni pengalaman-pengalaman masa lampau, kenyataan dan kebutuhan mendesak masa kini, dan aspirasi serta harapan masa depan. Melalui pendidikan setiap masyarakat akan melestarikan nilai-nilai luhur sosial kebudayaannya yang telah terukir dengan indahnya dalam sejarah bangsa tersebut. Serentak dengan itu, melalui pendidikan juga diharapkan dapat ditumbuhkan kemampuan untuk menghadapi tuntutan objektif masa kini, baik tuntutan dari dalam maupun tuntutan karena pengaruh dari luar masyarakat yang bersangkutan. Dan akhirnya, melalui pendidikan akan ditetapkan langkah-langkah yang dipilih masa kini sebagai upaya mewujudkan aspirasi dan harapan di masa depan.
Dalam UU-RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 telah ditetapkan antara lain bahwa “Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang”. Penekanan pada bagian terakhir tersebutlah yang menyebabkan pendidikan itu dilukiskan sebagai merumuskan masa depan. Oleh karena itu, di samping dimensi horizontal, pendidikan haruslah memperhatikan dengan sungguh-sungguh dimensi vertikal, terutama keterkaitan antara program pendidikan yang dilaksanakan sekarang ini dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Peserta didik yang sedang belajar di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk mahasiswa yang sedang membaca paparan ini, akan menempati kedudukannya serta memainkan peranannya kelak pada awal abad ke-21 yang akan datang. Oleh karena itu, keterkaitan program pendidikan dengan prognosis masyarakat masa depan perlu mendapat perhatian dengan semestinya (Hameyer, 1979: 67-78; Sulo Lipu La Sulo, 1990: 2S-29).
Setelah mempelajari Bab IV ini Anda diharapkan dapat:
1.      Memahami beberapa kemungkinan keadaan masyarakat di masa depan, serta peranan faktor-faktor globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), arus komunikasi yang semakin padat dan cepat, serta kebutuhan yang meningkat dalam layanan profesional terhadap masyarakat di masa depan tersebut.
2.      Memahami berbagai upaya pendidikan untuk mengantisipasi masa depan, baik yang berkenaan dengan penyiapan manusia maupun yang berkenaan dengan perubahan sosiokultural, serta pengembangan sarana pendidikan untuk mendukung upaya-upaya yang sedang atau akan dilaksanakan.
Bagi mahasiswa calon tenaga kependidikan, utamanya guru, kajian tentang masyarakat masa depan tersebut berdampak ganda, yakni untuk dirinya sendiri serta pada gilirannya kelak untuk siswa-siswanya. Pembahasan dalam Bab IV ini akan dimulai dengan paparan tentang perkiraan masyarakat masa depan, dan akan diikuti dengan kajian tentang upaya pendidikan untuk mengantisipasinya. Sebagai suatu perkiraan, paparan ini mungkin saja meleset atau menyimpang; oleh karena itu, isi paparannya perlu dikaji dan diuji dengan kenyataan-kenyataan yang berlaku pada saat paparan ini dibaca. Dengan demikian, segala kekurangan atau kesalahan dalam perkiraan itu dapat segera diperbaiki.

A. Perkiraan Masyarakat Masa Depan
Pendidikan selalu berlangsung dalam suatu latar kemasyarakatan dan kebudayaan tertentu. Demikian pula di Indonesia, pendidikan nasional dilaksanakan berdasarkan latar kemasyarakatan dan kebudayaan Indone­sia. Seperti telah dipaparkan pada Bab III, masyarakat Indonesia dan kebudayaan nasional merupakan landasan Sistem Pendidikan Nasional. Landasan sosio-kultural merupakan salah satu dasar utama dalam menentukan arah kepada program-program pendidikan, baik program pendidikan sekolah maupun program pendidikan luar sekolah. Dari sisi lain, pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan setiap masyarakat. Di dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan.” Melalui upaya pendidikan, kebudayaan dapat diwariskan dan dipelihara oleh setiap generasi bangsa. Serentak dengan itu, upaya pendidikan diarahkan pula untuk mengembangkan kebu­dayaan itu.
Demi pemahaman dan karena adanya saling pengaruh antara pendidikan dan latar sosio-kultural, maka perlu dikemukakan terlebih dahulu pengertian kebudayaan. Dalam pembahasan ini, kebudayaan dimaksudkan dalam arti luas yakni “keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu” (Koentjaraningrat, 1974: 19). Kebudayaan itu dapat:
(1)  Berwujud ideal yakni ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
(2) Berwujud  kelakuan  yakni  kelakuan  berpola  dari   manusia  dalam masyarakat.
(3)  Berwujud fisik yakni benda-benda hasil karya  manusia (Koentjaraningrat, 1974:  15-22).
Berbagai wujud kebudayaan itu selalu mengalami perubahan dan perkembangan   sesuai dengan perubahan dan kemajuan manusia dan masyarakat pendukung  kebudayaan itu.  Pengertian  kebudayaan   yang begitu luas tersebut seringkali dipecah lagi dalam unsur-unsurnya, dan sering dipandang sebagai unsur-unsur universal dari kebudayaan, yakni:
(a)  Sistem religi dan upacara keagamaan.
(b) Sistem dan organisasi kemasyarakatan.
(c) Sistem pengetahuan.
(d) Bahasa.
(e)  Kesenian.
(f)  Sistem mata pencarian.
(g)  Sistem teknologi dan peralatan.
Unsur-unsur tersebut diurutkan mulai dari yang umumnya sukar berubah atau kena pengaruh dari kebudayaan lain sampai yang paling mudah atau berubah atau diganti dengan unsur serupa dari kebudayaan lain (Koentjaraningrat, 1974: 11-13). Perlu pula dikemukakan bahwa perubahan pada salah satu dari unsur-unsur tersebut akan mempunyai dampak pada keseluruhan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Perkembangan masyarakat beserta kebudayaannya sekarang ini makin mengalami percepatan serta meliputi seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Percepatan perubahan itu terutama karena percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, utamanya teknologi informasi. Sejarah telah mencatat bahwa perubahan dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri relatif lebih lama dibandingkan dengan perubahan masyarakat industri ke masyarakat informasi. Bahkan di berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, masih berada dalam masa transisi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri serta segera diiringi perubahan ke masyarakat informasi (Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, 1992: 6). Perubahan yang cepat tersebut mempunyai beberapa karakteristik umum yang dapat dijadikan petunjuk sebagai ciri masyarakat di masa depan. Beberapa di antaranya yang dibahas selanjutnya adalah:
(1) Kecenderungan globalisasi  yang makin kuat.
(2) Perkembangan iptek yang makin cepat.
(3) Perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat.
(4)  Kebutuhan/tuntutan peningkatan layanan profesional dalam berbagai segi kehidupan manusia. Keseluruhan hal itu telah mulai tampak pengaruhnya masa kini, serta diperkirakan akan makin penting peranannya di masa depan.
Pemahaman tentang keadaan masyarakat masa depan tersebut akan sangat penting sebagai latar depan segala kebijakan dan upaya pendidikan masa kini dan masa yang akan datang. Seperti yang dikemukakan Moh. Ansyar (1992: 6): “Zaman kita, yang oleh Alvin Toffler disebut Gelombang Ketiga atau yang oleh John Naisbitt disebut Zaman Pasca-Industri, memerlukan suatu pendidikan yang berbeda dengan pendidikan pada zaman sebelumnya.” Kajian masyarakat masa depan itu semakin penting jika diingat bahwa pendidikan selalu merupakan penyiapan peserta didik bagi peranannya di masa yang akan datang. Dengan demikian, pendidikan seharusnya selalu mengantisipasi keadaan masyarakat masa depan.

1.   Kecenderungan Globalisasi
Istilah globalisasi (asal kata: global yang berarti secara umumnya, utuhnya, kebulatannya) bermakna bumi sebagai satu keutuhan seakan akan tanpa tapal batas administrasi negara, dunia menjadi amat transparan, serta saling ketergantungan antarbangsa di dunia semakin besar; dengan ..kata lain: Menjadikan dunia sebagai satu keutuhan, satu kesatuan. Suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu negara tertentu akan tersebar dengan cepat ke seluruh pelosok dunia, dari perkotaan sampai pedesaan, serta akan mempunyai pengaruh terhadap manusia dan masyarakat di mana pun di dunia ini. Dunia seakan akan menjadi sempit dan tak menghiraukan lagi batas-batas negara.
Gelombang globalisasi sedang menerpa seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia, menyusup ke dalam seluruh unsur kebudayaan dengan dampak yang berbeda-beda. Menurut Emil Salim (1990; 8-9) terdapat empat bidang kekuatan gelombang globalisasi yang paling kuat dan menonjol daya dobraknya, yakni bidang-bidang iptek, ekonomi, lingkungan hidup, dan pendidikan. Beberapa kecenderungan globalisasi dari keempat bidang tersebut sebagai berikut:
a.   Bidang iptek yang mengalami perkembangan yang semakin dipercepat, utamanya dengan penggunaan berbagai teknologi canggih seperti komputer dan satelit. Kekuatan pertama gelombang globalisasi ini membuat bumi seakan akan menjadi sempit dan transparan. Dalam waktu yang singkat dapat dihimpun informasi global yang terinci dan teliti dalam berbagai bidang, umpamanya kekayaan alam, laut, hutan, dan sebagainya melalui penginderaan jarak jauh tanpa mengenal batas negara. Globalisasi iptek tersebut memberi orientasi baru dalam bersikap dan berpikir serta berbicara tanpa batas negara.
b.   Bidang ekonomi yang mengarah ke ekonomi regional dan atau ekonomi global tanpa mengenal batas-batas negara. Di berbagai bagian dunia telah berkembang kelompok-kelompok ekonomi re­gional, seperti Masyarakat Ekonomi Eropa (untuk Eropa Barat), Area Perdagangan Bebas Amerika Utara atau NAFTA (untuk Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko), Area Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area atau AFTA untuk ASEAN). Gejala lain adalah makin meluasnya perusahaan multinasional sebagai perusahaan raksasa yang kakinya terTaman kuat di berbagai negara. Globalisasi ekonomi telah menyebabkan negara hanya bertapal batas politik saja, sedang dari segi ekonomi semakin kabur. Peristiwa ekonomi di suatu tempat pada negara tertentu akan memberi dampak kepada hampir seluruh dunia. Globalisasi ekonomi tersebut menyebabkan Kenichi Ohmac memberi judul “The Borderless World” (dunia tanpa tapal batas) pada bukunya (1990, dari Dedi Supriadi, 1990: 60).
c.   Bidang lingkungan hidup telah menjadi bahan pembicaraan dalam berbagai pertemuan internasional, yang mencapai puncaknya pada Konferensi Tingkat   Tinggi (KTT) Bumi, atau nama resminya: Konferensi PBB mengenai  Lingkungan  Hidup dan  Pembangunan (UNCED), pada awal Juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil. Kerusakan lingkungan hidup di suatu tempat akan memberi dampak negatif ke berbagai negara di sekitarnya, bahkan mengancam keselamatan planet bumi. Oleh karena itu, diperlukan wawasan dan kebijakan yang tepat dalam bidang pembangunan yang menjamin kelestarian dan keselamatan lingkungan hidup, atau pembangunan yang berwawasan lingkungan. Sebagai contoh, Indonesia yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia   berkewajiban menjaga kelestarian “paru-paru dunia” itu apabila mau memanfaatkan kekayaan itu untuk kemakmuran rakyatnya. Seperti diketahui, Indonesia telah menetapkan kebijakan pemanfaatan sebagian kecil hutan tropis itu dengan “tebang pilih Taman Indonesia”,  atau  program reboisasi dengan  hutan Tamanan industri. Demikian pula masalah pencemaran lingkungan seperti air, udara, dan sebagainya akan membawa  dampak  ke daerah atau negara sekitarnya.
d.   Bidang pendidikan dalam kaitannya dengan identitas bangsa, termasuk budaya nasional dan budaya-budaya nusantara. Di samping terpaan tentang gagasan-gagasan dalam pendidikan, globalisasi terjadi pula secara langsung menerpa setiap individu manusia melalui buku, radio, televisi, dan media lainnya. Sebagai contoh: Penggunaan antena parabola memberi peluang masuknya film dan sinetron langsung ke rumah dan peristiwa di berbagai penjuru dunia .secara langsung dapat dilihat di rumah setiap orang pada saat ataupun sesaat setelah peristiwa terjadi melalui siaran langsung televisi. Hal itu akan mempengaruhi wawasan, pikiran, dan bahkan perilaku manusia; selanjutnya bahkan mungkin tercipta suatu “budaya dunia” (Refleksi, 1990: 3).
Di samping keempat bidang tersebut, kecenderungan globalisasi juga tampak dalam bidang politik, hukum dan hak-hak asasi manusia, paham demokrasi, dan sebagainya. Suatu peristiwa yang berkaitan dengan hal-hal tersebut akan mendapat sorotan orang dan berbagai penjuru dunia. Sebagai contoh, pelaksanaan pemilihan umum di suatu negara akan dipantau secara langsung oleh berbagai negara lain dengan mengirim para peninjau, baik menjelang maupun pada saat pelaksanaan pemungutan suara. Kecenderungan globalisasi tersebut merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, banyak gagasan dalam menghadapi globalisasi itu yang menekankan perlunya berpikir dan berwawasan global namun harus tetap menyesuaikan keputusan dan tindakan dengan keadaan nyata di sekitarnya. Semboyan yang semakin luas diterima adalah “think globally but act locally” (Mochtar Buchori, 1990: 17). Untuk latar Indonesia yang bhinneka tunggal ika, hal itu tidak hanya mempertimbangkan aspek nasional tetapi juga aspek lokal di daerah yang bersangkutan.

2.    Perkembangan llmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek)
Perkembangan iptek yang makin cepat dalam era globalisasi merupakan salah satu ciri utama dari masyarakat masa depan. Perkembangan iptek pada akhir abad ke-20 ini sangat mengesankan, utamanya dalam bidang-bidang transportasi, telekomunikasi dan informatika, genetika, biologi molekul serta bioteknologi, dan sebagainya. Dan hampir dapat dipastikan bahwa perkembangan yang makin cepat itu masih akan berlanjut dalam abad ke-21 yang akan datang, dan demikian pula dengan limpahannya akan bersifat global. Globalisasi perkembangan iptek tersebut dapat berdampak positif ataupun negatif, tergantung pada kesiapan bangsa beserta kondisi sosial-budayanya untuk menerima limpahan informasi/ teknologi itu. Segi positifnya antara lain memudahkan untuk mengikuti perkembangan iptek yang terjadi di dunia, menguasai dan menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Sedangkan segi negatif akan timbul apabila kondisi sosial-budaya belum siap menerima limpahan itu (Pratiwi Sudarsono, 1990: 14-15).
Percepatan perkembangan iptek tersebut terkait dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis (Filsafat llmu, 1981: 9-15). Segi landasan ontologis, objek telaahan ialah berupa pengalaman atau segenap ujud yang dijangkau lewat alat indra telah mengalami perkembangan yang pesat karena didapatkannya peranti (device) yang membantu alat indra tersebut. Seperti diketahui, dalam penelitian telah digunakan mulai dari nano teknologi untuk meneliti DNA (deoxyribonudeic acid) sehubungan dengan struktur dan fungsi gen dengan peralatan yang berukuran nanometer (Pratiwi Sudarsono, 1990: 16), sampai dengan teleskop raksasa Nouut Polomar (diameter lensa: 200 inchi) untuk mengamati Bima Sakti yang berbintang sekitar seratus miliar (100.000.000.000) buah. Ataupun penjelajahan angkasa luar oleh pesawat tak berawak mampu mendekati/ mendarat di planet tata surya serta mengirimkan gambar seperti permukaan Mars oleh Viking, cincin Yupiter oleh Voyager 1 dan 2, dan sebagainya (Soendjojo Dirdjosoemarto dan Abdurachman, 1990: 394 dan 458-464).
Demikian pula halnya dengan peranti alat indra lainnya, selain untuk mata seperti tersebut di atas, telah/sedang dikembangkan berbagai peranti untuk membantunya. Iptek membantu mengembangkan peranti yang dapat mengatasi berbagai kekurangan atau keterbatasan alat indra, dan pada gilirannya, peranti itu sangat membantu mengembangkan iptek itu sendiri.
Selanjutnya, dari segi landasan epistemologis, cara yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan yang disebut ilmu pengetahuan tersebut telah mengalami perkembangan yang pesat. Berabad-abad lamanya orang berpegang sepenuhnya pada metode deduksi ala Aristoteles. Pada permulaan abad ketujuh belas, Francis Bacon memelopori  metode induktif yang menekankan bukti-bukti empiris sebagai batu uji kebenaran. Tentang hal tersebut Bertrand Russel (1953) melukiskan secara humoris tetapi tepat sebagai berikut: “Untuk manusia modern yang terdidik, seakan akan suatu hal   yang  biasa bahwa  kebenaran  suatu  fakta  harus  ditentukan  oleh pengamatan, dan tidak berdasarkan pada konsultasi dengan seorang ahli.”  Walaupun  begitu,  hal  ini  benar-benar adalah  suatu  konsepsi  modern, sesuatu yang hampir tidak pernah dilakukan sebelum abad ketujuh belas. Aristoteles bersikeras bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih sedikit dari  laki-laki; dan  meskipun dia pernah kawin  dua kali, tak pernah terlintas dalam pikirannya untuk menguji pendapatnya dengan mengamati mulut istrinya (dari Mouly, 1963: 87-88). Meskipun pendekatan induktif merupakan loncatan penting akan tetapi belum memadai. “Sekarang kita sadari dengan sepenuhnya betapa salahnya para ahli teori yang berpendapat bahwa teori datang secara induktif dari pengalaman”, demikian pendapat Einstein (1936, dari Mouly  1963: 90). Oleh karena itu, sejak Charles Darwin memelopori penggabungan metode deduktif dan metode induktif, dan dengan  pengajuan hipotesis, maka sekarang dikenal sebagai daur hipotetiko-dedukto-verifikatif dalam metode ilmiah (Filsafat Ilmu, 1981: 15 dan 156), ataupun Model Induktif-Hipotetiko-Deduktif dalam proses penelitian (Raka Joni,  1984: 6). Perkembangan ilmu yang terakhir ini ialah penyusunan suatu teori atau ilmu teoretis sebagai kerangka pemikiran yang menjelaskan gejala dan hubungan yang diperoleh dalam pengujian empiris, dan selanjutnya dapat meramalkan dan menentukan cara mengontrol hal-hal itu. “Tahap yang maju ini kelihatannya akan lebih mampu dicapai dalam ilmu-ilmu alam dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial” (Mouly, 1963: 96).
Dan   akhimya   landasan   aksiologis   atau   untuk   apa   iptek   itu dipergunakan, yang mempersoalkan tentang penggunaan iptek tersebut secara moral tertuju pada kemaslahatan manusia. Terdapat serangkaian kegiatan  pengembangan dan pemanfaatan iptek, yakni:
(1) Penelitian  dasar (basic research)
(2) Penelitian  terapan  (applied research).
(3) Pengembangan  teknologi  (technological development).
(4) Penerapan teknologi.
Biasanya langkah-langkah tersebut diikuti oleh langkah evaluasi, apakah hasil iptek tersebut dapat diterima masyarakat, umpamanya dari segi etis-politis-religius-dan sebagainya. Karena perkembangan iptek yang makin dipercepat dan global, maka terdapat kecenderungan yang kuat agar penilaian tersebut dimulai sedini mungkin, dimulai dengan pengarahan awal, dilanjutkan dengan pemantauan selama rangkaian kegiatan itu berlangsung, dan akhirnya penilaian akhir seperti tersebut di atas (Filsafat Ilmu, 1981: 15 dan 166-167). Hal tersebut sangat penting karena masyarakat masa depan adalah masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh iptek, yang akan lebih membenarkan ucapan Francis Bacon bahwa “ilmu adalah kekuasaan.” Dan kalau ilmu adalah kekuasaan maka teknologi merupakan alat kekuasaan atas :
(i) Manusia, yakni demi kemaslahatan atau sebaliknya mengekspioitasi manusia itu.
(ii)  Kebudayaan, yakni memperkaya dan memperkuat kebudayaan atau melunturkan nilai-nilai budaya yang dapat menimbulkan krisis identitas budaya.
(iii) Alam, yakni memanfaatkan sambil menjaga kelestariannya ataukah memusnahkan seluruh kehidupan di bumi (Filsafat Ilmu, 1981: 164-166). Oleh karena itu, penguasaan iptek merupakan salah satu kunci keberhasilan masyarakat kita di masa depan.
Telah dikemukakan bahwa globalisasi perkembangan iptek yang cepat tersebut adalah peluang dan tantangan. Terbuka peluang bagi kita untuk mengikuti perkembangan iptek tersebut secara dini. Sebaliknya, apabila masyarakat belum siap menerimanya, maka akan berubah menjadi tantangan. Bahkan dapat terjadi kesenjangan antara ilmuwan di satu pihak dan masyarakat luas di lain pihak. Untuk latar negara-negara Barat, C.P. Snow dalam The Two Cultures (1963, dari Filsafat Ilmu, 1981: 149) mengingatkan adanya dua pola kebudayaan dalam masyarakatnya, yakni masyarakat ilmuwan dan masyarakat terdidik nonilmuwan (scientific and literary communities), yang akan menghambat kemajuan baik iptek siaran langsung dari berbagai penjuru dunia tentang berbagai peristiwa penting yang sedang terjadi, ataupun wawancara jarak jauh melalui televisi. Hal itu mau tak mau telah memaksa kita mempunyai konsep baru tentang berita, yakni bukan apa yang telah terjadi tetapi apa yang sedang terjadi. Demikian pula kekuatan pengaruh dari gambar yang ditayangkannya, tidak sekadar menyentuh aspek kognitif tetapi juga aspek afektif (umpamanya tentang kelaparan di suatu negara). Demikian pula rekaman lagu yang disertai gambar-gambar dalam rekaman video akan lebih menyentuh keutuhan pribadi pemirsanya.
Seperti sering dikemukakan bahwa “actions speak louder than words” ataupun “one picture is worth a thousand words” (Komunikasi Pendidikan, 1982/1983: 9), maka penggunaan kombinasi audio dan video makin memegang peranan penting.
Meskipun teknologi komunikasi dan informasi telah mengalami perkembangan yang cepat, namun belum merata pada semua negara. Alih teknologi ke negara berkembang berjalan relatif sangat lambat, dan arus informasi didominasi oleh beberapa negara maju. Oleh karena itu, diperlukan berbagai upaya untuk merebut teknologi tersebut. Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan (Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, 1992: 18-20) dalam upaya-upaya tersebut, seperti:
(1) Pengembangan teknologi satelit yang mutakhir.
(2)  Penggunaan teknologi digital yang mampu menyalurkan sinyal yang beragam (suara, video, dan data) menuju bentuk ISDN (integrated service digital network) yang dikelola dengan sistem komputer (muncul kini istilah “communication” “atau” C & C” singkatan dari “computer and communication).
(3)  Di bidang media cetak antara lain penggunaan VDT (video display terminal), surat kabar elektronik, dan sistem cetak jarak jauh.
(4)  Di bidang media elektronik antara lain penggunaan DBS (direct broadcast satellite), penggunaan HDTV (high definition television), dan sebagainya. Kesemuanya itu akan mempercepat terwujudnya suatu masyarakat informasi, sebagai masyarakat masa depan.

