BAB 1
HAKEKAT MANUSIA DAN PENGEMBANGANNYA
Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan
bermaksud Rasional, membantu peserta didik untuk menumbuh kembangkan potensi-potensi
kemanusiaannya. Potensi kemanusiaan merupakan benih kemungkinan untuk menjadi manusia.
Ibarat biji mangga bagaimanapun wujudnya jika ditanam dengan baik, pasti
menjadi pohon mangga dan bukannya menjadi pohon jambu.
Tugas mendidik hanya mungkin dilakukan dengan
benar dan tepat, jika pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang siapa manusia
itu sebenarnya memiliki ciri khas yang secara prinsipil berbeda dari hewan.
Ciri khas manusia yang membedakannya dari hewan terbentuk dari kumpulan terpadu
(integrated) dan apa yang disebut sifat hakekat manusia. Disebut sifat hakekat
manusia karena secara hakiki sifat tersebut hanya dimiliki oleh manusia dan
tidak terdapat pada hewan. Pemahaman pendidik terhadap sifat hakekat manusia
akan membentuk peta tentang karakteristik manusia. Peta ini akan menjadi
landasan serta memberikan acuan baginya dalam bersikap. menyusun strategi,
metoda dan teknik memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan
melaksanakan komunikasi transaksional didalam interaksi edukatif. Dengan kata
lain, dengan menggunakan peta tersebut sebagai acuan seorang pendidik tidak mudah
terkecoh ke dalam bentuk-bentuk transaksional yang patologis yang berakibat
merugikan subyek didik.
Analisa kedua mengapa gambaran yang benar dan
jelas tentang manusia itu perlu dimiliki oleh pendidik adalah karena adanya
perkembangan sains dan teknologi yang sangat pesat dewasa ini dan lebih-lebih
pada masa mendatang. Memang banyak manfaat yang dapat diraih bagi kehidupan