3.  Peningkatan Layanan Profesional
Salah satu ciri penting masyarakat masa depan adalah meningkatnya kebutuhan layanan profesional dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Karena perkembangan iptek yang makin cepat serta perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat, maka anggota masyarakat masa /depan semakin luas wawasan dan pengetahuannya serta daya kritis yang /semakin tinggi. Oleh karena itu, manusia masa depan tersebut makin / menuntut suatu kualitas hidup yang lebih baik, termasuk berbagai layanan yang dibutuhkannya.  Layanan yang diberikan oleh pemangku profesi tertentu, atau layanan profesional, akan semakin penting untuk kebutuhan masyarakat tersebut.
Profesi adalah suatu lapangan pekerjaan dengan persyaratan tertentu, “suatu vokasi khusus yang mempunyai ciri-ciri;Expertise (keahlian), responsibility (tanggung jawab), corporateness (kesejawatan)” (Hunting-ton, 1964, dari Nugroho Notosusanto, 1984: 16). Profesi sebagai suatu vokasi (vocation) yang memerlukan teknik dan prosedur kerja yang harus dipelajari secara sengaja dan dalam jangka waktu tertentu untuk diabdikan sebagai layanan untuk kemaslahatan orang lain, serta ditandai oleh ketanggapan yang bijaksana (informed responsiveness) yang didasari oleh filosofi tentang pekerjaannya (Me Cully, 1969, dari T. Raka Joni, 1981: 3). Robert W. Richey (1974) dan D. Westby-Gibson (1965) mengemukakan berbagai ciri profesi (dari Profesionalisasi Jabatan Guru, 1983: 4-6) yaitu :
a.   Lebih mengutamakan pelayanan kemanusiaan yang ideal, dan layanan itu memperoleh pengakuan masyarakat (harus dilakukan oleh pemangku profesi tersebut).
b.   Terdapat sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan dari sejumlah teknik dan prosedur yang unik, serta diperlukan waktu yang relatif panjang untuk mempelajarinya sebagai periode persiapan yang sengaja dan sistematis agar mampu melaksanakan layanan itu (pendidikan/pelatihan prajabatan).
c.   Terdapat suatu mekanisme saringan berdasarkan kualifikasi tertentu, sehingga hanya yang kompeten yang diperbolehkan melaksanakan layanan profesi itu.
d,   Terdapat suatu kode etik profesi yang mengatur keanggotaan, serta tingkah laku, sikap dan cara kerja dari anggotanya itu.
e.   Terdapat organisasi profesi yang akan berfungsi menjaga/meningkatkan layanan profesi, dan melindungi kepentingan serta kesejahteraan anggotanya.
f.    Pemangku profesi memandang profesinya sebagai suatu karier hidup dan menjadi seorang anggota yang relatif permanen, serta mempunyai kemandirian dalam melaksanakan profesinya dan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya sendiri.
Berdasarkan paparan di atas ternyata bahwa status profesional memerlukan persyaratan yang berat, sehingga tidak semua jenis pekerjaan dapat memperolehnya. Diperlukan suatu perjuangan panjang yang menerus dan bertahap melalui semi profesional agar dapat diakui sebagai profesional penuh. Howsam, et.al. (1976: 7-9) mengemukakan suatu pandangan historis tentang profesi dengan mengemukakan lima lingkaran konsentris dari titik tengah berturut-turut :
(1)  Profesi tertua yakni hukum, kesehatan, teologi, dan dosen.
(2)  Profesi baru yakni arsitektur, insinyur (engineering), dan optometri.
(3)  Pekerjaan yang segera diakui sebagai profesi (emergent professions), umpamanya pekerja sosial yang masih semiprofesional akan segera diakui sebagai profesional.
(4)  Semi profesional.
(5)  Pekerjaan biasa yang tidak berusaha memperoleh status profesional.
Berdasarkan pendapat tersebut ternyata bahwa proses profesionalisasi terus berlangsung, dan dalam masyarakat di masa depan hal itu semakin memegang peranan penting.
Profesionalisasi merupakan proses pemantapan profesi sehingga memperoleh status yang melembaga sebagai profesional (Nugroho Notosusanto, 1984: 13-16), di dalamnya akan terkait dengan permasalahan akreditasi, sertifikasi, dan izin praktek. Mc Cully (1969, dari T. Raka Joni, 1981: 5-8) mengemukakan enam tahap dalam proses profesionalisasi yakni :
a.   Penetapan dan pemantapan layanan unik yang diberikan oleh suatu profesi sehingga memperoleh pengakuan masyarakat dan pemerintah. Sekedar contoh: Layanan unik dari para dokter, dan apabila dilakukan oleh pihak lain, akan dituduh sebagai “dokter palsu”.
b.   Penyepakatan antara kelompok profesi dan lembaga pendidikan prajabatan tentang standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh setiap calon profesi tersebut.
c.   Akreditas, yakni pengakuan resmi tentang kelayakan suatu program pendidikan prajabatan yang ditugasi menghasilkan calon tenaga profesi yang bersangkutan. Penilaian kelayakan itu meliputi antara lain: Tujuan dan filosofi pendidikannya, isi program, fasilitas pendukung, ketenagaan, pelaksanaan program, dan sebagainya.
d.   Mekanisme sertifikasi dan pemberian izin praktek.
Sertifikasi merupakan pengakuan resmi kepada seseorang yang memiliki kompetensi yang diprasyaratkan oleh profesi tertentu. Meskipun demikian, tenaga pemula tersebut harus dapat membuktikan kemandiriannya dalam memberikan layanan sesuai dengan kode etik profesi sebelum memperoleh rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatkan izin praktek (licence). Hal terakhir itu bertujuan melindungi masyarakat dalam upaya memperoleh layanan yang bermutu.
e.   Baik secara perseorangan maupun secara kelompok, pemangku profesi bertanggung jawab penuh terhadap segala aspek pelaksanaan tugasnya yakni kebebasan mengambil keputusan secara profesional. Penilaian pihak lain haruslah berupa penilaian sesama ahli yang sederajat. Independent judgement”  merupakan ciri esensial dari profesionalitas.
f.    Kelompok profesional memiliki kode etik, yang berfungsi ganda, yakni:
(1)  Perlindungan   terhadap   masyarakat   agar   memperoleh   layanan yang bermutu.
(2) Perlindungan dan pedoman peningkatan kualitas anggota.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa masyarakat masa depan dengan kecenderungan globalisasi, utamanya dalam perkembangan iptek dan arus informasi yang makin dipercepat, akan menjadi masyarakat yang menuntut kualitas layanan profesional yang optimal. Hal itu harus diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga profesional secara berencana dan sistematis, baik pada pendidikan prajabatan maupun pendidikan dalam jabatan. Pembinaan tersebut meliputi  semua aspek ketenagaan, baik aspek wawasan maupun aspek teknis dan prosedur kerja dari layanan tersebut. Sehubungan dengan kecenderungan permasalahan manusia yang bersifat holistik dan memerlukan penanganan multidisiplin, maka tuntutan mutu layanan profesional tersebut semakin tinggi pula. Hal itu menuntut suatu kerja sama antartenaga profesional yang semakin erat.  Dengan demikian, kualitas hidup dan kehidupan manusia dalam masyarakat di masa depan akan lebih baik lagi.

B.  Upaya Pendidikan dalam Mengantisipasi Masa Depan
Masyarakat masa depan dengan ciri globalisasi, kemajuan iptek, dan kesempatan menerima arus informasi yang padat dan cepat, dan sebagainya, tentulah memerlukan warga yang mau dan mampu menghadapi segala permasalahan serta siap menyesuaikan diri dengan situasi baru tersebut.  Pendidikan berkewajiban mempersiapkan generasi baru yang sanggup menghadapi tantangan zaman baru yang akan datang. Seperti telah dikemukakan, manusia masa depan yang harus dihasilkan oleh pendidikan antara lain manusia yang melek teknologi dan melek pikir yang keseluruhannya disebut melek kebudayaan, yang mampu “think globally but act locally”, dan sebagainya. Pembangunan manusia masa depan seutuhnya mempersyaratkan upaya pembaruan pendidikan. Edgar Faure dalam surat   (18 Mei 1972) yang mengantar laporan Komisi Internasional Pengembangan Pendidikan yang diketuainya, yang dikirim kepada Direktur Jenderal UNESCO, mengemukakan bahwa “rumusan-rumusan tradisional dan   perbaikan-perbaikan sebagian, tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan yang belum pernah ada, yang timbul dari tugas dan fungsi baru yang harus dipenuhi (Faure, et.al., 1972/1981: vii).” Seperti diketahui laporan komisi  tersebut  bergema  ke  seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang telah mendorong upaya-upaya pembaruan pendidikan seumur hidup untuk  membangun manusia seutuhnya serta mewujudkan suatu masyarakat belajar, dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan dalam masyarakat yang sedang berubah dengan cepat haruslah dilakukan secara menyeluruh dengan pendekatan sistematis-sistematik. Pendekatan sistematis adalah pengembangan pendidikan dilakukan secara teratur melalui perencanaan yang bertahap; sedang sistematik menunjuk pada pendekatan sistem dalam proses berpikir yang mengaitkan secara fungsional semua aspek dalam pembaruan pendidikan tersebut (Depdikbud, 1991/1992a: 21). Penggarapan pembaruan pendidikan tersebut harus menyeluruh, mulai pada lapis sistem/nasional, lapis institusional, sampai pada lapis individual (Charters dan Jones, 1973), dari, Raka Joni, 1983: 24). Pada lapis sistem, secara nasional telah ditetapkan serangkaian kebijakan yang dituangkan ke dalam sejumlah perundang-undangan, utamanya UU-RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas   beserta  serangkaian  peraturan  pelaksanaannya.  Penggarapan pada  lapis   institusional  berkaitan  dengan  aspek  kelembagaan  seperti: Kurikulum, struktur dan mekanisme pengelolaan, sarana-prasarana, dan lain-lain. Akhirnya pada lapis individual, penggarapan upaya pembaruan terkait dengan semua personal yang terlibat dalam pendidikan, utamanya guru  dan  siswa,  meliputi  baik pengetahuan dan keterampilan  maupun wawasan serta sikapnya. Keberhasilan pengembangan pendidikan tersebut tergantung pada keserasian penggarapan ketiga lapisan itu; tidak cukup hanya pada tingkat pengambilan keputusan (umpama dengan keputusan menteri) tetapi harus secara serentak dengan penyiapan kelembagaan dan ketenagaan.
Keberhasilan antisipasi terhadap masa depan pada akhirnya ditentukan oleh kualitas manusia yang dihasilkan oleh pendidikan. Seperti diketahui, dengan telah ditetapkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 beserta peraturan laksanaannya maka telah dimantapkan kerangka landasan pembangunan; sektor pendidikan   untuk   bersama-sama   dengan   sektor   lainnya akan memberikan dasar yang  lebih kuat bagi  proses  tinggal  landas dalam pembangunan jangka panjang kedua (1994-2019). Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya merupakan kunci keberhasilan bangsa dan negara Indonesia dalam abad 21  yang akan datang.  Oleh karena itu, kajian selanjutnya adalah :
(1)  Tuntutan bagi manusia masa depan.
(2)  Upaya mengantisipasi masa depan, utamanya yang berhubungan dengan perubahan nilai dan sikap sebagai manusia modern, pengembangan kehidupan dan kebudayaan, serta pengembangan sarana pendidikan. Kajian itu didasarkan pada perkiraan tentang manusia dan masyarakat di masa depan.
 Dengan demikian, isi paparan ini harus dikaji dan diuji dengan kenyataan-kenyataan yang terjadi pada saat paparan ini dibaca.
1.   Tuntutan bagi Manusia Masa Depan (Manusia Modern)
Dalam pembicaraan  tentang perkiraan  masyarakat  masa depan, secara tersirat telah pula dibicarakan tentang tantangan-tantangan yang akan dihadapi manusia masa depan, seperti: Kemampuan menyesuaikan diri   dan memanfaatkan peluang globalisasi dalam berbagai bidang, wawasan  dan pengetahuan yang memadai tentang iptek umpamanya melek teknologi tanpa harus menjadi pakar iptek, kemampuan menyaring dan memanfaatkan arus informasi yang semakin padat dan cepat, dan kemampuan bekerja efisien sebagai cikal bakal kemampuan profesional. Keempat tantangan tersebut merupakan gejala konstelasi dunia masa kini dan masa depan, dan oleh karena itu, manusia Indonesia perlu berupaya /untuk menyesuaikan diri sehingga menjadi manusia modern. Setiap upaya manusia untuk menyesuaikan diri terhadap konstelasi dunia pada masanya (pada masa lampau, kini, ataupun datang) adalah proses modernisasi (Koentjaraningrat,   1974:  131-136).  Kalau dalam abad ke-20 acuan modernisasi terutama ialah kawasan Eropa Barat dan Amerika Serikat, dalam abad ke-21 acuan tersebut dapat bertambah dengan Jepang, Korea Selatan, atau negara maju  lainnya.
Berdasarkan acuan normatif yang berlaku (UU RI No. 2/1989 beserta peraturan pelaksanaannya) telah ditetapkan rumusan tujuan pendidikan di Indonesia, yang dapat dianggap sebagai profil manusia Indonesia di masa depan. Salah satu ketentuan penting dalam perundang-undangan tersebut adalah ketetapan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun, yakni 6 tahun di  sekolah dasar (penggalan pertama) dan 3 tahun di  sekolah lanjutan pertama (penggalan kedua). Menjelang PJP II telah diambil langkah persiapan kewajiban belajar 9 tahun,   sebagai peningkatan kewajiban belajar yang telah berhasil dilaksanakan sebelumnya (hanya 6 tahun). Dengan pendidikan dasar 9 tahun tersebut (SD dan SLTP) diharapkan setiap manusia Indonesia akan mempunyai bekal dasar yang memadai sebagai individu, warga masyarakat, warga negara, dan bahkan warga dunia. Dalam penjelasan PP RI No: 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (yakni Penjelasan Pasal 3) dikemukakan rincian tujuan-tujuan pendidikan dasar tersebut (Undang-Undang, 1992: 79-80) sebagai berikut :
a.   Pengembangan kehidupan siswa sebagai pribadi sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk:
1)   Memperkuat dasar keimanan dan ketakwaan;
2)  Membiasakan untuk berperilaku yang baik;
3)  Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar;
4)  Memelihara kesehatan jasmani dan rohani;
5)  Memberikan kemampuan untuk belajar; dan
6)  Membentuk kemampuan untuk belajar.
b.   Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai anggota masyarakat sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk :
1)   Memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat ;
2)  Menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam masyarakat; dan
3) Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan bermasyarakat.
c.   Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai warga negara sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk :
1)   Mengembangkan perhatian dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban sebagai warga negara Republik Indonesia;
2)   Menanamkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan negara; dan
3)   Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
d.   Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai anggota umat manusia mencakup upaya untuk:
1)   Meningkatkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat;
2)   Meningkatkan kesadaran tentang hak asasi manusia;
3)   Memberikan pengertian tentang ketertiban dunia; dan
4)   Meningkatkan kesadaran pentingnya persahabatan antarbangsa.
e.   Mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah dalam menguasai kurikulum yang disyaratkan.
Rincian tujuan-tujuan pendidikan dasar tersebut di atas, dapat dipandang sebagai profil dasar manusia Indonesia di masa kini dan masa depan, melingkupi dua sisi utama dari setiap upaya pendidikan, yakni pengembangan pribadi manusia dan penguasaan iptek. Menurut Fuad Hassan upaya pendidikan dalam pemantapan kesejatian diri (being) lebih penting daripada apa yang tergolong sebagai milik (having) yakni aspek penguasaan iptek. Sebab segala pemilikan itu tak lain dari “perpanjangan” dari suatu pusat yang sadar akan diri pribadinya untuk “menjadi orang Indonesia”. Selanjutnya ditegaskan bahwa “membangun manusia Indo­nesia  seutuhnya ialah  manusia  Indonesia  sebagai  fakta apriori  yang kemudian dibangun dengan bekal ilmu pengetahuan dan teknologi serta keahlian dan kemahiran lainnya sebagai fakta aposteriori” (Fuad Hassan, 1986 : 40).   Untuk  jenjang   pendidikan   dasar   hal   itu   berarti   bahwa kemampuan dasar sebagai manusia Pancasila yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar akan siap untuk :
(i)   Memasuki  lapangan  kerja  sebagai  manusia  pembangunan   setelah melalui orientasi dan/atau pelatihan tambahan sesuai dengan kebutuhan.
(ii)  Melanjutkan ke pendidikan menengah.

Tuntutan manusia Indonesia di masa depan, setelah kemampuan dasar tersebut di atas, terutama diarahkan kepada pembekalan kemampuan yang sangat diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan di masa depan tersebut. Beberapa di antaranya seperti :
(1)  Ketanggapan terhadap berbagai masalah sosial, politik, kultural. dan lingkungan.
(2)  Kreativitas di dalam menemukan alternatif pemecahannya.
(3)  Efisiensi dan etos kerja yang tinggi (Sekretariat Bersama, 1989: 10).
Bertolak dari tesis ketidakpastian, Makaminan Makagiansar (1990:  5-6) mengemukakan pentingnya mengembangkan empat hal pada peserta didik, yakni :
(1)  Kemampuan mengantisipasi (anticipate) perkembangan berdasarkan ilmu pengetahuan.
(2)  Kemampuan dan sikap untuk mengerti dan mengatasi situasi (cope).
(3)  Kemampuan mengakomodasi (accomodate), utamanya perkembangan iptek serta perubahan yang diakibatkannya.
(4)  Kemampuan mereorientasi (reorient), utamanya kemampuan seleksi (filter) terhadap arus informasi yang membombardirnya.
Akhirnya dikemukakan pendapat Mayjen Sajidiman (1972: 10-11) yang menekankan kemampuan yang diperlukan manusia Indonesia berdasarkan fungsinya, yakni :
(a)  Pekerja yang terampil yang menjadi bagian utama dari mekanisme produksi (dalam arti luas) yang harus lebih efektif dari efisien.
(b)  Pemimpin dan manajer yang efektif, yang memiliki kemampuan berpikir, mengambil keputusan yang tepat pada waktunya serta mengendalikan pelaksanaan dengan cakap dan berwibawa.
(c)  Pemikir yang mampu menentukan/memelihara arah perjalanan dan melihat segala kemungkinan di hari depan.

2.   Upaya Mengantisipasi Masa Depan
Berdasarkan perkiraan tentang masyarakat masa depan serta profil manusia yang diharapkan berhasil di dalam masyarakat itu maka perlu dikaji berbagai upaya masa kini yang memungkinkan mewujudkan manusia masa depan tersebut. Meskipun upaya pendidikan selalu berorientasi kemasa depan, namun peralihan ke abad 21 yang akan datang ini sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia, karena akan memasuki PJP sebagai era kebangkitan nasional kedua. Seperti telah dikemukakan bahwa masyarakat Indonesia sedang beralih dari masyarakat agraris ke masyarakat industri dan masyarakat informasi. Oleh karena itu, mengembangkan sumber daya manusia, utamanya melalui pendidikan sebagai  pilar utama, akan sangat penting.

Dalam penjelasan UU RI No. 2 Tahun 1989 dikemukakan sebagai berikut:   “Dalam   rangka   pelaksanaan   pembangunan   nasional   sebagai pengamalan Pancasila di bidang pendidikan, maka pendidikan nasional mengusahakan : Pertama, pembentukan manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu mandiri, dan kedua, pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang tangguh  ...... (Undang-Undang, 1992: 24). Dari penjelasan itu ternyata bahwa fungsi pendidikan (jalur sekolah dan luar sekolah) diarahkan bukan hanya untuk pembangunan/manusia saja tetapi juga ikut serta dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, kajian tentang upaya mengantisipasi masa depan melalui pendidikan akan diarahkan pada:
(a)  Aspek yang paling berperan dalam individu untuk memberi arah antisipasi  tersebut yakni  nilai dan  sikap.
(b)  Pengembangan budaya dan sarana kehidupan.
(c)  Tentang pendidikan itu sendiri, utamanya pengembangan sarana pendidikan. Ketiga hal tersebut merupakan titik strategi dalam mengantisipasi masa depan tersebut.
a.   Perubahan Nilai dan Sikap
Nilai dan sikap memegang peranan penting dalam menentukan wawasan dan perilaku manusia. Nilai merupakan norma, acuan yang seharusnya, dan atau kaidah yang akan menjadi rujukan perilaku. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari berbagai hal, seperti agama, hukum, adat istiadat, moral, dan sebagainya, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Bagi bangsa Indonesia dengan masyarakat yang majemuk terjadi variasi sistem nilai dan tata kelakuan (sebagai wujud ideal dari kebudayaan nusantara). Meskipun bhinneka namun bangsa Indonesia bertekad tunggal ika dengan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan dasar negara Indonesia. Ketetapan MPR RI No. D/MPR/78 telah menetapkan dalam Pasal 4 sebagai berikut: “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, ......
(Ketetapan-Ketetapan, 1978:51).” Pemasyarakatan ekaprasetia pancakarsa tersebut semakin penting di masa depan karena makin gencarnya globalisasi, utamanya dalam arus informasi yang makin padat dan cepat. Setiap anggota masyarakat dan warga negara Indonesia harus mau dan mampu menggunakan nilai-nilai luhur bangsanya sebagai filter dalam menghadapi globalisasi tersebut.
Salah satu pengaruh nilai-nilai tersebut akan tampak dalam sikap (attitude) seseorang. Kalau nilai masih bersifat “umum”, maka sikap selalu terkait dengan objek tertentu dan disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tersebut (dapat positif ataupun negatif). Sebagai kemampuan internal, sikap akan sangat berperan menentukan apabila terbuka, kemungkinan berbagai alternatif untuk bertindak. Dalam sikap dapat dibedakan tiga aspek, yakni :
(1)  Aspek kognitif seperti pemahaman tentang objek sikap.
(2)  Aspek afektif yang sangat dipengaruhi oleh nilai dan dapat sangat subjektif seperti setuju atau tak setuju, suka atau benci, dan sebagainya.
(3)  Aspek konatif yang mendorong untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tersebut. Ketiga aspek tersebut pada dasarnya terpadu dalam membentuk sikap seseorang. Terdapat beberapa ciri dari sikap, antara lain: Sesuatu yang dibentuk/dipelajari, dapat diubah namun prosesnya dapat berlangsung sangat lambat, selalu mempunyai segi-segi perasaan dan motivasi, serta objeknya dapat berupa satu hal tertentu atau kumpulan dari hal tersebut.
Pembentukan/pengubahan nilai dan sikap dalam diri seseorang dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti pembiasaan, internalisasi nilai melalui ganjaran-hukuman, keteladanan (modeling), teknik klarifikasi nilai, dan sebagainya. Perlu ditekankan bahwa setiap cara tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga hasil belajar berupa nilai dan sikap pada dasarnya adalah hasil akumulasi dari berbagai kegiatan belajar, baik sebagai dampak instruksional ataupun dampak pengiring (nurturant effect). Hasil belajar berupa nilai dan sikap dapat dikategorikan dalam kawasan (ranah) afektif. Taksonomi tujuan pendidikan dalam ranah afektif tersebut dikemukakan antara lain oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964, dari Bloom, Hastings, dan Madaus, 1971: 229) yang menekankan proses internalisasi yang kontinu dari yang rendah sampai yang tertinggi sebagai berikut :
(1)  Penerimaan (receiving, attending).
(2)  Penanggapan (responding).
(3)  Penilaian, peyakinan (valuing).
(4)  Pengorganisasian, konseptualisasi (organization).
(5)  Pewatakan, pemeranan (characterization). Sasaran akhir pembentukan/ pengubahan nilai dan sikap adalah bahwa suatu norma sebagai acuan perilaku telah terwujud dalam perilaku sehari-hari secara konsisten; dengan kata lain, sistem nilai telah terbentuk dan mewarnai pandangan hidup dan perilaku seseorang dalam hidupnya.
Perubahan nilai dan sikap dalam rangka mengantisipasi masa depan haruslah diupayakan sedemikian rupa sehingga dapat diwujudkan keseimbangan dan keserasian antara aspek pelestarian dan aspek pembaruan. Nilai-nilai luhur yang mendasari kepribadian dan kebudayaan Indonesia seyogyanya akan tetap dilestarikan, agar terhindar dari krisis identitas. Sebagai suatu masyarakat pluralistik, puncak-puncak budaya nusantara seharusnya dikembangkan untuk memantapkan dan memperkaya kebudayaan Indonesia. Dengan kata lain, muatan lokal dalam program pendidikan haruslah dilakukan sedemikian rupa sehingga melengkapi dan memperkuat muatan nasional dalam memilih dan memilah pengaruh global. Di sisi lain, yang harus serentak dengannya, ialah aspek pembaruan merujuk pada upaya mengadakan penyesuaian dengan tuntutan dan kebutuhan zaman yakni suatu “budaya dunia”, seperti rasional, efisiensi, efektivitas, terbuka menerima iptek, dan sebagainya. Oleh karena itu, “pendidikan harus selalu menjaga secara seimbang pembentukan kemampuan mempertanyakan, di samping kemampuan menerima dan mempertahankan” (Raka Joni, 1983: 54). Keserasian dan keselarasan antara pelestarian dan pembaruan nilai dan sikap tersebut yang akan memberi peluang keberhasilan menjemput masa depan itu.
b.   Pengembangan Kebudayaan
Salah satu upaya penting dalam mengantisipasi masa depan adalah upaya yang berkaitan dengan pengembangan kebudayaan dalam arti luas, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sarana kehidupan manusia. Seperti telah dikemukakan, kebudayaan  mencakup unsur-unsur mulai dari sistem religi, kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencarian, sampai dengan sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1974:   12).   Unsur   terakhir tersebutlah yang   paling mudah berubah dibandingkan dengan unsur lainnya; akan tetapi. perubahan masyarakat Indonesia dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan masyarakat informasi   telah menyebabkan keseluruhan unsur-unsur tersebut akan mengalami  pengaruh yang kuat. Oleh karena itu, manusia Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh budaya setempat (sesuai dengan etnis yang ada di Nusantara) dan budaya Indonesia (yang berkembang dari puncak budaya-budaya Nusantara itu), tetapi juga menerima berbagai pengaruh “budaya   dunia” (Refleksi, 1990: 3-4). Dalam menghadapi berbagai pengaruh  tersebut  setiap individu diharapkan dapat menyelaraskannya dengan baik, agar dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang selalu berubah tersebut dengan  berhasil.
Saling pengaruh dalam pengembangan kebudayaan di dunia ini, merupakan hal yang lumrah. Dalam sejarah tercatat bagaimana puncak kebudayaan pada suatu wilayah tertentu akan mempengaruhi kebudayaan lain di dunia ini. Berkaitan dengan hal itu UNESCO telah menetapkan konsep Dasawarsa Kebudayaan Sedunia yang menekankan bahwa pengembangan kebudayaan dunia masa kini harus meliputi empat dimensi (Makaminan Makagiansar, 1990: 7) yakni :

1)   Afirmasi atau penegasan dimensi budaya dalam proses pembangunan, karena pembangunan akan hampa jika tidak diilhami oleh kebudayaan masyarakat/bangsa yang bersangkutan.
2)   Mereafirmasi dan mengembangkan identitas budaya, dan setiap kelompok manusia berhak diakui identitas budayanya.
3)   Partisipasi, yakni dalam pengembangan suatu bangsa dan negara maka partisipasi yang optimal dari masyarakat adalah mutlak perlu.
4)   Memajukan kerja sama budaya antarbangsa yang merupakan tuntutan mutlak dalam era globalisasi.
Bagi bangsa Indonesia yang sedang berubah secara serentak dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri dan masyarakat informasi, ketahanan budaya akan memegang peranan penting. Pelestarian nilai-nilai luhur Pancasila sebagai inti ketahanan budaya tersebut menjadi acuan pokok dalam memilih dan memilah segala pengaruh yang datang agar tidak terjadi krisis identitas bangsa Indonesia. Karena dewasa ini tidak mungkin lagi menutup diri terhadap pengaruh kebudayaan lain. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah memperkuat ketahanan budaya, sehingga dapat memanfaatkan pengaruh yang positif serta menghindari/memperkecil pengaruh negatif dari kebudayaan lain tersebut. Peranan pendidikan merupakan faktor menentukan dalam membangun dan memperkuat ketahanan budaya tersebut.
c.    Pengembangan Sarana Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu pilar utama dalam mengantisipasi masa depan, karena pendidikan selalu diorientasikan pada penyiapan peserta didik untuk berperan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pengembangan sarana pendidikan sebagai salah satu prasyarat utama untuk menjemput masa depan dengan segala kesempatan dan tantangannya. Seperti telah dikemukakan, menjelang pelaksanaan PJP II, sektor pendidikan telah meletakkan kerangka dasar pengembangannya melalui seperangkat perundang-undangan (UU RI No.2 Tahun 1989 beserta peraturan pelaksanaannya). Dengan penetapan kerangka dasar tersebut maka pendidikan mempunyai suatu acuan dalam penyesuaian dengan keadaan yang selalu berubah, utamanya perkembangan masyarakat, bangsa, dan negara Indo­nesia di masa yang akan datang (Undang-Undang, 1992: 27). Seperti diketahui, meskipun Menteri Dikbud yang bertanggung jawab atas bidang pendidikan nasional, akan tetapi penyelenggaraannya tersebar di berbagai lembaga pendidikan, baik jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, serta dikelola oleh berbagai pihak (Depdikbud, Pemerintah Non-Depdikbud, dan Masyarakat). Acuan bersama tersebut sangat penting, utamanya dalam pengembangan sarana pendidikan baik perangkat lunak maupun perangkat keras.

Salah satu kebijakan penting menjelang PJP II tersebut adalah yang berkaitan dengan pendidikan dasar, yakni perubahan pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9 tahun (6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP), serta perubahan kualifikasi awal guru SD dari pendidikan menengah (SPG dan sederajat) menjadi pendidikan tinggi (diploma dua, yang kelak dapat dikembangkan menjadi sarjana).
Kebijakan itu diiringi pula dengan penetapan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Kebijakan ini merupakan awal dari serangkaian kebijakan yang akan bermuara pada peningkatan sumber daya manusia, yaitu manusia Indonesia yang menguasai iptek yang akan mampu “think globally but act locally” (Mochtar Buchori, 1990: 17). Peningkatan mutu pendidikan dasar itu yang wajib diikuti oleh semua warga negara akan menjadi cikal bakal ke arah: (i) Peningkatan mutu pendidikan menengah dan tinggi. (ii) Terbentuknya masyarakat terdidik yang mampu terus belajar mandiri.
Secara tradisional, permasalahan pendidikan di Indonesia dengan wilayah yang luas dan penduduk yang besar tetapi tidak merata adalah masalah-masalah kuantitas, kualitas, pemerataan, dan relevansi. Dalam PJP I banyak hasil yang telah dicapai dalam pemecahan masalah kuantitas beserta pemerataannya, dengan memperluas jangkauan persekolahan sampai di daerah terpencil melalui beberapa rintisan inovasi, seperti SD Pamong, SD Kecil, Paket Belajar A, dan sebagainya. Kebijakan ini akan dilanjutkan dan diperluas dalam PJP II sehingga menjangkau SLTP (wajib belajar 9 tahun). Demikian pula halnya dengan kualitas dan relevansi pendidikan dalam PJP I secara terbatas telah dilakukan berbagai upaya rintisan, baik penyempurnaan kurikulum dan pelaksanaannya maupun yang   berkaitan dengan sarana-prasarana pendukungnya. Beberapa di antaranya yang akan makin  diutamakan dalam PJP II adalah lebih memantapkan kurikulum (baik muatan nasional maupun muatan lokal, ataupun topik inti  dan non-inti, dan lain-lain),  memantapkan  proses belajar-mengajar (seperti sistem pembinaan profesional cara belajar siswa aktif atau SPP-CBSA) meningkatkan kualitas tenaga kependidikan beserta sumber daya pendidikan lainnya.
Khusus untuk menyongsong era globalisasi yang makin tidak terbendung,  terdapat beberapa hal yang secara khusus memerlukan perhatian dalam bidang pendidikan. Santoso S. Hamijoyo (1990: 33) mengemukakan lima strategi dasar dalam era globalisasi tersebut yakni :
1)   Pendidikan untuk pengembangan iptek, dipilih terutama dalam bidang-bidang yang vital/ seperti manufakturing pertanian, sebagai modal utama menghadapi globalisasi.
2)   Pendidikan untuk pengembangan keterampilan manajemen, termasuk bahasa-bahasa asing yang relevan untuk hubungan perdagangan dan politik, sebagai instrumen operasional untuk berkiprah dalam globalisasi.
3)   Pendidikan untuk pengelolaan kependudukan, lingkungan, keluarga berencana, dan kesehatan sebagai penangkal terhadap menurunnya kualitas hidup dan hancurnya sistem pendukung kehidupan manusia.
4)   Pendidikan untuk pengembangan sistem nilai, termasuk filsafat, agama dan ideologi demi ketahanan sosial-budaya termasuk persatuan dan kesatuan bangsa.
5)   Pendidikan untuk mempertinggi mutu tenaga kependidikan dan kepelatihan, termasuk pengelola sistem pendidikan formal dan non-formal, demi penggalakan peningkatan pemerataan mutu, relevansi, dan efisiensi sumber daya manusia secara keseluruhan.
Khusus untuk pendidikan tinggi, terdapat kecenderungan berkembangnya pola pemecahan masalah secara multidisiplin. Oleh karena itu, diperlukan suatu program pendidikan yang kuat dalam dasar keahlian yang akan memperluas wawasan keilmuan dan membuka peluang kerja sama dengan bidang keahlian lainnya.














* Tambahan Petunjuk Belajar
1.  Anda Tentu sering Mendengar berbagai penemuan baru dalam IPTEK di seluruh dunia termasuk Indonesia .
2.  Bentuklah kelompok 5-7 orang
3.  Setiap kelompok mengidentifikasi dan membandingkan penemuan-penemuan IPTEK terbaru  bangsa Indonesia dan Luar Negeri (dunia)
4.  Hasil Identifikasi kelompok di bandingkan kembali dengan karakter dan budaya bangsa Indonesia
5.  Setiap\ kelompok di wajibkan mempertanggungjawabakan hasil diskusinya di depan kelas.

BAB V
PENGERTIAN, FUNGSI DAN JENIS LINGKUNGAN PENDIDIKAN

Manusia selama hidupnya selalu akan mendapat pengaruh dari keluarga, sekolah dan masyarakat luas. Ketiga lingkungan itu sering disebut sebagai tripusat pendidikan, yang akan mempengaruhi manusia secara bervariasi. Seperti diketahui, setiap bayi manusia dilahirkan dalam lingkungan keluarga tertentu, yang merupakan lingkungan pendidikan terpenting sampai anak mulai masuk taman kanak – kanak ataupun sekolah. Oleh karena itu, keluarga sering dipandang sebagai lingkungan pendidikan pertama dan utama. Makin bertambah usia manusia, peranan sekolah dan masyarakat luas semakin penting, namun peranan keluarga tidak terputus. Di dalam UU-RI No. 2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS, peranan ketiga tripusat pendidikan itu menjiwai berbagai ketentuan di dalamnya. Pasal 1 ayat 3 menetapkan bahwa SISDIKNAS adalah satu keseluruhan  yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya, pasal menetapkan tentang dua jalur pendidikan, yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah ( meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan sebagainya ). Sedangkan Penjelasan UU No, 2 Tahun 1989 itu menetapkan tentang tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan ( Undang-undang, 1992:25 ). Oleh karena itu, kajian tentang peranan dan fungsi setiap pendidikan tersebut sangat penting, karena akan memberikan wawasan yang tepat serta pemahaman yang luas dan menyeluruh tentang lingkup kegiatan dan upaya pendidikan itu.
Pemahaman peranan keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan akan sangat penting dalam upaya membantu perkembangan peserta didik yang optimal. Pemahaman itu bukan hanya tentang peranannya masing – masing, tetapi juga keterkaitan dan saling pengaruh antar ketiganya dalam perkembangan manusia. Sebab pada hakekatnya peranan ketiga pusat pendidikan itu selalu bersama-sama mempengaruhi manusia, meskipun dengan bobot pengaruh yang bervariasi sepanjang hidup manusia.
Kajian tentang lingkungan pendidikan akan dimulai dengan pengertian dan fungsi lingkungan pendidikan, disusul dengan kajian setiap pusat dari tripusat pendidikan itu, dan diakhiri dengan kajian tentang saling pengaruh antar ketiganya. Kajian ini akan dilakukan baik ditinjau dari segi operasional. Dengan demikian akan diperoleh dasar-dasar teoritik yang memadai terhadap memadai terhadap setiap keputusan dan atau tindakan yang diambil sesuai nyata yang sedang dihadapi. Seperti telah dikemukakan bahwa pendidikan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan, memerlukan pertimbangan yang tepat karena hasil pendidikan itu tidak segera dapat dilihat.

A.    Pengertian dan Fungsi Lingkungan Pendidikan
Manusia memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pengalaman. Pengalaman itu terjadi karena inteksi manusia dengan lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial manusia dengan lingkungannya itu secara efisien dan efektif itulah yang disebut dengan pendidikan, khususnya pada tiga lingkungan utama pendidikan  yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat (Umar Tirtaharja et. al., 1990: 30-40). Seperti diketahui, lingkungan pendidikan pertama dan utama adalah keluarga. Makin bertambahnya usia seseorang, peranan lingkungan pendidikan keluarga lainnya (yakni sekolah dan masyarakat) semakin penting meskipun pengaruh lingkungan keluarga masih tetap berlanjut.
Berdasarkan perbedaan cirri-ciri penyelenggaraan pendidikan pada ketiga lingkungan pendidikan itu, maka ketiganya sering dibedakan sebagai pendidikan informal, pendidikan formal, pendidikan nonformal. Pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga berlangsung alamiah dan wajar serta disebut pendidikan informal. Sebaliknya, pendidikan di sekolah adalah pendidikan yang secara sengaja dirancang dan dilaksanakan dengan aturan-aturan yang ketat, seperti harus berjenjang dan berkesinambungan, sehingga disebut pendidikan formal. Sedangkan pendidikan di lingkungan masyarakat (umpamanya kursus dan kelompok belajar) tidak dipersyaratkan berjenjang dan berkesinambungan, serta dengan aturan-aturan yang lebih longgar sehingga disebut pendidikan nonformal. Pendidikan informal, formal, dan nonformal itu sering dipandang sebagai subsistem dari sistem pendidikan (Umar Tirtaharja et.al., 1990: 13-15), serta secara bersama-sama menjadikan pendidikan berlangsung seumur hidup (Cropley, 1979:3).
Sebagai pelasanaan Pasal 31 ayat 2 dari UUD 1945, telah ditetapkan UU-RI No. 2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS (beserta peraturan pelaksanaannya) yang menata kembali pendidikan di Indonesia, termasuk lingkungan pendidikan. SISDIKNAS itu membedakan dua jalur pendidikan yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui kegiatan belajar dan mengajar yang berjenjang dan berkesinambungan, mulai dari pendidikan pra sekolah (taman kanak – kanak). Pendidikan dasar (SD dan SLTP), pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkan jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan diluar sekolah melalui luar sekolah melalui kegiatan belajar –mengajar yang harus berjenjang dan berkesinambungan, baik yang dilembagakan maupun tidak, yang meliputi pendidikan keluarga, pendidikan prasekolah (seperti kelompok bermain dan penitipan anak), kursus, kelompok belajar, dan sebagainya.
Secara umum fungsi lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam berinteraksi dengan berbagai lingkungan sekitar (fisik sosial dan budaya), utamanya berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia, agar dapat dicapai tujuan pendidikan yang optimal. Penataan lingkungan pendidikan itu terutama dimaksudkan agar proses pendidikan dapat berlangsung efisien dan efektif. Seperti diketahui, proses pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai akibat interaksi dengan lingkungannya akan berlangsung secara alamiah dengan konsekwensi bahwa tumbuhkembang itu mungkin berlangsung lambat dan menyimpang dari tujuan pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai usaha sadar untuk mengatur dan mengendalikan lingkungan itu sedemikian rupa agar dapat diperoleh peluang pencapaian tujuan secara optimal, dan dalam waktu serta dengan daya/dana sedini mungkin. Dengan demikian diharapkan mutu sumber daya manusia makin lama semakin meningkat. Hal itu hanya dapat diwujudkan apabila setiap lingkungan pendidikan tersebut dapat melaksanakan fungsinya sebagai mana mestinya.
Masyarakat akan dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya jika setiap individu belajar berbagai hal, baik pola- pola tingkah laku umum maupun peranan-peranan yang berbeda- beda. Untuk itu proses pendidikan harus berfungsi untuk mengajarkan tingkah laku umum dan untuk menyeleksi/mempersiapkan individu untuk peranan-peranan tertentu. Sehubungan dengan fungsi yang kedua ini pendidikan bertugas untuk mengajarkan berbagai macam keterampilan dan keahlian. Meskipun pendidikan informal juga berperan melaksanakan kedua fungsi tersebut, tetap sangat terbatas, khususnya dilaksanakan oleh masyarakat yang masih primitif. Pada masyarakat yang sudah maju fungsi yang kedua dari pendidikan itu hampir sepenuhnya diambil alih oleh lembaga pendidikan formal. Pendidikan formal berfungsi untuk mengajarkan pengetahuan umum dan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat khusus dalam rangka mempersiapkan anak untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Program umum yang diberikan oleh pendidikan formal didasarkan pada asumsi bahwa setiap anak harus memiliki pengetahuan umum, seperti; pengetahuan membaca, menulis, dan berhitung. Di samping itu program umum perlu dilakukan untuk memberikan dasar kebudayaan umum yang kuat demi kelangsungan hidup dan perkembangan masyarakat. Karena cepatnya perkembangan industri yang menuntut spesialisasi kemampuan dan keterampilan, maka pendidikan formal memberikan program yang berbeda-beda. Program pendidikan yang berbeda-beda yang mempersiapkan individu untuk berbagai posisi di dalam masyarakat amat menentukan peranan pendidikan untuk mengalokasikan individu-individu di berbagai posisi dalam masyarakat (Redja Madyahardjo et. al., 1992: Modul 5/4647).

Perlu pula dikemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan dilakukan melalui tiga kegiatan yakni membimbing, mengajar dan/atau melatih (Ayat 1 Pasal 1 dari UU-RI No.2/1989). Meskipun ketiga kegiatan itu pada hakekatnya tritunggal, namun dapat dibedakan aspek tujuan pokok dari ketiganya yakni (1) membimbing terutama berkaitan dengan pemantapan jati diri, pribadi dari segi-segi prilaku umum (aspek pembudayaan), (2) mengajar terutama berkaitan dengan ketempilan dan kemahiran (aspek teknologi. Seperti ternyata dalam paparan di atas bahwa terjadi variasi penekanan ketiga itu di dalam berbagai kegiatan itu di dalam berbagai lingkungan pendidikan dari masa ke masa. Perlu ditegaskan bahwa sekecil apapun namun ketiga aspek tujuan pokok pendidikan itu tetap akan  tergarap dalam setiap lingkungan pendidikan. Sebaliknya, adalah tidak mungkin ketiga aspek tersebut dibebankan hanya kepada satu lingkungan tertentu saja, apalagi hanya ada satu jenis pendidikan saja. Tidak jarang terjadi adanya harapan yang berlebihan terhadap sekolah, seakan-akankeseluruhan tujuan pendidikan itu hanya menjadi tugas dan tanggung jawab sekolah saja. Kualitas manusia, baik aspek kepribadian maupun penguasaan dasar-dasar ilmu pengetahuan, serta kemahiran dalam spesialisasi tertentu, merupaakan hasil kerja ketiga lingkungan  pendidikan itu.
Kemajuan masyarakat, perkembangan IPTEK yang semakin cepat, serta semakin menguatnya era globalisasi akan mempengaruhi peran dan fungsi ketiga lingkungan pendidikan itu. Disamping terjadi pergeseran peran seperti telah nampak pada kelauarga modern, dituntut pula suatu peningkatan kualitas dari peran itu. Sebagai contoh, dimasa depan yang dekat, manusia Indonesia  akan diharapkan pada “tiga budaya” yakni budaya (Indonesia), dan budaya dunia. Oleh karena itu pemantapan jati diri setiap manusia merupakan kunci keberhasilannya dalam memilih pengaruh “ tiga budaya “ itu. Pemantapan ketiga sisi tujuan pedidikan itu yakni manusia yang sadar akan harkat dan martabatnya, menguasai ilmu pengetahuan, dan memiliki suatu spesialisasi/keterampilan tertentu, yang disebut sebagai manusia seutuhnya. Dimasa depan, ketiga sisi tersebut semakin penting karena harus mampu menyesuaikan diri dengan era globalisasi dan kemajuan IPTEK dan dari dan segi lain, harus mampu menekankan persaingan yang semakin ketat dan tampil sebagai yang unggul dalam bidang spesialisasinya. Karena itu peningkatan fungsi ketiga lingkungan pendidikan itu, baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama akan sangat penting dalam mewujudkan sumber daya manusia yang bermutu.

B.     Tripusat pendidikan
Manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari tiga lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat , dan ketiganya disebut tripusat pendidikan. Lingkungan pendidikan yang mula-mula tetapi terpenting adalah keluarga. Pada masyarakat yang masih sederhana dengan struktur sosial yang belum kompleks, cakrawala anak sebagian besar masih terbatas pada keluarga. Pada masyarakat tersebut keluarga mempunyai dua fungsi: fungsi produksi dan fungsi konsumsi. Kedua fungsi itu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap anak. Kehidupan masa depan anak pada masyarakat tradisional umumnya tidak jauh berbeda dengan kehidupan orang tuanya. Pada masyarakat tersebut, orang tua yang mengajar pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup ; orang tua pula yang melatih dan memberi petujuk tentang berbagai aspek kehidupan, sampai anak menjadi dewasa dan berdiri sendiri. Tetapi pada masyarakat modern dimana industrialisasi semakin berkembang dan memerlukan spesialisasi maka pendidikan yang semula menjadi tanggung jawab keluarga itu kini sebagian besar diambil alih oleh sekolah dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Pada tingkat yang paling permulaan fungsi ibu sebagian sudah diambil alih oleh pendidikan pra sekolah. Pada tinggkat spesialisasi yang rumit, pendidikan keterampilan sudah tidak berada pada ayah lagi sebab sudah diambil alih oleh sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Bahkan fungsi pembentukan watak dan sikap mental pada masyarakat modern berangsur-angsur diambil alih oleh sekolah dan organisasi sosial lainnya seperti perkumpulan pemuda dan pramuka, lembaga- lembaga keagamaan, media massa, dan sebagainya.
Meskipun kehilangan sejumlah fungsi yang semula menjadi tanggung jawabnya, namun keluarga masih tetap merupakan lembaga yang paling penting dalam proses sosialisasi anak, karena keluarga yang memberikan tuntutan dan contoh-contoh semenjak masa anak sampai dewasa dan berdiri sendiri. Adanya perubahan fugsi keluarga mempunyai pengaruh besar terhadap proses pendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan formal. Dalam keluarga pada masyarakat yang belum maju, orang tua merupakan sumber pengetahuan dan keterampilan yang diwariskan atau diajarkan kepada anak-anaknya. Dalam keluarga semacam itu orang tua memegang otoritas sepenuhnya. Sebaliknya, dalam masyarakat modern orang tua harus membagi otoritas dengan orang lain, terutama guru dan pemuka masyarakat, bahkan dengan anak mereka sendiri yang memperoleh pengetahuan baru dari luar keluarga. Hubungan keluargapun berubah dari hubugan yang bersifat otoritatif menjadi hubungan yang bersifat kolegial. Dalam keluarga ini lebih dapat ditumbuhkan perasaan aman, saling menyayangi, dan sifat demokratis pada diri anak sebab keputusan yang diambil selalu dibicarakan bersama oleh seluruh anggota keluarga (Redja Mudyahardjo, et. al., 1992: modul 5/54-56). Perubahan sifat hubungan orang tua dengan anaknya itu, akan diiringi pula dengan perubahan hubungan guru-siswa serta didukung oleh iklim keterbukaan yang demokratis dalam masyarakat. Dengan kata lain, terdapat saling pengaruh antara ketiga pusat pendidikan itu.
Dalam peraturan dasar perguruan nasional taman siswa (Putusan Kongres X tanggal 5-10 Desember 1966) pasal 15 ditetapkan bahwa (1) untuk mencapai tujuan pendidikannya, taman siswa melaksanakan kerja sama yang harmonis antara ketiga pusat pendidikan yaitu (a) lingkungan keluarga (b) lingkungan perguruan, dan (c) lingkungan masyarakat / pemuda, serta (2) sistem pendidikan tersebut dinamakan sistem “ tripusat ” ( suparlan, 1984:110 ). Bagi taman siswa, disamping siswa yang tetap tinggal di lingkungan keluarga, sebagai siswa tinggal di lingkungan keluarga, sebagai siswa tinggal di asrama (wisma priya dan wisma rini) yang dikelola secara kekeluargaan dengan menerapkan sistem among. Sedangkan pada lingkungan masyarakat, taman siswa mengutamakan kepanduan (pramuka) dan persatuan pelajar taman siswa, dengan penekanan pemupukan semangat kebangsaan (suparlan, 119-120).

a.      Keluarga
Keluarga merupakan pengelompokkan primer yang terdiri dari sejumlah kecil orang karena hubungan semenda dan sederhana. Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nucleus family: ayah, ibu dan anak) ataupun keluarga yang diperluas (di samping inti, ada orang lain: kakek/nenek, adik/ipar, pembantu, dan lain – lain). Pada umumnya jenis kedualah banyak ditemui dalam masyarakat Indonesia. Meskipun ibu merupakan anggota keluarga yang mula-mula paling berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya anak, seperti kebudayaan, tingkat kemakmuran, keadaan perumahannya, dan sebagainya. Dengan kata lain, tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kseluruhan situasi dan kondisi keluarganya.
Perkembangan kebutuhan dan aspirasi individu maupun masyarakatnya, menyebabkan peran keluarga terhadap pendidikan anak-anaknya juga mengalami perubahan. Seperti telah dikemukakan bahwa pada mulanya, keluargalah yang terutama berperan baik pada aspek pembudayaan, maupun penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Dengan meningkatnya kebutuhan aspirasi anak, maka keluarga pada umumnya tidak mampu memenuhinya. Oleh karena itu, sebagian dari tujuan pendidikan itu akan dicapai melalui jalur pendidikan sekolah ataupun jalur pendidikan luar sekolah lainnya (kursus, kelompok belajar, dan sebagainya). Bahkan peran jalur pendidikan luar sekolah makin lama makin penting, khusunya yang berkaitan dengan aspek pengetahuan dan keterampilan. Hal itu tidak berarti bahwa keluarga dapat melepaskan diri dari tanggung jawab pendidikan anaknya. Karena keluarga diharapkan bekerjasama dan mendukung kegiatan pusat pendidikan lainnya (sekolah dan masyarakat).
Fungsi dan peranan keluarga, di samping pemerintah dan masyarakat, dalam SISDIKNAS Indonesia tidak terbatas hanya pada pendidikan keluarga saja, akan tetapi keluarga ikut serta bertanggungjawab terhadap beberapa ketentuan dalam UU-RI No. 2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS yang menegaskan fungsi dan peranan keluarga dalam pencapaian tujuan pendidikan yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan (Pasal 10 Ayat 4). Dalam penjelasan Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pendidikan keluarga itu merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pengalaman seumur hidup. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama, nilai agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan – aturan pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarga yang bersangkutan (Undang-undang, 1992:26). Selanjutnya dalam penjelasan ayat 5 Pasal 10 ditegaskan bahwa pemerintah mengakui kemandirian keluarga untuk melaksanakan upaya pendidikan dalam lingkungannya sendiri.
Menurut Ki Hajar Dewantoro, suasana kehidupan keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan orang-seorang (pendidikan individual) maupun pendidikan sosial. Keluarga itu tempat pendidikan yang sangat sempurna sifat dan wujudnya untuk melangsungkan pendidikan kearah pembentukan pribadi yang utuh, tidak saja bagi kanak-kanak tapi juga bagi para remaja. Peran orang tua dalam keluarga sebagai penuntun, sebagai pengajar dan sebagai pemberi contoh. Pada umumnya kewajiban ibu bapak itu sudah berjalan dengan sendirinya sebagai suatu tradisi. Bukan hanya ibu bapak yang beradab dan berpengetahuan saja yang dapat melakukan kewajiban mendidik anak-anaknya, akan tetapi rakyat desapun melakukan hal ini. Mereka senantiasa melakukan usaha yang sebaik-baiknya untuk kemajuan anak-anaknya. Memang manusia mempunyai naluri paedagogis, yang berarti bahwa buat ibu bapak prilaku pendidikan itu merupakan akibat “naluri” untuk melanjutkan keturunan (Ki Hajar Dewantoro, 1962; dari Wayan Ardhana, 1986: Modul 4/5-6).
Lingkungan keluarga sungguh-sungguh merupakan pusat pendidikan yang penting dan menentukan, karena itu tugas oleh pendidikan adalah mencari cara, membantu para ibu dalam tiap keluarga agar dapat mendidik anak-anaknya dengan optimal. Anak-anak yang biasanya turut serta mengerjakan pekerjaan didalam keluarganya, dengan sendirinya mengalami dan mempraktekkan bermacam-macam kegiatan yang amat berfaedah bagi pendidikan watak dan budi pekerti seperti kejujuran, keberanian, ketenangan dan sebagainya. Keluarga juga membina dan mengembangkan perasaan sosial anak seperti hidup hemat, menghargai kebenaran, tenggang rasa, menolong orang lain, hidup damai, dan sebagainya. Jelaslah bahwa lingkungan keluarga bukannya pusat penanam dasar pendidikan watak pribadi saja, tetapi pendidikan sosial. Di dalam keluargalah tempat menanam dasar pembentukan watak anak-anak. Decroly pernah mengemukakan bahwa 70% dari anak-anak yang jatuh kejurang kejahatan berasal dari keluarga yang rusak kehidupannya. Oleh karena itu untuk memperbaiki keadaan masyarakat maka perlu adanya perbaikan dalam pendidikan keluarga (Wayan Ardhana, 1986: Modul 4/10-11).

Pada umumnya ibu bertanggung jawab untuk mengasuh anak, oleh karena itu, pengaruh hubungan antara ibu dan anak perlu mendapat perhatian utamanya pengaruh pengawasan berlebihan terhadap perkembangan anak. Levy membedakan pengawasan yang berlebihan ini menjadi dua, yaitu memanjakan dan mendominasi anak. Anak yang dimanjakan akan lebih bersifat tidak penurut, agresif dan suka menantang. Sebaliknya anak yang diasuh oleh ibu yang suka mendominasi akan berkembang menjadi anak yang penurut dan selalu bergantung kepada orang lain (kurang inisiatif). Akan tetapi di sekolah, baik anak yang di manjakan maupun anak yang selalu didominasi pada umumnya tidak mengalami kesulitan belajar. Berdasarkan hasil penelitiannya, Levy menyimpulkan bahwa meskipun anak yang dimanjakan itu selalu menyimpulkan bahwa meskipun anak yang dimanjakan itu selalu merepotkan orang tuanya di rumah, tetapi baik anak yang dimanjakan maupun selalu didominasi oleh ibu ternyata sangat teliti sebagai murid dan dapat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sekolahnya dengan baik (Redja Mudyahardjo et. atau., 1992: Modul 5/57).
Disamping hubungan antara ibu dan anak, komposisi keluarga juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan, utamanya proses sosisalisasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyaknya anggota keluarga dan urutan kelahiran seorang anak mempunyai pengaruh terhadap perhatian penuh, tetapi setelah kelahiran adiknya maka pertama itu harus belajar menerima perhatian orang tua bersama adiknya yang baru lahir. Anak bungsu tentu mempunyai pengalaman lain dibanding dengan anaknya lahir di tengah atau anak sulung. Posisi kelahiran ini akan membedakan perbedaan proses sosialisasi. Selanjutnya anak tunggal biasanya manja dan selalu menggantungkan diri kepada kedua orang tuanya, sebab sejak masa kecilnya anak tersebut telah dibatasi kebebasannya dengan mensupervisi semua tingkah laku anak yang bersangkutan. Karena sering mendapatkan supervisi maka anak tersebut telah dibatasi kebebasannya dengan mensupervisi maka anak tersebut cenderung disiplin dan tertib dalam menyelesaikan tugas. Hanya saja anak tunggal cenderung kurang bersifat kompetitif. Sifat-sifat tersebut di atas perlu diperhatikan oleh guru agar pendekatan secara individual kepada anak didik dapat dilaksanakan dengan baik. Sehingga dengan demikian guru akan mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh setiap anak dalam belajar (Redja Mudyahardjo, et. al,. 1992. Modul 5/57-58).
Beberapa hasil penelitian telah memberi gambaran bahwa ayah mempunyai arti yang berbeda-beda di mata anak. Seorang anak kecil memandang ayahnya sebagai seseorang yang dapat mengatasi semua masalah. Bagi seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh, ayah dijadikan sebagai model yang patut dicontoh, utamanya dalam proses sosialisasi. Oleh sebab itu, dalam perkembangan anak perlu adanya interaksi antara anak dan ayah, sebab hubungan yang baik dan dekat antara ayah dan anak sangat penting. Untuk anak perempuan, ayah dipandang sebagai pendorong berkembangnya feminimitas (kewanitaan) yang akan terjadi jika ayah sering memberi komentar kepada anak perempuannya mengenai pakaian yang dipakainya, tatanan rambutnya, tingkah laku serta sifat-sifat kewaitaannya. Sebaliknya ayah memperlakukan anak perempuannya seperti anak laki-laki. Hal ini mempersulit anak perempuan itu dalam mengembangkan feminitasnya. Dari penelitian itu ternyata dalam bahwa ketiadaan ayah dalam keluarga menimbulkan berbagai persoalan, seperti kurangnya rasa aman dan ketiadaan model bagi anak laki-laki, ataupun perasaan kekosongan dan tidak puas bagi anak perempuan. Apabila di sekolah ditemukan anak yang mengalami masalah “ketiadaan ayah” tersebut, maka guru seyogyanya dapat membantu mengatasi masalah itu antara lain dengan mengalihkan kepada figur pengganti ayah (Redja Mudyahardjo, 1992: Modul 5/58-59). Perlu ditekankan bahwa penemuan model sebagai idola itu sangat penting, antara lain sebagai personifikasi atau pendukung nilai/gagasan/dan sebagainya.
Beberapa tahun terakhir ini terdapat suatu masalah yang banyak dibicarakan orang, yakni makin banyaknya wanita yang ikut bekerja di luar rumah. Sehingga tidak jarang terjadi, baik ayah maupun ibu sama-sama membina karir masing-masing sehingga mengharuskan berada diluar rumah dalam beberapa jam pada hampir setiap hari kerja. Dengan demikian, dapat membawa masalah apabila keluarga mempunyai anak BALITA. Peran pemeliharaan fisik mungkin dapat dilakukan oleh orang lain, namun peran edukatif dari ibu sukar disubtitusi oleh orang lain, utamanya pembantu rumah tangga. Seperti ternyata di masyarakat, pembantu rumah tangga pada umumnya berasal dari lapisan dengan pendidikan dan mutu sosial budaya yang relatif rendah. Kecenderungan lain adalah berkembangnya lembaga pendidikan prasekolah pada jalur luar sekolah seperti kelompok bermain dan penitipan anak. Dimasa depan, peran pembantu rumah tangga dalam pendidikan keluarga maupun fungsi edukatif dari kelompok bemain dan penitipan anak perlu mendapat perhatian, agar dapat diyakinkan kontribusinya dalam mewujudkan sumber daya manusia yang bermutu.
Akhirnya perlu ditegaskan lagi bahwa disamping pendidikan keluarga itu, keluarga juga seyogyanya ikut mendukung program-program lingkungan pendidikan lainnya (kelompok bermain, penitipan anak, sekolah, kursus/kelompok belajar, organisasi pemuda seperti pramuka, palang merah remaja, dan lain-lain). Keikutsertaan keluarga itu dapat pada tahap perencanaan, pemantauan dalam pelaksanaan, maupun dalam evaluasi dan pengembangannya, dan dengan berbagai cara (daya, dana, dan sebagainya). Dan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya koordinasi dan keserasian antara ketiga pusat pendidikan itu.


b.      Sekolah
Diantara tiga pusat pendidikan, sekolah merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan. Seperti telah dikemukakan bahwa karena kemajuan zaman, keluarga tidak mungkin lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi generasi muda terhadap IPTEK. Semakin maju suatu masyarakat semakin penting peranan sekolah dalam mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan masyarakatnya itu. Dari sisi lain, sekolah juga menerima banyak kritik atas berbagai kelemahan dan kekurangannya, yang mencapai puncaknya dengan gagasan Ivan Illich untuk membebaskan masyarakat dari wajib sekolah dengan buku yang terkenal: Bebas dari Sekolah (Deshooling Society, 1972/1982). Meskipun gagasan itu belum dapat diwujudkan, termasuk di negara Meksiko, namun kritik terhadap sekolah patut mendapat perhatian. Oleh karena itu, kajian ini terutama diarahkan kepada pencarian berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peranan dan berbagai fungsi sekolah untuk tantangan. Asumsi kajian ini adalah sekolah harus diupayakan sedemikian rupa agar mencerminkan suatu masyarakat Indonesia di masa depan itu, sehingga peserta didik memperoleh peluang yang optimal dalam menyiapkan diri untuk melaksanakan perannya itu. Oleh karena itu, sekolah seharusnya menjadi pusat pendidikan untuk menyiapkan manusia Indonesia sebagai individu, warga masyarakat, warga negara warga dunia di masa depan. Sekolah yang demikianlah yang diharapkan mampu melaksanakan fungsi pendidikan secara optimal, yakni mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan tujuan nasional (Pasal 3). Tujuan nasional tersebut diupayakan pencapaiannya melalui pembangunan nasional; dengan demikian, pembangunan nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan meningkatkan kualitas manusia indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur, serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri baik berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (UU-RI No.2 tahun 1989 butir Menimbang ayat b).
Salah satu alternatif yang mungkin dilakukan di sekolah untuk melaksanakan kebijakan nasional itu adalah secara bertahap mengembangkan sekolah menjadi suatu tempat pusat latihan (training centre) manusia Indonesia di masa depan. Dengan kata lain, sekolah sebagai pusat pendidikan adalah sekolah yang mencerminkan masyarakat yang maju karena pemanfatan secara optimal ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap berpijak pada ciri keindonesiaan. Dengan demikian, pendidikan disekolah seyogyanya secara seimbang dan serasi menjamah aspek pembudayaan, penguasaan pengetahuan, dan pemilikan keterampilan peserta didik.
Suatu alternatif yang mungkin dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah, antara lain :
1.      Pengajaran yang mendidik, yakni pengajaran yang secara serentak memberi peluang pencapaian tujuan instruksional bidang studi dan tujuan-tujuan umum pendidikan lainnya. Untuk maksud tersebut, setiap guru-pendidikan dapat mengajukan pertanyaan : dengan kegiatan belajar-mengajar yang saya kelola sekarang ini, urunan apakah yang dapat menjadi kontribusi untuk membantu manusia indonesia seutuhnya? Jawaban pertanyaan itu tidak hanya terbatas pada tujuan yang akan dicapai, tetapi juga dapat bersumber dari kegiatan belajar-mengajar yang aktual terjadi dan atau keteladanan guru. Dengan demikian, proses belajar tersebut seyogyanya memberi peranan dan tanggung jawab yang selaras dan seimbang antara guru dan siswa di dalam kegiatan belajar-mengajar, yakni Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau pendekatan keterampilan proses. Hal itu dapat terlaksana dengan efisien dan efektif apabila guru mempunyai wawasan kependidikan yang mantap serta menguasai berbagai strategi belajar-mengajar. Penguasaan berbagai strategi belajar-mengajar akan memberi peluang untuk memilih variasi kegiatan belajar-mengajar yang bermakna, sedangkan kemantapan wawasan pendidikan akan memberi landasan yang tepat dan kuat didalam pemilihan tersebut. Pemberian prakarsa dan tanggung jawab sedini mungkin kepada siswa untuk berperan didalam kegiatan belajar-mengajar akan sangat bermanfaat bukan hanya dalam pencapaian siswa disekolah, tetapi juga bermanfaat untuk membentuk dan memperkuat kebiasaan belajar terus-menerus sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.
Dalam upaya mewujudkan pengajaran yang mendidik, perlu pula dikemukakan bahwa setiap keputusan dan tindakan guru dalam rangka kegiatan belajar mengajar akan membawa berbagai dampak atau efek kepada siswa, baik efek  instruksional (instructional effect) maupun efek pengirim (Nurturan effect). Efek instruksional merupakan efek langsung dari bahan ajaran yang menjadi isi pesan dari belajar mengajar; efek instruksional ini, terutama ditinjau untuk mencapai tujuan instruksional, khususnya tujuan instruksional khusus (TIK). Sedangkan  efek pengirim merupakan efek tidak langsung dari bahan ajaran dan atau pengalaman belajar yang dihayati siswa sebagai akibat dari strategi belajar mengajar yang menjadi landasan dari kegiatan belajar mengajar tersebut. Efek pengirim itu pada umumnya terjadi karena siswa “menghidupi” (To Life In) atau terlibat secara bermakna didalam suatu pengalaman tertentu, yang pada umumnya tertuju pada pencapaian tujuan-tujuan pendidikan yang lebih umum dan fundamental serta berjangka panjang. Sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tujuan-tujuan seperti: kreativitas, berfikir kritis, keterbukaan dan tenggang rasa, dan mampu bekerjasama secara efisien dan efektif, yang kesemuanya memerlukan waktu yang panjang untuk mencapainya, serta terbentuk kumulaif secara setahap demi setahap dalam mengiringi pencapaian tujuan instruksional (Joice dan Weil, 1980: 16-17; Reka Joni, 1985 b:1). Oleh karena itu, baik efek instuksional maupun efek pengiring merupakan hal yang sangat penting dalam setiap kegiatan belajar-mengajar, yang harus mendapat perhatian yang seimbang oleh setiap guru didalam perencanaan dan pelaksanaan program belajar-mengajar ( Sulo Lipu La Sulo, 1990: 54-55 ).
Berdasarkan uraian tersebut diatas ternyata betapa pentingnya kegiatan belajar-mengajar yang akan dihayati oleh siswa sebagai pengalaman belajarnya. Meskipun pengalaman belajar itu merupakan sesuatu yang unik dan kompleks, tetapi dapat dibedakan dalam tiga jenis sesuai dengan sasaran pembentukan atau tujuan pendidikan yang akan dicapai. Secara singkat, ketiga jenis pengalaman belajar tersebut ( Reka Joni, 1985: 14; Sulo Lipo La Silo, 1990: 54 ) adalah:
a)      Pengkajian untuk pembentukan pengetahuan pemahaman, yang seyogyanya diwujudkan secara utuh, baik hasilnya (fakta, pengertian, kaidah dan sebagainya) maupun prosesnya. Untuk maksud tersebut, pengalaman belajar harus dirancang dan dilaksanakan dalam bentuk yang beraneka ragam, seperti:
1)      Dari segi caranya: mendengarkan ceramah, membaca buku, berdiskusi, melakukan pengamatan langsung atau percobaan laboratorik, dan sebagainya;
2)      Dari segi peranan subyek didik di dalam pengolahan pesan (apa yang dipelajarinya): ekspositorik yakni pesan diolah hanya oleh guru, ataukah heuristik/problematik yakni pesandiolah bersama oleh guru dan siswa;
3)      Dari segi cara pengolahan pesan: deduktif (dari umum ke khusus) atau induktif (dari khusus ke umum);
4)      Dari segi pengaturan subyek didik: kelompok besar (klasikal), kelompok kecil, ataukah perseorangan (individual).
b)  Latihan untuk sasaran pembentukan keterampilan (fisik, sosial, maupun intelektual). Pembentukan keterampilan itu memerlukan perbuatan langsung, baik dalam situasi nyata maupun simulatif, disertai dengan pemberian balikan (feedback) yang spesifik dan segera.
c)  Penghayatan kegiatan/ peristiwa sarat nilai untuk sasaran pembentukan nilai dan sikap (afektif), dengan pelibatan secara langsung, baik sebagai pelaku maupun penerima perlakuan.
Pemilihan kegiatan belajar-mengajar yang tepat, baik ditinjau dari efek insruksional maupun efek pengiring, akan memberikan pengalaman belajar siswa yang efisien dan efektif untuk  mewujujdkan pembangunan manusia indonesia seutuhnya. Hal ini dapat dilaksanakan secara konsisten dan kontinu apabila guru memiliki wawasan kependidikan yang mantap dan menguasai pendekatan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Penerapan CBSA dengan pendekatan keterampilan proses akan dapat memberi peranan dan tanggung jawab yang seimbang dan selaras antara guru dan siswa di dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian diharapkan secara kumulatif akan terpupuk sikap, pola pikir dan prilaku kreatif, inovatif, kritis, serta kemampuan awal sebagai ilmuan, dan ciri-ciri lain dari manusia indonesia sesuai TUPN seperti: mandiri, bekerja keras, dan sebagainya. Hal ini hanya mungkin terlaksana apabila guru memiliki wawsan kependidikan yang tepat serta menguasai berbagai strategi belajar-mengajar sehingga mampu dan mau merancang dan melaksanakan berbagai kegiatan belajar-mengajar yang kaya dan bermakna bagi peserta didik. Seiring dengan itu, pemberian prakarsa dan tanggung  jawab sedini mungkin kepada siswa dalam kegiatan belajar-mengajar akan memupuk kebiasaan dan kemampuan belajar mandiri yang terus menerus, yang pada gilirannya kelak akan sangat penting dalam upaya membangun dirinya sendiri. Dengan demikian diharapkan dapat mewujudkan suatu masyarakat  belajar sebagai upaya penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.      Peningkatan dan pemantapan pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan ( BP ) di sekolah, agar program edukatif ini tidak sekedar suplemen tetapi menjadi komplemen yang setara dengan program pengajaran serta program-program lainnya disekolah. Seperti diketahui, bidang garapan program BP adalah perkembangan pribadi peserta didik, khususnya aspek sikap dan prilaku atau kawasan efektif. Dalam pedoman kurikulum 1984 SMA (DEP-DIKBUD, 1984: 41) dinyatakan antara lain:
Pelaksanaan kegiatan BP disekolah menitikberatkan kepada bimbingan terhadap perkembangan pribadi melalui pendekatan perseorangan dan kelompok. Siswa yang menghadapi masalah mendapatkan bantuan khusus untuk mampu mengatasinya. Sementara itu semua siswa tetapi mendapatkan bimbingan karir yang mengutamakan bimbingan kelompok bertujuan membantu memahami diri sendiri dan lingkungannya serta merencanakan masa depan secara lebih tepat.
Pengembangan kepribadian ke arah penyadaran jati diri sebagai manusia indonesia merupakan sisi lain dari tujuan pendidikan (TUPN), di penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; bahkan Fuad Hussan mengemukakan bahwa pemantapan kesejatian diri lebih penting dari pada apa yang tergolong sebagai milik (penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi) (Fuad Hasan, 1986:40). Hal itu telah dilaksanakan di dalam pendidikan ABRI, khususnya Polri, dan mungkin juga di dalam berbagai pesantren, yang memberi bobot tinggi pada aspek mental-kepribadian diabandingkan dengan aspek akademik dan fisik di dalam program pendidikannya. Pendidikan efektif dapat diawali dengan kajian tentang nilai dan sikap yang seharusnya dikejar lebih jauh dalam perwujudannya melalui prilaku sehari-hari, khususnya selama berada di sekolah. Sekolah seyogyanya dikembangkan menjadi pusat pendidikan dan kebudayaan yang mencerminkan suatu masyarakat Pancasilais. Di dalam pendidikan ABRI, khususnya Polri, hal itu diwujudkan melalui pola pengasuhan (pembinaan siswa atau BINSIS).
3.      Pengembangan perpustakaan sekolah menjadi suatu pusat sumber belajar (PSB), yang mengelola bukan hanya bahan pustaka tetapi juga berbagai sumber belajar lainnya, baik sumber belajar yang dirancang maupun dimanfaatkan. Dengan kedudukan sebagai PSB diharapkan peranannya akan lebih aktif dalam mendukung program pengajaran, bahkan dapat berperan sebagai “mitra kelas” dalam upaya menjawab tantangan perkembangan IPTEK yang semakin cepat. Dengan penyediaan berbagai perangkat penting yang didukung oleh perangkat keras yang memadai, khususnya berbagai bahan belajar mandiri seperti modul, rekaman elektronik baik audio (ATR) maupun video (VTR), dan sebagainya akan sangat penting bukan hanya terhadap peserta didik tetapi juga terhadap pelaksanaan tugas tenaga kependidikan lainnya (khususnya guru). Pengembangan PSB itu dapat dilakukan secara bertahap sehingga pada akhirnya dapat berperan ganda yakni sebagai “mitra kelas” dalam proses belajar-mengajar dan tempat pengkajian berbagai akan dapat mendorong siswa instruksional. Suatu PSB yang memadai akan dapat mendorong siswa dan warga sekolah lainnya untuk belajar mandiri.
4.      Peningkatan dan pemantapan program pengolaan sekolah, khususnya yang terkait dengan peserta didik. Pengelola sekolah sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan seharusnya merupakan refleksi dari suatu masyarakat pancasila sebagaimana yang dicita-citakan dalam tujuan nasional. Gaya kerja para pengelola umumnya, khususnya pengelola kesiswaan, akan sangat berpengaruh bukan hanya melalui kebijakannya tetapi juga aspek keteladanannya. Ketiga alternatif upaya yang telah dipaparkan di atas dan hanya mungkin terlaksanakan apabila mendapat dukungan yang memadai dari program pengelolaan sekolah, baik dukungan sarana / prasarana maupun dukungan iklim profesional yang memadai khusus pengelolaan kesiswaan, agar diterapkan asas tut wuri handayani dengan tidak mengabaikan ing ngarsa sung tulada dan ing madya mangun karsa. Dengan demikian iklim kehidupan disekolah mencerminkan kehidupan di masyarakat yang dicita-citakan, yakni masyarakat demokratis yang dinamis dan terbuka.
Demikianlah beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan fungsi sekolah sebagai salah satu pusat pendidikan. Alternatif itu tentulah seiring dengan upaya peningkatan mutu masukan instrumental dari sekolah, seperti kurikulum, tenaga pendidikan, sarana/prasarana, dan lain-lain. Disamping itu, penataan sistem persekolahan perlu pula mendapat perhatian khusus agar jenis dan jumlah setiap jenis itu tertata secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pembangunan, baik dalam suatu wilayah (umpama propinsi) maupun untuk kebutuhan nasional. Akhirnya perlu pula dikemukakan tentang siswa sebagai masukan dalam sistem persekolahan, utamanya tentang kesesuaian kemampuan potensial dengan jenis dan jenjang yang dicita-citakan. Kebutuhan masyarakat akan tenaga yang bermutu, baik pada lapis pelaksana maupun pada lapis perencana dan pemikir akan sama pentingnya sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Dengan demikian, bangsa indonesia tidak hanya mampu swasembada ketenagakerjaan tetapi juga mampu mengekspornya.

3.   Masyarakat
Kaitan antara masyarakat dan pendidikan dapat ditinjau dari tiga segi, yakni:
a.       Masyarakat sebagai penyelenggra pendidikan, baik yang dilembagakan (jalur sekolah dan jalur luar sekolah) maupun yang tidak dilembagakan (jalur luar sekolah),
b.      Lembaga-lembaga kemasyarakatan dan atau kelompok sosial di masyarakat, baik langsung maupun tak langsung, ikut mempunyai peran dan fungsi edukatif.
c.       Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang (by desain) maupun yang dimanfaatkan (utility). Perlu pula di ingat bahwa manusia dalam bekerja dan hidup sehari-hari akan selalu berupaya memperoleh manfaat dari pengalaman hidupnya itu untuk meningkatkan dirinya. Dengan kata lain, manusia berusaha mendidik dirinya sendiri dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia di masyarakatnya dalam bekerja, bergaul dan sebagainya.
Dari tiga  hal tersebut di atas, yang kedua dan ketigalah yang terutama menjadi kawasan dari kajian  masyarakat sebagai pusat pendidikan. Namun perlu ditekankan bahwa tiga hal tersebut hanya dapat di bedakan, sedangkan dalam kenyataan sering sukar dipisahkan.
Dalam pembahasan tentang asas belajar sepanjang hayat (Bab III butir B.2) telah dikemukakan bahwa manusia sepanjang hidupnya selalu terbuka peluang memperoleh pandidikan (asas pendidikan seumur hidup), dan dari sisi lain, manusia seyogyanya belajar sepanjang hayat. Implikasi dari asas tersebut adalah dalam beberapa tahun terakhir ini belajar melalui pengalaman (experiential learning) makin lama makin penting (Kolb, 1984), bahkan telah dinilai dan diakui sesuatu yang setara dengan hasil belajar lainnya melaui penilaian hasil belajar pengalaman (PHBMP) serta disertai sebagai bagian dari kredit dalam program pendidikan tinggi seperti pada “School for New Learning”dari “De Paul University”. Dalam UU-RI No. 2 tahun 1989 SISDIKNAS, gagasan-gagasan tersebut telah tercermin dalam pasal 24 ayat 2  (pendidikan berkelanjutan dan terbuka), pasal 26, dan lain-lain.
Fungsi masyarakat sebagai pusat pendidikan sangat tergantung pada taraf perkembangan dari masyarakat itu beserta sumber-sumber belajar yang tersedia didalamnya. Untuk Indonesia, perkembangan masyarakat itu sangat berevariasi, sehingga wujud sosial kebudayaan dalam masyarakat dewasa ini, menurut Koendjaraningrat (dari wayan Ardhana, 1986 : Modul 1/71) paling sedikit dapat dibedakan menjadi enam tipe sosial-budaya sebagai berikut:
a). Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang amat sederhana, hidup dengan berburu, dan belum mempunyai kebiasaan menanam padi. Sistem dasar kemasyarakatnnya berupa desa terpencil tanpa difensiasi dan stratifikasi yang berarti. Masyarakat tidak mengalami kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan Agama Islam.
b). Tipe masyarakat pedesaan berdasar bercocok Taman di ladang  atau sawah dengan Tamanan pokok padi. Sistem dasar kemasyarakatannya adalah komonikasi petani  dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial sedang, dan yang merasakan diri sebagai bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar. Gelombang pengaruh kebudayaan Hindu dan Agama Islam tidak dialami. Arah orientsinya adalah masyarakat Kota dengan peradaban kepegawaian.
c). Tipe masyarakat berdasarkan sistem bercocok Taman di ladang atau sawah dengan Tamanan pokok padi. Sistem dasar kemasyarakatannya adalah Desa komunitas petani dengan deferensiasi dan stratifikasi sosial sedang gelombang pengaruh kebudayaan Hindu tidak dialami atau sangat kecil, sehingga terhapus oleh pengaruh agama Islam. Arah orientasinya adalah msyarakat kota yang mewujudkan peradaban bekas kerajaan berdagang dengan pengaruh Islam, bercampur dengan peradaban kepegawaian.
d). Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan sistem bercocok Taman disawah dengan Tamanan pokok padi. Sistem dasar kemasyarakatanya adalah petani deferensiasi dan stratifikasi sosial yang agak kompleks. Masyarakat ini mengalami semua gelombang pengaruh kebudayaan asing, seperti kebudayaan Hindu, agama Islam, dan Eropa. Arah orientasinya adalah masyarakat kota yang mewujudkan peradaban kepegawaian.
e). Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah. Tipe masyarakat metropolitan yang mengembangkan sektor perdagangan dan industri, tetapi masih didominasi oleh aktifitas kehidupan pemerintahan dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan kesibukan politik ditingkat daerah ataupun pusat.
Terdapat sejumlah lembaga kemasyarakatan dan atau kelompok sosial yang mempunyai peran dan fungsi edukatif  yang besar, antara lain: kelompok sebaya, organisasi kepemudaan (pramuka, karang taruna, remaja masjid, dan sebagainya), organisasi keagamaan, organisasi ekonomi, organisasi politik, organisasi kebudayaan, media massa, dan sebagainya. Lembaga atau kelompok sosial tersebut pada umumnya memberikan konstribusi bukan hanya dalam proses sosialisasi, tetapi juga dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan anggotannya. Beberapa diantara lembaga atau kelompok sosial tersebut akan dibahas selanjutnya.
Setelah keluarga, kelompok sebaya mungkin paling besar pengaruhnya terhadap pembentukan keperibadian, terutama pada saat anak berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan orang tua. Peralihan dari dominasi pengaruh keluarga kearah dominasi kelompok sebaya sering kali disertai oleh adanya konflik dan ketegangan yang bersumber dari pihak anak maupun dari pihak orang tua. Yang dimaksud kelompok sebaya (Peers Group) adalah suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang bersamaan usianya, antara lain: kelompok bermain pada masa kanak-kanak, kelompok monoseksual yang hanya beranggotakan anak-anak dari kedua jenis kelamin, atau gang yaitu kelompok anak-anak nakal. Dampak edukatif dari keanggotaan dalam kelompok sebaya itu antara lain karena interaksi sosial yang intensif dan dapat terjadi setiap waktu, dan dengan melalui peniruan (model) serta mekaisme penerimaan/penolakan kelompok. Terdapat beberapa fungsi kelompok sebaya terhadap anggotanya (Wayan Ardhana, 1986 : Modul 5 /19 ) antara lain (a). Mengajar hubungan dan menyesuaikan diri dengan orang lain, (b). Memperkenalkan kehidupan masyarakat yang lebih luas, (c). menguatkan sebagian dari nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat orang dewasa, (d). Memberikan kepada anggota-anggotanya cara-cara untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan otoritas, (e). Memberikan pengalaman untuk mengadakan hubungan yang didasarkan pada prinsip persamaan hak, (f). Memberikan pengetahuan yang tidak bisa diberikan oleh keluarga secara  memuaskan (pengetahuan mengenai citarasa berpakaian, musik, jenis tingkah laku tertentu, dan lain-lain), dan (g). Memperluas cakrawala pengalaman anak, sehingga ia menjadi orang yang lebih kompleks.
Organisasi kepemudaan pada umumnya mempunyai prinsif dasar yang sama yakni menyalurkan hasrat berkelompok dari pemuda kepada hal-hal yang berguna. Organisasi ini mempunyai berbagai jenis dengan latar yang berbeda, seperti sosial-edukatif (OSIS, pramuka, palang merah remaja, patroli keamanan sekolah, dan sebagainya), sosial keagamaan, sosial politik, dan sebagainya. Disamping penambahan pengetahuan dan keterampilan, organisasi kepemudaan tersebut sangat bermanfaat dalam membantu proses sosialisasi serta mengembangkan aspek efektif dari kepribadian (kejujuran, disiplin, tanggungjawab dan kemandirian).
Peranan organisasi keagamaan pada umumnya sangat penting karena berkaitan dengan keyakinan agama. Karena semua organisasi keagamaan mempunyai keinginan untuk melestarikan keyakinan agama anggota-anggota, maka organisasi tersebut menyediakan program pendidikan bagi anak-anaknya (a). Mengajarkan keyakinan serta praktek-praktek keagaman dengan cara memberikan pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bagi mereka, (b). Mengajarkan kepada mereka tingkah laku dan prinsip-prinsip moral yang sesuai dengan keyakinan-keyakinan agamanya, (c) memberikan model-model bagi perkembangan watak ( wayan arharia, 1986: modul 5/18). Meskipun ada organisasi-organisasi keagamaan yang anggota-anggotanya terdiri dari kelas-kelas sosial atau kelas etnik tertentu, pada umumnya organisasi-organisasi keagamaan ini memiliki anggota yang terdiri dari berbagai kelompok sosial atau kelompok etnis (suku bangsa), sehingga akan berperan mengembangkan saling pengertian dan kerja sama antara kelompok sosial/etnis tersebut. Seperti diketahui, pemerintah RI mengusahakan dengan sungguh-sungguh kerukunan inter dan antar umat beragama di indonesia.
Akhirnya perlu dikemukakan salah satu faktor dalam lingkungan masyarakat yang makin penting peranannya yakni media massa. Pada umumnya media massa itu mempunyai tiga fungsi yakni informasi, edukasi dan rekreasi. Karena kemajuan teknologi komunikasi pada masa ini, dan terlebih masa yang akan datang, maka media massa sedang mengalami perubahan yang cepat (lihat Bab IV Butir A.3). Media massa sebagai alat komunikasi dan rekreasi yang menjangkau banyak orang telah menjadi suatu kekuatan pendorong yang besar dalam kehidupan orang. Media massa mempunyai sumbangan yang besar dalam mengintegrasikan kebudayaan serta mensosialisasikan generasi mudanya. Karena biayanya yang tidak mahal, diperoleh, serta menarik, media massa mempunyai arti penting terutama dalam kehidupan anak. Anak-anak menggunakan waktu yang lebih banyak dalam menonton televisi, mendengarkan radio, menonton bioskop, dan membaca komik jika dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Wayan ardhana (1986: modul 4/23) mengemukakan bahwa media massa memiliki tiga macam pengaruh. Pertama, pengaruh sosialisasi dalam arti luas, utamanya tentang sikap dan nilai-nilai dasar tentang masyarakat serta model tingkah laku dalam berbagai bidang kehidupan. Kedua, pengaruh khusus jangka pendek media massa mungkin menyebabkan orang membeli produk tertentu ataupun memberi suara/pendapat dengan cara tertentu. Ketiga, media memberikan pendidikan dalam pengertian yang lebih formal, yaitu dalam memberikan informasi atau mengajikan pengajaran dalam suatu bidang studi tertentu. Ketiga fungsi ini tentu saja diluar fungsinya memberikan rekreasi dan hiburan. Meskipun melalui fungsi rekreasi itu, media massa dapat pula mempengaruhi prilaku manusia. Peranan media massa ini semakin menentukan dimasa depan , karena kemajuan teknologi komunikasi sehingga media massa itu diterima langsung kerumah-rumah, seperti pada radio dan televisi.

C.  Pengaruh Timbal Balik Antara Tripusat Pendidikan Terhadap Perkembangan Peserta Didik
Perkembangan peserta didik, seperti juga tumbuh-kembang anak pada umumnya, dipengaruhi oleh berbagai faktor yakni hederitas, lingkungan, proses perkembangan, dan anugrah. Khususnya untuk faktor lingkungan, peranan tripusat itulah yang paling menentukan, baik secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama. Dikaitkan dengan tiga poros kegiatan utama pendidikan (membimbing, mengajar, dan melatih seperti tersebut ayat 1 pasal 1 UU-RI No. 2/1989), peranan ketiga tripusat pendidikan itu bervarisi meskipun ketiganya melakukan tiga kegiatan pokok dalam pendidikan tersebut.
Disamping peningkatan kontribusi setiap pusat pendidikan terhadap perkembangan peserta didik, diprasyaratkan pula keserasian antara kontribusi itu, serta kerja sama yang erat dan harmonis antara tripusat tersebut. Berbagai upaya dilakukan agar program-program pendidikan dari setiap pusat pendidikan tersebut saling mendukung dan memperkuat antara satu dengan yang lainnya. Di lingkungan keluarga telah diupayakan berbagai hal (perbaikan gizi, permainan edukatif, dan sebagainya) yang dapat mejadi landasan pengembangan selanjutnya disekolah dan masyarakat. Di lingkungan sekolah diupayakan berbagai hal yang lebih mendekatkan sekolah dengan orang tua siswa (organisasi orang tua siswa, kunjungan rumah oleh personel sekolah, dan sebagainya). Selanjutnya, sekolah juga mengupayakan agar programnya erat kaitannya dengan masyarakat di sekitarnya (siswa kemasyarakat, nara sumber dari masyarakat ke sekolah, dan sebagainya). Akhirnya lingkungan masyarakat mengusahakan berbagai kegiatan/program yang menunjang/melengkapi program keluarga dan sekolah. Dengan kontribusi tripusat pendidikan yang saling memperkuat dan saling melengkapi itu akan memberi peluang mewujudkan sumber daya manusia terdidik yang bermutu.
Terdapat salah satu masalah yang banyak dibicarakan yakni sekolah sebagai produk Masyarakat modern sering membawa dampak negatif karena secara terselubung menghantar generasi terdidik ke kota-kota besar. Seperti diketahui, di lokasi sekolah itu adalah semakin tinggi jenjang sekolah itu makin dekat kekota besar sehingga perguruan tinggi pada umumnya di ibu  kota propinsi. Hal itu membawa dampak negatif  yakni terpusatnya tenaga terdidik di daerah perkotaan, dan hanya sedikit yang kembali  kedaerah pedesaan. Program-program Kuliah Kerja  Nyata (KKN), pengerahan tenaga sarjana suka rela ke pedesaan, dan sebagainya belum berhasil mengatasi persoalan itu. Oleh karena itu terdapat berbagai pendapat yang diarahkan pada perbaikan program persekolahan, khususnya kurikulum, agar lebih diorientasikan pada kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Titik kulminasi dari pemikiran tersebut diatas akhirnya dituangkan dalam  Kep.Men.Dikbud-RI No.0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987 tentang penerapan Muatan Lokal Kurikulum Sekolah Dasar. Keputusan itu kemudian dikukuhkan oleh  UU-RI No.2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS (umpamanya dalam pasal 37, 38 ayat 1) Jo.PP-RI No.28 tahun 1990 tentang Diknas (pasal 14 ayat 3 dan 4). Dengan demikian, pada tingkat sistem (nasional) telah ditetapkan berbagai aturan sebagai acuan pengembangan/pelaksanaan muatan lokal Kurikulum SD. Yang masih perlu dimantapkan adalah berbagai komponen pada tingkat institusional maupun pelaksanaannya. Muatan Lokal kurikulum tersebut adalah lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari oleh murid (Kep.Men.Dikbud-RI No.0412/U/1987 ps 1).
Berdasarkan ketentuan yuridis tersebut diatas ternyata bahwa kurikulum  SD mempunyai dua jenis muatan, yakni muatan nasional dan muatan lokal. Kedua jenis muatan itu merupakan satu kesatuan yang saling menunjang dan menguatkan. Muatan nasional kurikulum SD ditetapkan secara nasional, dan berlaku sama di seluruh Indonesia (UU-RI No.2/1989 ps. 38 ayat 2). Sedangkan muatan lokal kurikulum SD dapat berupa mata pelajaran tambahan dan atau penjabaran / tambahan kajian dari mata pelajaran yang telah ada (PP-RI No. 28/1990 ps 14 ayat 3 dan 4), yang disesuaikan dengan lingkungan (alam, sosial dan budaya) serta kebutuhan pembangunan didaerah tertentu. Untuk maksud tersebut, pemilihan berbagai muatan lokal dari kurikulum yang berlaku secara nasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional.
Disamping isi kurikulum, muatan lokal juga dapat berkaitan dengan cara penyampaian isi kurikulum tersebut. Cara penyampaian itu meliputi baik kegiatan intrakurikuler, maupun ko-kurikuler ataupun ekstra kurikuler. Muatan lokal dalam cara penyampaian kurikulum itu akan sangat meningkatkan kadar relevansi kurikulum dengan situasi dan kebutuhan setempat. Pemilihan strategi/metode/teknik belajar-mengajar, sumber belajar (termasuk nara sumber), serta pendukung lainnya yang tersedia di sekitar siswa akan sangat sangat bermanfaat mendekatkan siswa dengan lingkungannya, mengakrabkan dengan bidang-bidang kemahiran yang ada disekitarnya, serta memahami daerahnya.
Dari segi lain, perlu pula dikemukakan bahwa muatan lokal kurikulum SD memerlukan kajian secara cermat agar aspek kebhinekaan itu tetap dalam latar memantapkan/memperkaya ketunggalikaan. Muatan lokal didalam kurikulum tidak boleh menghambat mobilitas peserta  didik, baik secara horisontal maupun vertikal. Dengan kata lain, muatan lokal dalam kuruikulum SD harus diupayakan sedemikian rupa sehingga menghasilkan bukan-nya “manusia lokal” akan tetapi “maniusia nasional” disuatu lokal tertentu. Manusia Indonesia yang akrab dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sebagai pribadi dengan jati diri Indonesia yang terintegrasi dengan masyarakat sekitarnya, serta mampu mengembangkan minat dan kemampuannya yang khas untuk di sumbangkan kepada masyarakat.
Dalam Petunjuk Penerapan Muatan lokal Kurikulum SD (lampiran Kep.Men.Dikbud-RI No.0412/U/1987) dikemukakan beberapa tujuan yang lebih rinci dari muatan lokal tersebut yang dapat dikategorikan dalam dua kelompok sebagai berikut:
  1. Tujuan-tujuan yang segera dapat dicapai yakni (a) bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh murid, (b) sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, (c) murid dapat menerapkan pengetahuan untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya, (d) murid telah mengenal kondisi alam,  lingkungan sosial dan lingkungan budaya  yang terdapat di daerahnya.
  2. Tujuan-tujuan yang memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapainya yakni (a) murid dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (b) murid diharapkan dapat menolong orang tuanya dan menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, (c) murid menjadi akrab dengan lingkungannya dan terhindar dari keterasingan dari lingkungan sendiri.
Muatan lokal kurikulum SD seyogyanya semakin diperluas/ditingkatkan, agar dapat terlaksana dengan semestinya berdasarkan tujuan muatan lokal, peningkatan dan perluasan muatan lokal dilakukan dengan memperhatikan (1) GBPP yang berlaku, (2) sumber daya yang tersedia, (3) kekhasan lingkungan (alam, sosial dan budaya) dan kebutuhan daerah, (4) mobilitas daerah dan (5) perkembangan dan kemampuan murid (Kep.Men.Dikbud No.0412/U/1987 ps 6) . Dengan demikian, pendidikan akan mampu melaksanakan secara serentak fungsi pelestarian kebudayaan dan fungsi pengembangan dari kebudayaan yang diembannya itu. Dan seiring dengan itu, sekolah sebagai pusat pendidikan akan lebih dekat dengan pusat-pusat lainnya yakni keluarga dan masyarakat. Dengan demikian, tripusat pendidikan diharapkan dapat menunaikan tugasnya untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan membangun seluruh masyarakat Indonesia.
Pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak, khususnya keluarga, sekolah dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang dikenal sebagai tripusat pendidikan.fungsi dan peranan tripusat pendidikan itu, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan pendidikan yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya serta menyiapkan sumber daya manusia pembangunan yang bermutu. Dengan demikian, pemenuhan fungsi dan peranan itu secara optimal merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan nasional.











* Tambahan Petunjuk Belajar
Setelah anda mempelajari Bab V ini dengan seksama, kerjakanlah tugas – tugas dibawah ini :
1.      Hampir semua orang telah/sedang/akan menjadi orang tua (ayah dan ibu) yang berperan sebagai pendidik dalam keluarganya. Banyak diantara mereka yang tidak mempersiapkan diri untuk melaksanakan tugas itu, dan mungkin hanya berbekal naluri keibuan/kebapaannya saja ditambah dengan meniru sepintas lalu pada orang tuanya atau orang lain. Bagaimana pendapat anda tentang hal itu?
  1. jika anda menganggap hal di atas sudah cukup, apa alasannya?
  2. Jika belum cukup, apakah yang seharusnya dilakukan dan bagaimana caranya?
Tuliskanlah pedapat Anda itu dan bandingkanlah dengan pedapat   orang lain melalui diskusi kelas!
2.      Dengan kemajuan teknologi komunikasi maka berbagai informasi dan hiburan dapat diterima dari seluruh dunia langsung kesetiap rumah tangga dengan bebasnya. Seperti diketahui, pengaruhnya terhadap anak-anak sangat besar, utamanya pengaruh film, sinetron dan video clips. Sebagai orang tua di abad 21 yang akan datang, apakah yang anda dapat lakukan untuk memanfaatkan kemajuan itu, dan sebaliknya, menangkal pengaruh negatifnya? Tuliskan pendapat Anda tersebut dan bandingkanlah dengan pendapat orang melalui diskusi kelas.

BAB VI
ALIRAN ALIRAN PENDIDIKAN

Gagasan dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis sesuai dengan dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini maupun dimasa depan pendidikan itu selalu mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan sosial-budaya dan perkembangan iptek. Pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan pendidikan itu disebut aliran-aliran pendidikan. Seperti dalam bidang-bidang lainnya, pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu berlangsung seperti suatu diskusi berkepanjangan  yakni pemikiran-pemikiran terdahulu selalu dianggap dengan pro dan kontra oleh pemikir-pemikir berikutnya, dan karena dialog tersebut akan melahirkan lagi pemikiran-pemikiran baru, dan demikian seterusnya. Agar diskusi berkepanjangan itu dapat diikuti dan dipahami, utamanya calon pakar kependidikan, harus memahami berbagai aliran-aliran  itu agar dapat menangkap makna setiap gerak dinamika pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu.
            Pemahaman terhadap pemikiran-pemikiran penting dalam pendidikan dengan membekali tenaga pendidikan dengan wawasan kesejahteraan, yakni kemampuan memahami kaitan antara pengalaman-pengalaman masa lampau, tuntutan dan kebutuhan masa kini, serta perkiraan/antisipasi masa datang. Kawasan historis tersebut dapat berperan sebagai penangkal terhadap kemungkinan kekeliruan kebijakan masa kini yang dapat berakibat bencana dimasa depan. Seperti diketahui, hasil pendidikan segera nampak sehingga kekeliruan sekecil apapun akan menyebabkan upaya perbaikan yang kadang-kadang sudah terlambat.
            Aliran-aliran pendidik telah dimulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu diharapkan dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik dari orang tuanya. Di dalam berbagai kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan, pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman yunani kuno sampai kini (seperti: Ulich,1950). Oleh karena itu, kajian dalam BAB VI ini dibatasi hanya pada beberapa gerakan baru yang pengaruhnya masih terasa hingga kini dan akirnya dua tonggak penting pemikiran pendidikan di Indonesia. Meskipun paparan ini terbatas hanya pada beberapa aliran penting saja namun diharapkan tidak akan mengurangi maksud dan tujuannya yaitu sebagai pembekalan wawasan historis terhadap setiap calon tenaga kependidikan.


A.    Aliran Klasik dan Gerakan Baru dalam Pendidikan
      Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan yang telah dimulai pada zaman Yunani Kuno dan dengan kontribusi berbagai bagian dunia lainnya, akhirnya perkembangan dengan pesat di Eropa dan Amerika Serikat. Oleh Karena itu, baik aliran-aliran klasik maupun gerakan-gerakan baru dalam pendidikan pada umumnya berasal dari kedua kawasan itu. Pemikiran-pemikiran itu tersebar keseluruh dunia termasuk Indonesia dengan berbagai cara  seperti: dibawa oleh bangsa penjajah kedaerah jajahannya, melalui bacaan (buku dan sejenisnya), dibawa oleh orang-orang  yang pergi belajar ke Eropa/Amerika dan sebagainya. Penyebaran itu menyebabkan pemikiran-pemikiran dari kedua kawasan itu pada umumnya menjadi acuan dalam penetapan kebijakan dibidang pendidikan  di berbagai negara.
      Aliran-aliran klasik yang meliputi aliran-aliran empirisme, nativisme, naturalisme dan konevegerensi merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan masa lalu, kini dan mungkin yang akan datang.  Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan, mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat bahkan mungkin merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya aliran yang sangat optimis memandang anak seakan akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati.
      Selanjutnya, terdapat beberapa gagasan yang lebih bersifat atau gerakan dalam pendidikan yang pengaruhnya masih terasa samapai kini, yakni gerakan gerakan dalam pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat perhatian, sekolah kerja dan pengajaran proyek. Gerakan-gerakan tersebut mendapat reaksi yang berbeda-beda di berbagai negara namun terdapat asas yang mendasarinya yang diterima secara luas. Gerakan-gerakan ini sangat mempengaruhi cara-cara guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di Sekolah. Oleh karena itu gerakan-gerakan itu dapat dikaji untuk memperkuat wawasan dan pengetahuan tentang pengajaran.  Seperti telah dikemukakan bahwa pengajaran merupakan pilar penting dari kegiatan pendidikan di sekolah, utamanya kalau dilakukan pengajaran yang sekaligus mendidik.

1.      Aliran-aliran dalam pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Pemikiran Pendidikan di Indonesia 
Manusia merupakan makhluk yang misterius yang mampu menjelajahi angkasa luar tetapi angkasa dalam nya masih belum cukup terungkap ; minimal para pakar dari ilmu-ilmu perilaku cenderung berbeda pendapat tentang berbagai hal mengenai perilaku manusia itu. Dalam paparan tentang “Landasan Psikologi” (Bab III Butir A.4) telah dikemukakan perbedaan bahkan pertentangan pendapat tentang hakekat manusia ditinjau dari segi psiko-edukatif, utamanya teori kepribadian. Sehubungan dengan kajian tentang aliran-aliran pendidikan, perbedaan pandangan itu berpangkal pada perbedaan pandangan tentang perkembangan manusia itu. Terdapat perbedaan penekanan di dalam suatu teori kepribadian tertentu tentang faktor manakah yang paling berpengaruh (dominan) dalam perkembangan kepribadian. Teori-teori dari strategi Disposional, terutama yang berdasar pada pandangan biologis (konstitusional) dari Kretschmer dan Sheldon, memberikan tekanan pada pengaruh faktor hereditas, sedangkan teori-teori dari strategi behavioral dan strategi phenologis menekankan faktor belajar. Kedua strategi yang terakhir ini, meskipun keduanya menekankan faktor belajar tetapi mengemukakan pandangan yang berbeda tentang bagaimana proses belajar itu terjadi, akibat perbedaan pandangan tentang hakikat manusia. Startegi behavioral memandang manusia terutama sebagai makhluk pasif yang tergantung pada pengaruh lingkungannya (ingat tradisi ala J.Locke : Rasa), sedangkan Strategi Phenomonologis memandang manusia sebagai makhluk aktif yang mampu beraksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri (ingat tradisi ala G.Leibnits : Monad). Bagi Locke “Knowledge comes from external stimulation, that manusia is adalah receiver and transmitter of information (Milhollan s Forisha, 1972 : 24). Seperti diketahui pandangan kita adalah bahwa siswa itu bukan hanya “receiver and transmiller” tetapi juga “generation of information” dengan prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA).
Perbedaan pandangan tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia tersebut menjadi dasar perbedaan tentang peran pendidikan terhadap manusia, mulai dari yang paling pesimis sampai yang paling optimis. Aliran-aliran itu pada umumnya mengemukakan satu faktor dominan tertentu saja, dan dengan demikian, suatu aliran dalam pendidikan akan mengajukan gagasan untuk mengoptimalkan faktor tersebut untuk mengembangkan manusia. Seperti dalam kajian selanjutnya, bahwa aliran konvergensi mencoba mengemukakan pandangan menyeluruh dan karena itu diterima luas oleh banyak pihak.

a.       Aliran empirisme
      Aliran empirisme bertolak dari Lockean Tradition  yang mementingkan stimulais eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan. Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan. Tokoh perintis dalam pandangan ini adalah seorang filsuf inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori: Tabula Rasa”, yakni anak lahir didunia bagaikan kertas putih yang bersih. Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan empirisme (biasa pula disebut environmentalisme) pendidik memegang peranan yang sangat penting  sebab pendidik dapat menyediakan lingkungan pendidikan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman itu tentunya yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
      Aliran empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan-kemampuan dasar yang dibawa anak sejak lahir dianggap tidak menetukan, menurut kenyataan dalam kehidupan sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan yang telah ada dalam dirinya. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih tampak pada pendapat-pendapat yang memandang manusia sebagai makhluk yang pasif dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku. Pandangan behavioral ini juga masih bervariasi dalam menetukan faktor apakah yang paling utama dalam proses belajar itu (Milhollan dan Forisha, 1972 : 31-79; Ivey 1987 : 231-263), sebagai berikut :
1)      Pandangan yang menekankan peranan stimulus (rangsangan) terhadap perilaku seperti dalam “classic conditioning atau respondent learning”  oleh Ivan Pavlov (1849-1936) di Rusia dan Jon B. Watson (1878-1958) di Amerika Serikat.
2)      Pandangan yang menekankan peranan dari dampak ataupun balikan dari sesuatu perilaku seperti dalam “operant conditioning” atau ”instrument learning” dari Edward L. Thorndike (1874-1949) dan Burhus  F.Skinner (1904-) di Amerika Serikat.
3)       Pandangan yang menekankan peranan pengamatan dan imitasi seperti OL “observational learning” yang dipelopori oleh N.E. Miller dan J.Dollar dengan “social learning and imitation (diterbitkan tahun 1976) maupun dengan “self-efficaty” (diterbitkan tahun 1982).
Seperti yang akan dikemukakan pada butir dan (aliran konvergensi) pada bagian ini, beberapa pendapat dalam pandangan  behavioral tersebut tidak lagi sepenuhnya ala “Tabula Rasa” dari J.Locke, karena telah mulai diperhatikan pula faktor-faktor internal dari manusia.

b.      Aliran Nativisme
Aliran Nativisme bertolak dari Leibnitzian tradtion yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap pendidikan anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan yang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak. Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan, Scopenhauer (filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri. Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat dan yang baik akan menjadi baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak akan berguna untuk anak sendiri. Penganut pandangan aliran nativisme  menyatakan bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai pembawaan baik maka dia akan menjadi orang baik. Pembawaan baik dan buruk tidak dapat diubah dari kekuatan luar.
Meskipun dalam  kenyataan sehari-hari, sering ditemukan anak mirip orang  tuanya (secara fisik) dan anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang  tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju kedewasaan. Pandangan konvergensi akan memberikan penjelasan tentang pentingnya kedua faktor : Pembawaan atau hereditas dan lingkungan dalam perkembangan anak. Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni dalam diri individu terdapat suatu “inti” pribadi (G.Leibnitz : monad) yang mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan pilihan dan kemampuan sendiri dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif yang mempunyai kemampuan bebas. Meskipun pandangan ini mengakui pentingnya belajar, namun pengalaman dalam belajar itu ataupun penerimaan dan persepsi seseorang banyak ditentukan oleh kemampuan memberi makna kepada apa yang dialaminya itu. Dengan kata lain pengalaman belajar  ditentukan oleh “internal frame of reference” yang dimilikinya. Terdapat variasi pendapat dari pendekatan phenomonologi /humanistik tersebut (Milhollan dan Forisha, 1972 : 81-123 ; etal 1987 : 267-197) sebagai barikut :
1)      Pendekatan aktualisasi diri atau non direktif (client centered) dari Carl R. Rogers dan Abraham Maslow.
2)      Pendekatan “Personal Constructs” dari George A. Kelly yang menekankan betapa pentingnya memahami hubungan transioknal antara manusia dan lingkungannya sebagai bekal awal memahami perilakunya (Ivey, et. aliran, 1987 :144 dan 154).
3)      Pendekatan “Gestal” baik yang klasik (max Wertheimer dan Wolgang Kphler) maupun pengembangan selanjutnya (K.Lewin dan F.Persl).
4)      Pendekatan “Search for meaning” dengan aplikasinya sebagai “Logteraphy” dari Viktor Franki yang mengungkapkan betapa pentingnya semangat (human spirit) untuk mengatasi berbagai tantangan /masalah yang dihadapi.
 Pendekatan-pendekatan tersebut diatas tetap menekankan betapa pentingnya “inti” pertunjukkan privasi atau jati diri manusia.

c.       Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada persamaannya dengan nativisme adalah aliran naturalisme yang dipelopori oleh seorang filsuf Prancis J.J Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan Scopenhauer, Rousseau bahwa semua anak akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan. Rousseau juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa malah dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini juga disebut Negativisme, karena berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan anak pada alam. Jadi dengan kata lain pendidik tidak diperlukan. Yang dilaksanakan as menyerahkan anak didik ke alam agar pembawaan yang baik itu tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan itu. J.J Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang serba dibuat-buat (artificial) sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh secara alamiah saat kelahirannya itu dapat nampak secara spontan dan bebas. Ia mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan pembawaannya, kemampuan-kemampuan dan kecenderungan-kecenderungannya. Pendidikan, harus dijauhkan dalam perkembangan anak karena hal itu berarti dapat menjauhkan anak dari segala hal yang bersifat dibuat-buat (artificial) dan dapat membawa anak kembali ke alam untuk mempertahankan segala yang baik.

d.      Aliran Konvergensi
Perintis aliran ini adalah William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan baik dan pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses perkembangan anak, baik dari faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkugan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk pendidikan pengembangan itu. Sebagai contoh hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata adalah juga hasil konveregensi. Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak belajar belajarv berbicara dalam bahasa tertentu. Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya. William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan dan lingkungan, seakan akan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan sebagai berikut :


             a                                                                  a. pembawaan
                                                               c          b. Lingkungan
b
 
c. hasil                            pendidikan/perkembangan
                                

Karena itu teori W. Stern disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat kesatu titik). Jadi menurut teori konvergensi :
1)      Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
2)      Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
3)      Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan   lingkungan.
Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh kembang manusia. Meskipun demikian terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor mana yang paling baik dalam menentukan tumbuh kembang itu. Seperti telah dikemukakan bahwa variasi-variasi itu tercermin antara lain dalam perbedaan pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami perilaku manusia, seperti strategi disposisional /konstitusional, strategi phenomonologis/humanistik, strategi behavioral, strategi psikodinamik/psiko-analitik dan sebagainya. Dari sisi lain, variasi pendapat itu juga melahirkan berbagai pendapat tentang belajar mengajar, seperti peran guru sebagai fasilitator ataukah informator, teknik penialian pencapaian siswa dengan tes objektif atau tes esai, perumusan tujuan pengajaran yang sangat behavioral, penekanan pada peran teknologi pengajaran (the teaching machine, belajar berprogram dan lain-lain).
e.       Pengaruh Aliran Klasik terhadap Pemikiran dan Praktek Pendidikan di Indonesia
Aliran-aliran pendidikan yang klasik mulai dikenal di Indonesia melalui upaya-upaya pendidikan, utamanya persekolahan dari penguasa penjajah Belanda dan disusul kemudian oleh orang-orang  Indonesia yang belajar di negeri Belanda pada masa penjajahan. Setelah kemerdekaan Indonesia, gagasan dalam aliran-aliran pendidikan itu masuk ke Indonesia melalui orang-orang  yang belajar di berbagai negara eropa, Amerika Serikat dan lain-lain. Seperti diketahui, sistem persekolahan diperkenalkan oleh pemerintah kolonial belanda di Indonesia sebelum masa itu pendidikan di Indonesia terutama oleh keluarga pada masyarakat (kelompok belajar/padepokan, lembaga keagamaan/pesantren dan lain-lain).
Meskipun dalam hal-hal tertentu sangat diutamakan bakat dan dimensi lainnya dari anak (umpama pada bidang kesenian, keterampilan tertentu dan sebagainya), namun upaya penciptakan lingkungan untuk pengembangan bakat dan kemampuan itu diusahakan pula secara optimal. Dengan kata lain, meskipun peranan pandangan empirisme dan nativisme tidak spenuhnya ditolak, tetapi penerimaan itu dilakukan dengan pendekatan efektif fungsional yakni diterima sesuai dengan kebutuhan, namun ditempatkan dalam latar pandangan yang konvergensi.
 Khusus dalam latar persekolahan, kini terdapat sejumlah pendapat yang lebih menginginkan agar peserta didik lebih ditempatkan pada posisi yang seharusnya, yakni sebagai manusia yang dapat dididik dan juga dapat mendidik dirinya sendiri. Hubungan pendidik dan peserta didik seyogyanya adalah hubungan yang setara antara dua pribadi, meskipun yang satu lebih berkembang dari yang lain (Raka Joni, 1983 : 29; Sulo Lipa Sulo,1984). Hubungan kesetaraan dalam interaksi edukatif tersebut seyogyanya diarahkan menjadi suatu hubungan transaksional, suatu hubungan antar pribadi yang memberi peluang baik bagi peserta didik yang belajar,maupun bagi pendidik yang ikut belajar (coleaner). Dengan demikian, cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diwujudkan melalui belajar seumur hidup. Hubungan tersebut sesuai dengan asas ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
2.      Gerakan Baru Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap Pelaksanaan di Indonesia
             Pendidikan sebagai suatu kegiatan yang kompleks menuntut penanganan untuk meningkatkan kualitasnya, baik yang bersifat menyeluruh maupun pada beberapa komponen tertentu saja. Gerakan-gerakan baru dalam pendidikan pada umumnya termasuk yang kedua yakni upaya mutu pendidikan hanya dalam satu atau beberapa komponen saja. Meskipun demikian, sebagai suatu sistem, penanganan satu atau beberapa komponen itu akan mempengaruhi pula komponen lainnya. Beberapa dari gerakan-gerakan baru tersebut memusatkan diri pada perbaikan dan peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar pada sistem persekolahan, seperti pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat perhatian, sekolah kerja, pengajaran proyek, dan sebagainya (Suparlan, 1984; Soejono, 1958).
a.       Pengajaran Alam Sekitar
Gerakan pendidikan yang mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitarnya, perintis gerakan ini antara lain : Fr. A Finger (1808-1916) di Jerman dengan heimatkunde (pengajaran alam sekitar, dan J. Lingthart (1859 – 1916) di Belanda dengan Het Volle Leven (kehidupan senyatanya). Beberapa prinsip gerakan Heitmakunde adalah :
1)      Dengan pengajaran alam sekitar itu, guru dapat meragakan secara langsung.
2)      Pengajaran alam sekitar memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak aktif       
3)      atau giat tidak hanya duduk, dengar dan catat saja.
4)      Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk memberikan pengajaran totalitas, yaitu suatu bentuk pengajaran dengan ciri-ciri dalam garis besarnya sebagai berikut :
a)      Suatu pengajaran yang tidak mengenai pembagian mata pengajaran dalam daftar pengajaran, tetapi guru memahami tujuan pengajaran dan mengarahkan usahanya untuk mencapai tujuan.
b)      Suatu pengajaran yang menarik minat, karena segala sesuatu dipusatkan atas suatu bahan pengajaran yang menarik perhatian anak dan diambilkan dari alam sekitarnya.
c)      Suatu pengajaran yang memungkinkan segala bahan pengajaran itu berhubung-hubungan satu sama lain seerat-eratnya secara teratur.
Pengajaran alam sekitar memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak verbalistis.Yang dimaksud dengan apersepsi intelektual ialah segala sesuatu yang baru dan masuk di dalam intelek anak, harus dapat luluh menjadi satu dengan kekayaan pengetahuan yang sudah dimiliki anak.
        Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional, karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak.  Sedangkan J. Lingthart mengemukakan pegangan dalam Het Volle Vellen sebagai berikut:
1)      Anak harus mengetahui barangnya terlebih dahulu sebelum mendengar namanya, tidak kebalikannya, sebab kata itu hanya suatu tanda dari pengertian tentang barang itu.
2)      Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas pengajaran itu.
3)      Haruslah diadakan perjalanan memasuki hidup senyatanya kesemua jurusan, agar murid paham akan hubunga antara bermacam-macam lapangan dalam hidupnya (pengajaran alam sekitar).
        Pokok-pokok pendapat pengajaran alam sekitar tersebut telah banyak dilakukan di sekolah, baik dengan peragaan, penggunaan bahan lokal dalam pengajaran, dan lain-lain. Seperti dikemukakan bahwa beberapa tahun terakhir ini telah ditetapkan adanya muatan lokal dalam kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar. Di samping alam sekitar sebagai isi bahan ajaran, alam sekitar juga menjadi  kajian empirik melalui percobaan, studi banding, dan sebagainya.

b.      Pengajaran Pusat Perhatian
        Pengajaran pusat perhatian dirintis oleh Ovideminat Decroly (1871-1932) dari Belgia dengan pengajaran melalui pusat-pusat minat (Centres d’internet). Pendidikan menurut Decroly berdasar pada semboyan : Ecole pour la vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Menurut Decroly dunia ini terdiri dari alam dan kebudayaan. Dan dunia itu harus hidup dan dapat mengembangkan kemampuan untuk mencapai cita-cita. Pengetahuan anak-anak harus bersifat subyektif dan obyektif. Dari penelitian secara tekun, Decroly menyumbangkan dua pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran, yaitu :
1)      Metode Global (keseluruhan). Dari hasil yang didapat dari observasi dan tes, dapatlah ia menetapkan, bahwa anak-anak mengamati dan mengingat secara global (keseluruhan). Mengingat keseluruhan lebih dulu daripada bagian-bagian. Jadi ini berdasar atas prinsip psikologi Gestalt.
2)      Centre d’interet (pusat-pusat minat). Dari penyelidikan psikologik, ia menetapkan bahwa anak-anak mempunyai minat yang spontan (sewajarnya). Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat spontan tersebut. Sebab apabila tidak, misalnya minat yang ditimbulkan oleh guru, maka pengajaran itu tidak akan banyak hasilnya. Anak mempunyai minat-minat spontan terhadap diri sendiri dan minat spontan terhadap diri sendiri itu dapat kita bedakan menjadi :
a)      Dorongan mempertahankan diri,
b)      Dorongan mencari makan dan minum,
c)      Dorongan memelihara diri,
Sedangkan minat terhadap masyarakat (biososial) ialah :
a)      Dorongan sibuk bermain-main,
b)      Dorongan meniru orang lain,
Dorongan-dorongan inilah yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan pendidikan harus selalu dihubungkan dengan pusat-pusat minat tersebut.
Gerakan pengajaran pusat perhatian tersebut telah mendorong sebagai upaya agar dalam kegiatan belajar mengajar diadakan berbagai variasi (cara mengajar dan lain-lain).
c.       Sekolah Kerja
Gerakan sekolah kerja dapat dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang mementingkan pendidikan keterampilan dalam pendidikan. G. Kerscenteiner ( 1854-1932 ) sebagai bapak sekolah kerja dengan Arbeitscule-nya (sekolah kerja) di Jerman. Perlu dikemukakan bahwa sekolah kerja itu bertolak dari pandangan bahwa pendidikan tidak hanya demi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, sekolah berkewajiban menyiapkan warga negara yang baik, yakni :
1)      Tiap orang adalah pekerja dalam salah satu lapangan jabatan,
2)      Tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya untuk kepentingan negara,
3)      Dalam menunaikan kedua tugas tersebut haruslah selalu diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu warga negara ikut membantu mempertinggi kesusilaan dan keselamatan negara. Berdasarkan hal itu, maka menurut G. Kerschenteiner tujuan sekolah adalah :
a)      Menambah pengetahuan anak, yaitu pengetahuan yang didapat dari buku atau orang lain, dan didapat dari pengalaman sendiri,
b)      Agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran tertentu,
c)      Agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai persiapan jabatan dalam mengabdi negara.
Oleh karena demikian banyaknya macam pekerjaan yang menjadi pusat pelajaran, maka sekolah kerja dibagi menjadi tiga golongan besar :
1)      Sekolah-sekolah perindustrian (tukang cukur, tukang kayu dan lain-lain)
2)      Sekolah-sekolah perdagangan (makanan, pakaian, bank dan lain-lain)
3)      Sekolah-sekolah rumah tangga, bertujuan mendidik para calon ibu yang diharapkan akan menghasilkan warga neagara yang baik.
          Pengikut G. Kerschenteiner antara lain, Leo de Paeuw. Leo de Paeuw adalah direktur jendral pengajaran normal di Belgia, yang mendirikan sekolah kerja seperti Kerschenteiner di negaranya. Ia membuka lima macam sekolah kerja yaitu :
1)      Sekolah teknik kerajinan,
2)      Sekolah dagang,
3)      Sekolah pertanian bagi anak laki-laki,
4)      Sekolah rumah tangga kota, dan
5)      Sekolah rumah tangga desa.

d.      Pengaruh Gerakan Baru dalam Pendidikan Terhadap Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
         Telah dikemukakan bahwa gerakan baru dalam pendidikan tersebut terutama berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun dasar-dasar pikirannya tentulah menjangkau semua segi dari pendidikan, baik aspek konseptual maupun operasional. Sebab itu, mungkin saja gerakan-gerakan itu tidak diadopsi seutuhnya di suatu masyarakat atau negara tertentu, namun asas pokoknya menjiwai kebijakan-kebijakan pendidikan dalam masyarakat atau negara itu.
         Akhirnya, perlu ditekankan lagi bahwa kajian tentang pemikiran-pemikiran pendidikan pada masa lalu akan sangat bermanfaat untuk memperluas pemahaman tentang seluk beluk pendidikan, serta memupuk wawasan historis dari setiap tenaga kependidikan.

B.     Dua “Aliran” Pokok Pendidikan di Indonesia
        Dua “aliran” pokok pendidikan dimaksudkan adalah Perguruan Kebangsaan Taman Siswa dan Ruang Pendidikan INS Kayu Taman. Kedua aliran ini dipandang suatu tonggak pemikiran tentang pendidikan di Indonesia. Secara historis, pendidikan yang melembaga telah dikenal sebelum Belanda menjajah Indonesia, seperti padepokan, pesantren, dan sebagainya. Belanda memperkenalkan sistem persekolahan di Indonesia, timbul pula berbagai upaya untuk mendirikan sekolah. RA Kartini (1879-1904) telah berhasil mendirikan sekolah untuk anak perempuan di Jepara dan di Rembang. Demikian pula tokoh di bidang keagamaan telah merintis persekolahan bercorak keagamaan sesuai dengan ajaran maing-masing. Sebagai contoh adalah Muhammadiyah (didirikan 1912 oleh K.H. Achmad Dahlan), Perguruan Kebangsaan Taman Siswa (didirikan oleh KH. Dewantara pada 3 juli 1922).
           Setelah kemerdekaan, telah diupayakan mengembangkan satu sistem pendidikan nasional sesuai ketetetapan Ayat 2 Pasal 31 dari UUD 1945. Menjelang PJP II telah diletakkan landasan yuridis untuk penataan Sisdiknas ditetapkannya UU RI No. 2 Tahun 1989 beserta peraturan pelaksanaannya. Dalam ketetapan itu dengan tegas dinyatakan “satu” dan bukannya “suatu” Sisdiknas itu. Oleh karena itu, kajian terhadap kedua aliran pokok tersebut (Taman Siswa dan INS) seyogyanya dalam latar Sisdiknas tersebut.
1.      Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
             Perguruan Kebangsaan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada tanggal 3 juli 1932 di Yogyakarta, yakni dalam bentuk Yayasan, selanjutnya mulai didirikan Taman Indria (Taman Kanak-Kanak) dan Kursus Guru, selanjutnya Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap Taman Guru, dan dikembangkan meliputi Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata. Dengan demikian Taman Siswa telah meliputi semua jenjang persekolahan.
a.       Asas dan Tujuan Taman Siswa
              Perguruan Kebangsaan Taman Siswa mempunyai tujuh asas perjuangan untuk menghadapi pemerintah kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan hidup bersifat nasional, dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut yang secara singkat disebut “asas 1922” adalah sebagai berikut :
1)      Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya pesatuan dalam peri kehidupan umum. Dari asas pertama ini jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah kehidupan yang tertib dan damai.
2)      Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan yang berfaedah yang dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
3)      Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebangsaan sendiri.
4)      Bahwa pengajaran harus tersebar luas sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
5)      Bahwa untuk mengejar kemerekaan hidup yang sepenuhnya lahir dan batin hendaknya diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan menolak bantuan apapun dan dari siapapun yang mengikat, baik berupa ikatan lahir maupun batin.
6)      Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan kekuatan sendiri maka mutlak harus membiayai sendiri segala usaha yang dilakukan.
7)      Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu adanya keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi demi keselamatan dan kebahagian anak-anak.
             Ketujuh asas tersebut diumumkan pada tanggal 3 Juli 1922, bertepatan dengan berdirinya Taman Siswa, dan disahkan oleh kongres Taman Siswa yang petama di Yogyakarta pada tanggal 7 Agustus 1930.
            Selanjutnya, dikemukakan penjelasan resmi dari Perguruaan Kebangsaan Taman Siswa tentang ketujuh asas 1922 tersebut Ki Hajar Dewantara (1952: 270-271), wawasan kependidikan guru (1982: 148-151), sebagai berikut :
           Pasal pertama:  Disinilah kita dapat saksikan sendiri terkandungya dasar kemerdekaan  bagi tiap-tiap orang  untuk mengatur dirinya sendiri. Dijelaskan disitu, bahwa kebebasan tadi bukan kebebasan yang yang leluasa namun kebebasan yang terbatas dan harus mengingat tertib damainya hdup bersama. Dengan tegas ayat kedua dalam pasal itu mengemukakan tujuan daripada hidup merdeka tadi yaitu hidup  tertib dan damai; bukan hanya tertib atau teratur saja namun sebetulnya tak ada rasa damai, namun tak ada peraturam tertib. Itulah cita-cita tertib, damai yang abadi.
      Bagaimana caranya kita melaksanakan asas ini terhadap anak-anak kita, barang tentu kita masing-masing dapat menentukan sendiri. Dengan menyesuaikannya dengan keadaan masing-masing, misalnya : ketertiban dalam kelas yang dicapai dengan kekerasan. Dengan memukul anak-anak yang ribut dengan kata-kata yang keras dan kasar, bukanlah ketertiban yang sejati. Ketertiban yang dicapai dari cara demikian mengakibatkan tertib namun menimbulkan kegelisahan atau menjauhkan ketenteraman. Dan ketertiban yang demikian tidak akan langgeng .
      Termasuk pula dalam pasal itu dasar kodrat alam, yang diterangkan padanya, untuk mengganti sistem pendidikan cara aman yang menggunakan perintah, paksaan dan hukuman. Kemajuan yang sejati hanya diperoleh dengan perkembangan kodrat yang terkenal sebagai “evolusi”. Dasar kodrat alam inilah yang kemudian mewujudkan among sistem, dalam cara  guru-guru kita menjadi pamong. Yaitu sebagai pemimpin berdiri dibelakang dengan bersemboyan “tut wuri handayani”, yakni tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri, tidak terus menrus dituntun di depan.
      Pasal kedua : Disini masih diteruskan keterangan “dasar kemerdekaan” yakni dengan kebebasan, bahwa kemerdekaan tadi hendaknya dikenakan terhadap cara anak-anak berpikir yaitu jangan selalu “dipelopori”, atau disuruh mengakui buah pikiran orang  lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri. Begitu pula cara anak-anak melakukan sikap batinnya, merasakannya, memelihara keinsyafannya dan sebagainya hendaknya jangan pula dipelopori namun, berilah kebebasan secukup-cukupnya kepada mereka.
      Pasal ketiga : Dalam pasal ini terkandung sementara kepentingan yang harus diperhatikan, sekalipun tidak sampai menjadi dasar atau yang patut dimasukkan “Keterangan Dasar 1947”. Terdapatlah dalam pasal itu singgungan kepentingan-kepentingan umumnya disebabkan karena bangsa kita selalu menyesuaikan diri dengan hidup dan penghidupan kebarat-baratan. Hal ini terdapat pula dalam sistem kependidikan dan pengajaran, yang terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran hingga menyuburkan jiwa intelektual dengan segala akibat-akibatnya.
      Pasal keempat : Disinilah terdapat dasar kerakyatan yang tak termasuk “Keterangan Dasar 1947”. Mempertinggi pengajaran dianggap perlu, namun jangan sampai menghambat tersebarnya pendidikan dan pengajaran untuk seluruh masyarakat purba. Dalam zaman belanda sudah ada perguruan-perguruan tinggi, akan tetapi karena sistem pengajaran rakyat masih sangat primitifnya, maka pelajar-pelajar kebanyakan berasal dari golongan Belanda dan bangsa asing lainnya yang berkeleluasaan menerima pengajaran persiapan yang baik dan cukup.
      Pasal kelima    : Inilah asas yang sangat penting bagi semua orang, yang sungguh-sungguh berhasrat mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya. Janganlah menerima bantuan yang dapat mengikat diri kita, baik berupa ikatan lahir maupun batin. Boleh kita menerima bantuan dari siapapun juga asalkan tidak mengikat sedemikian rupa, hingga dapat mengurangi kemerdekaan dan kebebasan kita. Dan dengan positif tegas dinyatakan disitu, bahwa pokok dari pada asas kita adalah : Berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.
      Pasal keenam   : Disini terdapatlah syarat yang mutlak dalam kita mengejar kemerdekaan diri itu, yaitu keharusan untuk membelanjai dengan segala usaha. Sistem itu mulai dulu terkenal sebagai zelf-begrotings-system, yang bagai golongan-golongan lain, yang ingin hidup merdeka dan bebas, amat sukarlah rupanya untuk menirunya. Kesukaran tadi disebabkan, karena untuk menegakkan sistem membelanjai sendiri tadi diperlukan (sebagai syarat mutlak pula) keharusan untuk hidup sederhana.
      Pasal ketujuh   : Teranglah dalam kepentingan kita selamat dan bahagianya anak-anak yang kita didik. Kita harus sanggup mematahkan segala ikatan lahir dan batin yang merancang jiwa raga kita, untuk dapat “berhamba kepada sang anak” dengan segala hasrat kesucian.
      Dalam perkembangan selanjutnya Taman Siswa melengkapi “Asas 1922” tersebut dengan “Dasar-dasar 1947” yang disebut pula “Panca Dharma” (Pasal 7, dan nomor pasal-pasal dalam bagian ini, diambil dari peraturan dasar persatuan taman siswa). Kelima dasar Taman Siswa tersebut (Ki Mangansarkoro, 1952 dari Wawasan Pendidikan Guru. 1982 : 153-154) adalah :
1)      Asas kemerdekaan harus diartikan disiplin pada diri sendiri oleh diri sendiri atas  dasar nilai  hidup yang tinggi, baik hidup sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Maka itu kemerdekaan menjadi alat mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suatu pertimbangan dan keselarasan dengan masyarakat tertib damai tempat keanggotaannya. 
2)      Asas kodrat alam berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam ini. Ia tidak bisa lepas dari kehendaknya tetapi akan mengalami bahagia jika bisa menyatukan diri dengan kodrat alam yang mengandung kemajuan yang dapat kita gambarkan sebagai bertumbuhnya tiap-tiap benih sesuatu pohon yang kemudian berkembang menjadi dasar dan akhirnya berbuah dan setelah menyebarkan benih biji yang baru pohon tersebut mengakhiri hidupnya, dengan keyakinan bahwa dharmanya akan dibawa terus dengan tumbuhnya lagi benih-benih yang disebarkan.
3)      Asas kebudayaan Taman siswa tidak berarti asal memelihara kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman, kemajuan dunia, dan kepentingan hidup rakyat lahir dan batin tiap-tiap zaman dan keadaan.
4)      Azas kebangasaan Taman siswa tidak boleh bertentangan dengan kemanusiaan, malahan harus menjadi bentuk dan fiil kemanusiaan yang nyata dan oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh bangsa.
5)      Asas kemanusiaan menyatakan bahwa dharma tiap-tiap manusia itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan batin yang setinggi-tingginya, dan juga bahwa kemajuan kemanusiaan yang tinggi itu dapat dilihat pada kesucian hati orang  dan adanya rasa kasih terhadap makhluk Tuhan seluruhnya, tetapi cita kasih yang tidak bersifat kelembekan hati, melainkan bersifat keyakinan adanya hukum kemajuan yang meliputi alam semesta.
Tujuan perguruan kebangsaan Taman Siswa dapat dibagi dua jenis yaitu tujuan yayasan atau keseluruhan perguruan dan tujuan pendidikan.
1.      Sebagai yang dinyatakan dalam keterangan “Asas Taman Siswa” tahun 1922 Pasal 1, tujuan Taman Siswa sebagai badan perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib dan damai.
2.      Tertib yang sebenarnya tidak akan ada, jika tidak ada damai antara manusia. Dan damai antara manusia itu hanya mungkin ada dalam keadilan sosial sebagai wujud berlakunya kedaulatan dan kemanusiaan, yang menghilangkan segala rintangan oleh manusia terhadap sesamanya dalam sarat-sarat hidupnya, serta menjamin terbaginya sarat-sarat hidup lahir batin, secara sama-rata sama rasa. Sedangkan tujuan Pendidikan (Pasal 13) yaitu : Tujuan pendidikan Taman Siswa ialah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir batin, luhur akal budinya, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa, tanah air, serta manusia pada uimumnya.

b.      Upaya-Upaya Pendidikan yang Dilakukan  Taman Siswa
      Peraturan Dasar Persatuan Taman Siswa menetapkan berbagai upaya yang dilakukan Taman Siswa, baik di lingkungan perguruan, untuk mencapai tujuannya (seperti yang maksudkan dalam Pasal 8) Taman Siswa berusaha dengan jalan (Pasal 9) sebagai berikut:
1)      Menyelenggarakan tugas pendidikan dalam bentuk perguruan dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat kejuruan , serta memberi pendidikan itu serba isi yang baik dan berguna untuk keperluan hidup dan penghidupan masyarakat sesuai dengan asas, dasar dan tujuan pendidikan Taman Siswa dengan selalu mengingat/menyesuaikan dengan kecerdasan zaman dan kemajuan dunia.
2)      Mengikuti, mempelajari perkembangan dunia di luar Taman Siswa yang ada hubungannya dengan bidang-bidang kegiatan-kegiatan Taman Siswa untuk diambil faedah sebaik-baiknya.
3)      Menumbuhkan dan memasakkan lingkungan hidup keluarga Taman Siswa, sehingga dapat tampak benar wujud masyarakat Taman Siswa yang dicita-citakan.
4)      Meluaskan kehidupan ke Taman Siswa-an diluar lingkungan masyarakat perguruan, sehingga dapat terbentuk wadah yang nyata bagi jiwa Taman Siswa, agar dengan demikian ada pengaruh timbal balik antara perguruan/keluarga dan masyarakat sekitarnya pada khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.
      Disamping itu upaya-upaya dalam lingkungan perguruan, untuk mencapai tujuan Taman Siswa (seperti tersebut pada Pasal 8), Taman Siswa berusaha diluar lingkungan perguruan dengan jalan (Pasal 10) sebagai berikut :
1)      Menjalankan kerja pendidikan untuk masyarakat umum dengan  dasar-dasar dan hidup Taman Siswa, baik yang bersifat umum untuk meningkatkan kecerdasan masyarakat maupun pendidikan karya untuk meningkatkan kecakapan dan kemampuan hidupnya
2)      Menyelenggarakan usaha-usaha kemasyarakatan dalam masyarakat dalam bentuk-bentuk badan sosial ekonomi yang dapat memberi bimbingan dan dorongan kegiatan masyarakat dalam perjuangannya menuju masyarakat bahagia tertib-damai.
3)      Bersama-sama dengan instansi-instansi dengan pemerintahan menyelenggarakan usaha-usaha pembentukan kesatuan hidup kekeluargaan sebagai pola masyarakat baru Indonesia.
4)      Menyelenggarakan usaha pendidikan kader pembangunan yang tenaganya dapat disumbangkan kepada masyarakat untuk pembangunan.
5)      Mengusahakan terbentuknya pusat-pusat kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan masyarakat dengan inti-inti kejiwaan Taman Siswa.
c.        Hasil-Hasil yang Dicapai
Yayasan Perguruan Kebangsaan Taman Siswa yang didirikan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) pada tanggal 3 Juli  1922 di Yogyakarta sampai kini telah mencapai berbagai hal seperti : gagasan/pemikiran tentang pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan dari Taman Indria sampai dengan Sarjana Wiayata, dan sejumlah besar alumni perguruan (banyak yang menjadi tokoh nasional, antara lain Ki Hadjar Dewantara, Ki Mangunsarkoro, dan Ki Suratman). Ketiga pencapaian itu merupakan pencapaian sebagai suatu yayasan pendidikan, yang juga mungkin dicapai oleh yayasan pendidikan lainnya.
     

Meskipun Hampir semua upaya pendidikan yang dilakukan oleh orang  Indonesia di zaman penjajahan adalah sebagai sarana perjuangan kemerdekaan Indonesia, namun Taman Siswa menduduki tempat khusus dalam peran perjuangan itu. Seperti diketahui, persatuan dan kesatuan sangat diperlukan oleh setiap bangsa yang bhineka tunggal ika, seperti di Indonesia.
      Akhirnya perlu dikemukakan harapan seperti yang tercermin dalam Tajuk Rencana Harian  Kompas menyambut kongres ke-16 dan hari jadi ke-70 Taman Siswa dengan judul :”Menyelenggarakan Kembali Semangat Humanisme Ki Hadjar Dewantara” yakni perlunya penyegaran untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat yang serba cepat dan tak terduga.
      Karena tanpa penyegaran dan dinamisasi, dapat terjadi Taman Siswa sebagai “Indonesia Kecil” bisa mengikuti “sesama Taman Siswa” lain yakni perguruan kebangsaan yang bersemangat nasionalisme yang satu persatu mati, demikian Kompas. Harapan kita semua penyegaran dan dinamisasi itu akan terus berkembang agar Taman Siswa dapat maju terus ; seperti diketahui, hari jadi pendiri Taman Siswa itu (2 Mei) telah ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

2.      Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
            Ruang Pendidikan INS  (Indonesia Nederlandsche School) didirikan oleh Mohammad Sjafei (lahir di Matan, Kalbar tahun 1895) pada tanggal 31 oktober 1926 di Kayu Taman (Sumatra Barat). INS pada mulanya dipimpin oleh bapaknya, kemudian diambil alih oleh Moh. Sjafei. dimulai dengan 75 orang murid, dibagi dalam dua kelas, serta masuk sekolah bergantian karena gurunya hanya satu yakni Moh.Sjafei sendiri. Sekolah ini mengalami pasang surut sesuai dengan keadaan di Indonesia saat itu, bahkan pada bulan Desember 1948 sewaktu belanda menyerang ke Kayu Taman, seluruh gedung INS dibumihanguskan, termasuk ruang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan (RPPK) di Padang Panjang. Pada tahun 1952, INS mendirikan  percetakan Sridharma yang menerbitkan majalah bulanan “Sendi”dengan sasaran khalayak adalah anak-anak.
a.       Asas dan Tujuan Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
      Pada awal didirikan, Ruang Pendidikan INS mempunyai asas-asas sebagai berikut :
1)      Berpikir logis dan rasional
2)      Keaktifan atau kegiatan
3)      Pendidikan Masyarakat
4)      Memperhatikan pembawaan anak
5)      Menentang intelektualisme
      Setelah kemerdekaan Indonesia, Moh. Sjafei mengembangkan asas-asas pendidikan INS menjadi dasar-dasar pendidikan Republik Indonesia. Dasar-dasar tersebut dikembangkan dengan mengintegrasi asas-asas ruang Pendidik INS, sila-sila dari pancasila, dan hasil analisis alam dan masyarakat Indonesia, serta pengalaman sebagai guru sekolah Kartini di Jakarta (1914-1922) dan sebagai pemimpin INS. Dasar-dasar pendidikan tersebut (Mohammad Sjafei, 1979 : 31-86 ; dan said, 1981 : 57-69) sebagai berikut :
1)      Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
2)      Kemanusiaan.
3)      Kesusilaan
4)      Kerakyatan
5)      Kebangsaan
6)      Gabungan antara pendidikan ilmu umum dan kejujuran.
7)      Percaya pada diri sendiri juga pada Tuhan
8)      Berakhlak (bersusila) setinggi mungkin
9)      Bertanggung jawab akan keselamatan nusa dan bangsa.
10)  Berjiwa aktif dan aktif negatif
11)  Mempunyai daya cipta
12)  Cerdas, logis dan rasional
13)  Berperasaan tajam, halus dan estetis
14)  Gigih atau ulet yang sehat
15)  Correct atau tepat
16)  Emosional atau terharu
17)  Jasmani sehat dan kuat
18)  Cakap berbahasa Indonesia, Inggris dan Arab
19)  Sanggup hidup sederhana dan bersusah payah
20)  Sanggup mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan alat serba kurang.
21)  Sebanyak mungkin memakai kebudayaan nasional waktu mendidik.
22)  Waktu mengajar para guru sebanyak mungkin menjadi objek, dan murid-murid mejadi subjek. Bila hal ini tidak mungkin barulah para guru menjadi subjek dan murid menjadi objek.
23)  Sebanyak mungkin para guru mencontohkan pelajaran-pelajarannya, tidak hanya pandai menyuruh saja.
24)  Diusahakan supaya pelajar mempunyai darah ksatria ; berani karena benar.
25)  Mempunyai jiwa konsentrasi
26)  Pemeliharaan (perawatan) sesuatu usaha.
27)  Menepati janji
28)  a. Sebelum pekerjaan dimulai dibiasakan menimbangnya dulu sebaik-baiknya
b. Kewajiban harus dipenuhi
29)   Hemat
      Demikianlah dasar-dasar pendidikan menurut Moh. Sjafei yang mencakup berbagai hal, seperti : syarat-syarat pendidikan yang efektif, tujuan yang ingin dicapai dan sebagainya.
      Sejak didirikan, tujuan Ruang Pendidikan INS Kayu Taman adalah :
1)      Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
2)      Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3)      Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat.
4)      Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab
5)      Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.

b.      Usaha-Usaha Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
      Terdapat berbagai usaha yang dilakukan oleh Mohammad sjafei dan kawan-kawan dalam mengembangkan gagasan dan berupaya mewujudkannya, baik yang berkaitan dengan Ruang Pendidikan INS maupun tentang pendidikan dan perjuangan/pembangunan bangsa Indonesia pada umumnya. Beberapa hal yang perlu dikemukakan adalah memantapkan dan memperluaskan gagasan-gagasannya tentang pendidikan nasional, pengembangan Ruang Pendidikan INS (kelembagaan, sarana/prasarana, dan lain-lain), upaya pemberantasan buta huruf, penerbitan majalah, anak-anak, dan lain-lain.
      Beberapa usaha yang dilakukan Ruang Pendidik INS Kayu Taman yang dalam bidang kelembagaan antara lain menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti ruang rendah (7 tahun, setara sekolah dasar), ruang dewasa (4 tahun sesudah ruang rendah, setara dengan sekolah menengah), dan sebagainya. Perlu ditekankan bahwa program pendidikan INS tersebut sangat mengutamakan menggambar, pekerjaan tangan, dan sejenisnya (Mohammad Sjafei, 1979: 87-117). Terdapat pula program khusus untuk menjadi guru yakni tambahan satu tahun  setelah ruang dewasa untuk pembekalan kemampuan mengajar dan praktek mengajar (Said, 1981 : 57-69). Disamping bidang kelembagaan itu, Ruang Pendidikan INS Kayu Taman juga menyelenggarakan usaha lain sebagai bagian mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni penerbitan “sendi”(majalah anak-anak), buku bacaan dalam rangka pemberantasan buta huruf/aksara dan angka dengan judul “Kunci 13”, mencetak buku-buku pelajaran, dan lain-lain. (Soedjono, 1958 : 46). Seperti diketahui, upaya-upaya dari Ruang Pendidikan INS Kayu Taman tersebut dilakukan sebagai usaha mandiri, dan menolak bantuan yang mungkin akan membatasi kebebasannya.

c.       Hasil-Hasil yang Dicapai Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
      Ruang Pendidikan INS Kayu Taman mengalami masa pasang surut seirama dengan pasang surutnya perjuangan bangsa Indonesia. Seperti telah dikemukakan bahwa akibat bumihangus pada penyerangan Belanda tahun 1948, praktis kegiatan nyata dari INS terhenti, dan baru dimulai kembali pada tahun 1950. Perkembangannya berlangsung lambat, tetapi tidak mati seperti beberapa perguruan kebangsaan lainnya. Sebagaimana Taman Siswa, Ruang Pendidikan INS Kayu Taman juga mengupayakan gagasan-gagasan tentang pendidikan nasional (utamanya pendidikan keterampilan/kerajinan), beberapa orang  alumni telah berhasil menerbitkan salah satu tulisan Moh. Sjafei yakni Dasar-Dasar Pendidikan (1976), yang ditulis pada tahun 1968 (cetakan kedua tahun 1979).
      Seperti harapan kepada Taman Siswa, Ruang Pendidikan INS Kayu Taman juga diharapkan melakukan penyegaran dan dinamisasi, seiring dengan perkembangan masyarakat dan Iptek. Di samping itu, upaya-upaya pengembangan Ruang Pendidikan INS Kayu Taman tersebut seyogyanya dilakukan dalam rangka pengembangan Sisdiknas, sebagai bagian dari usaha mewujudkan cita-cita Ruang Pendidikan INS Kayu Taman, yakni mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia,.








* Tambahan Petunjuk Belajar
         Setelah Anda mempelajari Bab VI ini dengan seksama, kerjakanlah tugas-tugas di bawah ini :
1.      Bentuklah beberapa kelompok berpasangan (a 5-10 orang/kelompok) untuk melakukan debat tentang aliran-aliran pendidikan; satu kelompok setuju (pro, mempertahankan) dan yang lainnya kontra (mengkritik) tentang satu aliran tertentu. Sesudah berdebat tersebut, tunjuklah 3-5 orang tim perumus (gabungan dua kelompok untuk membuat rangkuman dari debat itu. Hasil kerja tim perangkum tersebut dilaporkan dalam pleno (kelas).
2.      Carilah bahan-bahan pemberitaan (koran, majalah, dan lain-lain) tentang Taman Siswa, Ruang Pendidikan INS Kayu Taman atau Aliran Pendidikan lainnya di Indonesia. Diskusikan bahan-bahan tersebut dalam kelompok-kelompok kecil (3-5 orang), dan buat laporan untuk disampaikan kepada pleno (kelas).
BAB VII
MASALAH PENDIDIKAN

Pendidikan mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Sebagai konsekuensi logis, pendidikan selalu diharapkan pada masalah-masalah baru. Masalah yang dihadapi dunia pendidikan itu demikian luas, pertama karena sifat sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri, kedua karena usaha pendidikan harus mengantisipasi ke hari depan yang tidak segenap seginya terjangkau oleh kemampuan daya ramal manusia. Oleh karena itu, perlu ada rumusan sebagai masalah-masalah pokok yang dapat dijadikan pegangan oleh pendidik dalam mengemban tugasnya.
Dengan mengkaji materi bab VII ini anda akan memahami permasalahan pokok pendidikan, dan saling kaitan antara pokok tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangan.
Lebih rinci Anda akan dapat:
1.      Menuliskan 4 macam masalah pokok pendidikan dan menjelaskannya.
2.      Menjelaskan saling hubungan antara masalah-masalah pokok pendidikan tersebut.
3.      menjelaskan pengaruh perkembangan iptek, pertumbuhan penduduk , dan aspirasi masyarakat terhadap perkembangan masalah pendidikan.
4.      Menjelaskan (dengan memberikan contoh-contoh) permasalahan aktual pendidikan di tanah air kita serta upaya penanggulannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut berikut ini disajikan materi yang meliputi: Permasalahan pokok pendidikan dan penanggulangannya.
·  Jenis permasalahan pokok pendidikan dan penanggulannya.
·  Saling keterkaitan antara masalah pokok pendidikan.
·  Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan permasalahan pendidikan.
·  Masalah aktual pendidikan di Indonesia dan penanggulannya.

A.     Permasalahan Pokok Pendidikan dan Penanggulangannya
Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan masyarakat.Pembangunan sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai suprasistem tersebut di mana sistem pendidikan menjadi bagiannya , menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitarnya, dari mana murid-murid sekolah tersebut berasal, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya di luar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut.
Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks, menyangkut banyak komponen, dan melibatkan banyak pihak.
     
Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita dewasa ini yaitu:
a.      Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan.
b.      Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat.
Yang pertama mengenai masalah pemerataan, dan yang kedua adalah masalah mutu, relevansi, dan juga efisiensi pendididkan.

B.      Jenis Permasalahan Pokok Pendidikan
Seperti telah dikemukakan pada bagian A, pada bagian ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi kesepakatan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya.Masalah yang dimaksud yaitu:
1.  Masalah pemerataan pendidikan.
2.  Masalah mutu pendidikan.
3.  Maslah efisiensi pendidikan.
4.  Masalah relevansi pendidikan.
Keempat masalah tersebut akan dibahas secara berturut-turut pada bagian berikut ini :

  1. Masalah Pemerataan Pendidikan
      Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memajukan bangsa  dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang pembangunan.
            Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, ditanah air kita pemerataan pendidikan itu telah dinyatakan di dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada Bab X1, Pasal 17 berbunyi:
”Tiap-tiap warga Negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah itu dipenuhi”
            Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, Pasal 10 Ayat 1, menyatakan : “Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya.” Ayat 2 menyatakan:”Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.”
            Landasan yuridis pemerataan pendidikan tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai akibat penjajahan.
Khusus melalui jalur pendidikan luar sekolah usaha pemerataan pendidikan mengalami perkembangan pesat. Ada dua faktor yang menunjang yaitu perkembangan iptek yang menawarkan berbagai macam alternatif , dan dianutnya konsep pendidikan sepanjang hidup yang tidak membatasi pendidikan hanya sampai pada usia tertentu dan tidak terbatas hanya pada penyediaan sekolah.
Perkembangan iptek menawarkan beraneka ragam alternatif model pendidikan yang dapat memperluas pelayanan kesempatan belajar dililihat dari segi waktu belajarnya bervariasi dari beberapa jam, hari, minggu, bulan, sampai tahunan; melalui proses tatap muka, melalui mass media ataukah jarak jauh; isinya berupa paket terbatas ataukah himpunan sejumlah paket; sumber belajarnya manusia, barang cetak elektronik, sampai pada lingkungan alam.

Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan
            Banyak macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,yaitu melalui cara konvesional dan cara inovatif

  1. Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhadap calon luarah, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika lurah tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test).
Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat pada kualitas keluarannya. Dengan kata lain apakah keluaran itu mewujudkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Kualitas lurah seperti itu disebut nurturant effect.
Masalah mutu pendidikan  juga mencangkup masalah pemerataan mutu. Umumnya kondisi mutu pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah perkotaan. Acuan usaha pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala jenis dan jenjangnya di seluruh pelosok tanah air mengalami peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.

Pemecahan Masalah Mutu Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya pemecahan masalah mutu pendidikan bersasaran pada perbaikan kualitas komponen pendidikan (utamanya komponen masukan mentah untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi, dan komponen masukan instrumental) serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya tersebut pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik, yang akhirnya dapat meningkatkan hasil pendidikan.

  1. Masalah Efisiensi Pendidikan
            Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi. Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya berarti rendah

            Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting ialah :
a.      Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan
b.      Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan digunakan.
c.      Bagaimana pendidikan diselenggarakan.
d.     Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga.
Masalah pengembangan tenaga kependidikan di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirya kurikulum baru. Setiap pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari pada pelaksana di lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan pengembangan tenaga pelaksana di lapangan (yang berupa penyuluhan, latihan, lokakarya, penyebaran buku panduan) sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan kurikulum baru memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat direncanakan saat berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini proses pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.


  1. Masalah Efisiensi dalam Prasarana dan Sarana
            Penggunaan Prasarana dan sarana pendidikan yang tidak efisien bisa terjadi antara lain sebagai akibat kurang matangnya perencanaan dan sering juga karena perubahan kurikulum. Gejala lain tentang tidak adanya efisiensi dalam penggunaan sarana pendidikan yaitu diadakannya dan didistribusikannya sarana pembelajaran tanpa dibarengi dengan pembekalan kemampuan, sikap dan keterampilan calon pemakai, ataupun tanpa dilandasi oleh konsep yang jelas.

  1. Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan iuran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Iuran pendidikan diharapakan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa dan lain-lain, baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas.

C.     Faktor-faktor yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan
1.      Perkembangan Iptek dan Seni
a.       Perkembangan Iptek
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan dengan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam semesta, dan teknologi adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
b.      Perkembangan Seni
Kesenian merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang menghasilkan sesuatu yang indah. Berkesenian menjadi kebutuhan manusia, melalui kesenian manusia dapat menyalurkan dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan.
Dilihat dari segi tujan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya, aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan dominan efektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan di samping domain kognitif yang sudah digarap melalui program/bidang studi yang lain.

2.      Laju Pertumbuhan Penduduk 
Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu :
a.         Pertambahan penduduk
b.         Penyebaran penduduk
c.         Menurut Email Salim (Conny R. Semiawan, 19991: 18)
Dari sekarang hingga abad XXI, terus menerus bahan pendudukan akan terjadi pertambahan jumlah penduduk meskipun gerakan KB berhasil. Sebabnya karena tingkat kematian, yaitu sebesar 4,5%. Yaitu sebesar 4.5% dari turunnya tingkat kelahiran, Yaitu sebesar 4.5%. Hal tersebut juga mengakibatkan berubahnya susunan umur penduduk. Tentang pertumbuhan penduduk itu Bank Dunia memperkirakan gambaran seperti terlihat pada tabel di bawah ini.


Tabel
Pemikiran Jumlah Penduduk
Menurut Bank Dunia Tahun 1986
Pertengahan Abad XXI
Tahun
1986
1990
2000
2050
Penduduk
(juta)
166
178
207
355

Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang terselenggaranya pendidikan harus ditambah. Dan ini berarti beban pembangunan nasional menjadi bertambah.
Pertambahan penduduk yang dibarengi dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian, mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk usia sekolah lanjutan, angkatan kerja , dan penduduk usia tua meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan.

3.      Aspirasi Masyarakat
Dalam dua dasa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat, khususnya aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan, kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Pendidikan dinggap memberikan jaminan bagi peningkatan taraf hidup dan pendidikan di tangga sosial. Sebagai akibat dari peningkatan  aspirasi terhadap pendidikan maka orang tua mendorong anaknya untuk bersekolah, agar nantinya anak-anaknya memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada orang tuanya sendiri.
Namun demikian tidaklah berarti bahwa aspirasi terhadap pendidikan harus diredam, justru sebaliknya harus tetap dibandingkan dan ditingkatkan, utamanya pada masyarakat yang belum maju dan masyarakat di daerah terpencil, sebab aspirasi  menjadi motor penggerak roda kemajuan.


4.      Keterbelakangan Budaya dan Sarana Kehidupan
Keterbelakangan budaya adalah suatu istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung budaya, kebudayaannya pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik. Semestinya masyarakat luar itu bukan harus menilainya melainkan hanya melihat bagaimana kesesuaian kebudayaan tersebut dengan tuntutan zaman. Jika sesuai dikatakan maju dan jika tidak sesuai lalu dikatan terbelakang.
            Perubahan kebudayaan terjadi karena adanya penemuan baru dari luar maupun dari dalam lingkungan masyarkat sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material seperti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi dan non material seperti pangan atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya terjadi karena :
v  Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat (misal terpencil).
v  Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur budaya baru karena tidak dipahami atau kerena dikhawatirkan akan merusak sendi masyarakat.
v  Ketidakmampuan masyarakat secara ekonomis menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya keterbelakangn budaya umumnya dialami oleh:
v  Masyarakat daerah terpencil
v  Masyarakat tidak mampu secara ekonomis
v  Masyarakat kurang terdidik

D.     Permasalahan Aktual Pendidikan di Indonesia
1.      Permasalahan aktual Pendidikan di Indonesia
Pendidikan selalu menghadapi masalah, karena selalu terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan hasil yang dapat dicapai dari proses pendidikan. Permasalahan aktual berupa kesenjangan-kesenjangan yang pada saat ini dihadapi dan mendesak untuk ditanggulangi.
            Beberapa masalah aktual pendidikan yang akan dikemukakan meliputi masalah-masalah ketuhanan pencapaian sasaran, kurikulum, peranan guru, pendidikan dasar 9 tahun, dan pendayagunaan teknologi pendidikan
            Perlu dipahami bahwa tidak semua masalah aktual tersebut merupakan masalah baru. Bahkan ada yang sudah lama. Sudah sejak lama masalah aktual itu kita sepakati untuk mengatasinya, tetapi dari tahun ketahun hasilnya tetap sama. contoh Pendidikan Moral Pancasila seperi yang telah diungkapkan tadi.

Berikut ini masalah aktual tersebut akan dibahas satu persatu.
a.       Masalah Keutuhan Pencapaian sasran
      Di dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional bab 11 Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara rinci di dalam GBHN butir 2a dan b, tentang arah dan tujan pendidikan bahwa yang dimaksud dengan manusia seutuhnya itu adalah manusia yang sehat jasmani dan rohani, manusia yang memiliki hubungan secara vertical (dengan Tuhan Yang Maha Esa), horizontal (dengan lingkungan dan masyarakat), dan konsentris (dengan diri sendiri); yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi. Pengembangan daya pikir dinomorsatukan, sedangkan perasaan dan hati agar memahami nilai-nilai melainkan harus mengalaminya. Dengan demikian mengalami peserta didik dibuka kemungkinannya untuk menghayati hal-hal seperti kepercayaan diri, kemandirian, keyakinan, dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang maha Esa, penghargaan terhadap waktu dan kerja, kegairahan belajar, kedisiplinan kesetiakawanan sosial, dan semangat kebangsaan.

b.      Masalah Kurikulum
Pada bagian ini akan dibahas masalah actual mengenai kurikulum. Masalah kurikulum meliputi masalah konsep dan masalah pelaksanaannya. Yang menjadi sumber masalah ini ialah bagaimana sistem pendidikan dapat membekali peserta didik untuk terjun ke lapangan kerja dan memberikan bekal dasar yang kuat untuk ke perguruan tinggi.
c.       Masalah Peranan Guru
Konsep-konsep baru lahir sebagai cerminan humanisme yang memberikan arah baru pada pendidikan. Sejalan dengan itu perkembangan iptek yang pesat menyumbangkan cara-cara baru yang lebih mantap terhadap pemecahan masalah pendidikan. Sejalan dengan itu maka guru sebagai suatu komponen sistem pendidikan juga harus berubah.

d.      d.   Masalah Pendidikan Dasar 9 Tahun
Keberadaan pendidikan dasar 9 tahun mempunyai landasan yang kuat. UU RI Nomor 2 Than 1989 pasal 6 menyatakan tentang hak warga Negara untuk mengikuti pendidikan sekurang-kurangnya tamat pendidikan dasar, dan pasal 13 menyatakan tujuan pendidikan dasar. Kemudian PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan dasar merupakan pendidikan 9 tahun, terdiri atas program pendidikan 6 tahun di SD dan program pendidikan 3 tahun di SLTP, pasal 3 memuat tujuan pendidikan dasar yaitu memberikan bekal kemampuan dasar kepada pendidik untuk mengembangkan kehidupannya sebagi pribadi, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat manusia, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.

2.      Upaya Penanggulangannya
Beberapa upaya perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah-masalah aktual seperi telah dikemukakan pada butir 1, antara lain sebagai berikut:
a.       Pendidikan efektif perlu ditingkatkan secara terprogram tidak cukup berlangsung hanya secara insidental.
b.      Pelaksanaan ko dan ekstrakurikuler dikerjakan dengan penuh kesungguhan, kegigihan dan hasilnya diperhitungkan dalam menetapkan nilai akhir ataupun pelulusan.
c.       Pemilihan siswa atas kelompok yang akan melanjutkan belajar ke perguruan tinggi dengan  yang akan terjun ke masyarakat merupakan hal yang prinsipil karena pada dasarnya tidak semua siswa secara potensial mampu belajar di perguruan tinggi .
d.      Pendidikan tenaga kependidikan (prajabatan dan dalam jabatan) perlu diberi perhatian khusus, oleh karena tenga kependidikan khususnya  guru menjadi penyebab lahirnya sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan
e.       Untuk pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun, apa lagi di kaitkan dengan gerakan wajib belajar, perlu di adakan penelitian secara meluas pada masyarakat untuk menemukan faktor penunjang dan utamanya faktor penghambatnya .










* Tambahan Petunjuk Belajar
  1. Bentuklah Kelompok diskusi  kelompok 3-5 orang
  2. Usahakan setiap orang diberikan no urut.
  3.  Buatlah kesimpulan permasalahan pendidikan di Indonesia yang di anggap mendasar sampai sekarang.
  4. Hasil kesimpulan dari kelompok  akan dipresentasikan di depan kelas oleh salah seorang anggota dengan melalui lot.

DAFTAR  PUSTAKA

Bloom, B.S., Hastings, J.T., dan Madaus, G.G. (1971). Handbook on Formative and Summative Evaluation of Student Learning. New York: McGraw-Hill.

Conny R. Semiawan. (1990/1991). Hakikat Pendidikan di Sekolah Dasar. Makalah' yang disajikan  dalam  Penataran  Calon  Penatar dalam rangka Persiapan Penyelenggaraan Program  D-II PGSD,  P2TK Ditjen Dikti Depdikbud, Juni-Agustus  1990 di Bogor.

Dedi Supriadi. 1990. “Globalisasi: Dunia Tanpa Tapal Batas” (Tinjauan Buku). Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan NO. 4 Tahun IX. H. 60
.
Depdikbud.   Filsafat Ilmu. Materi Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V, Buku IA. (1981). Jakarta: Proyek PIPT Ditjen Dikti Depdikbud.

Depdikbud. 1992. Kurikulum Pendidikan Tenaga Kependidikan Sekolah Menengah Program S1: Buku Ketentuan-Ketentuan Pokok Kurikulum Pendidikan   Prajabatan   Tenaga   Kependidikan   dan   Strategi Pengembangannya. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti Depdikbud. Ditjen   Pembinaan   Pers   dan   Grafika   Deppen   RI.   (Januari   1992). “Pengembangan Jaringan Informasi.” Makalah yang Disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II di Medan, 4-8 Februari 1992.

Emil Salim. 1990. “Pembekalan Kemampuan Intelektual untuk Menjinakkan Gelombang Globalisasi” (Hasil Wawancara). Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX. h. 8-13.

Faure, Edgar, et.al. 1981. Belajar untuk Hidup: Dunia Pendidikan Hari Kini dan Hari Esok. (Terjemahan/Edisi Bahasa Indonesia oleh PT Bhratara Karya Aksara). Jakarta: Unesco-Bhratara. (Buku Asli Tetbit 1972).

Fuad Hassan. 1986. “Mendekatkan Anak Didik Pada Lingkungan, Bukan Mengasingkannya” (Dialog). Prisma. No. 2 Tahun XV. h. 39-44.

Hameyer. Uwe.   1979. School Curriculum  in  the  Context of Lifelong Learning. Hamburg: UNESCO Institute for Education.

Howsam. R.B., Corrigan, D.C., Denemark, G.W., & Nash, R.J..  1976. Educating a Profession. Report of the Bicentennial Commission on Education for the Profession  of Teaching  of the American Association of Colleges for Teacher Education. Washington, D.C.: American Association of Calleges for Teacher Education.

Johnson., D.W., & Johnson, P.P. 1975. Joining Together, Group Theory and Group Skill. Englewood, N.J.: Pretice-Hall.

Ketetapan-Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat RI 1978. (1978). Surabaya: Bina Ilmu.
Koentjaraningrat.   1974. Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Bungarampai, Jakarta: Gramedia.

Depdikbud. Komunikasi Pendidikan. Program Akta Mengajar V-B Komponen Bidang Studi Teknologi Pengajaran. Buku Modul 22-DIK. (1982/ 1983), Jakarta: Proyek PIPT, Ditjen Dikti Depdikbud.

Makagiansar, Makaminan. 1990. “Dimensi dan Tantangan Pendidikan dalam Era Globalisasi.” (Hasil Wawancara). Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX. h. 5-7.

Buchori, Mochtar. 1990. “Menyongsong Globalisasi: Dibutuhkan Loncatan Konseptual dan Kepemimpinan Intelektual.” (Hasil wawancara). Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX. h. 17-23.

Ansyar, Mohd. 1992. “Proses Pendidikan Guru dalam Arus Perubahan.” Makalah yang disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II di Medan, 4-8 Februari 1992.

Mouly, G.J.. 1963. “Perkembangan Ilmu.” Dalam Jujun S. Suriasumantri (Ed.) (1978). Ilmu dalam Perspektif (h. 87-98), Jakarta: Gramedia.

Notosusanto, Nugroho. 1984. Menegaskan Wawasan Almamater. Jakarta: Ul-Press.

Sudarsono,   Pratiwi. 1990. “Globalisasi sebagai Peluang untuk Mengembangkan Diri.” (Hasil wawancara). Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX. h. 14-16.

Profesionalisasi Jabatan Guru. Program Akta Mengajar V-B Komponen Bidang Studi Teknologi Pengajaran, Buku II Modul No. 41B-DIK. (1983), Jakarta: Proyek PIPT Ditjen Dikti Depdikbud.

Raka Joni, T. 1984. Penelitian Pengembangan dalam Pembaruan Pendidikan. Jakarta: P2LPTK Ditjen Depdikbud.

—————. 1983. Cara Belajar Siswa Aktif, Wawasan Kependidikan, dan Pembaruan Pendidikan Guru (Pidato Pengukuhan). Malang: IKIP Malang.

—————. 1981. Pembinaan Staf Akademik Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan,   Permassalahan   dan   Pendekatan.   Jakarta:   P3G Depdikbud.

Refleksi: “Budaya Dunia”. 1990. Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX     h. 3-4.

Sajidiman.   1972. “Membangun Manusia Indonesia untuk Mencapai Masyarakat Pancasila.” Dalam Laporan Hasil-Hasil Pertemuan Diskusi Tjibulan V, 5-7 Mei 1972, di Tjibulan Bogor.
Hamijoyo, Santoso S. 1990. Lima Jurus Strategi Dasar Pendidikan Nasional dalam Era Globalisasi. Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX h. 30-35.

La Sulo, Sulo Lipu.  1992. “Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), Permasalahan. dan  Pengembangannya.”  Makalah   yang  disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II di Medan, 4-8 Februari  1992.

—————.  1990. Penelaahan Kurikulum Sekolah. Ujung Pandang: FIP IKIP Ujung Pandang.

Sekretariat Bersama. 1989. Pengembangan Pendidikan Pra-Jabatan Guru Sekolah Dasar. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti Depdikbud.

Dirdjosoemarto, Soedjojo. dan  Abdurachman.   1990.   Materi   Pokok Pendidikan IPA 2. Buku I Modul 7-12. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti Depdikbud.

Undang-Undang  tentang  Sistem  Pendidikan  Nasional  (UU  Rl  No.   2 Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika..











Senarai

Globalisasi                    Bumi sebagai kesatuan seakan akan tanpa tapal batas kenegaraan (global berarti utuh, kebulatan, menyeluruh).

Transparan                    Tembus pandang, jernih, terbuka sehingga dapat diamati oleh setiap orang.

Limpahan                      Merembes ke segala arah karena meluap atau terlalu penuh.
Empiris                         Pengalaman, sesuatu yang ditangkap oleh alat indra (indrawi).
Induktif                        Cara kerja (seperti berpikir) dari yang khusus (fakta, data) menuju ke yang umum (generalisasi, kesimpulan).

Deduktif                       Cara kerja (seperti berpikir) dari yang umum (teori, prinsip) menuju ke yang khusus (contoh sehari-hari).
Sistematik                     Runtun, teratur, menurut aturan tertentu (sistematis).
Sistemik                        Secara sistem, menurut sistem (keseluruhan dari bagian yang terkait secara fungsional).

Antisipasi                      Upaya/gerakan untuk menyongsong sesuatu yang akan terjadi.

Dampak instruksional   Dampak yang secara sengaja diraneang terjadi dalam pengajaran untuk mencapai tujuan (in­structional effect).
Dampak pengiring        Dampak yang ikut terjadi sebagai akibat kegiatan tertentu (nurturant effect).
Internalisasi                  Proses menjadi internal (di dalam), penghayatan.
Taksonomi                    Pengelompokan berdasarkan jenis dan atau jenjang, seperti taksonomi tujuan pendidikan.
Sisdiknas                      Sistem pendidikan nasional, sistem pendidikan yang diatur dalam UU RI No. 2 tahun  1989.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar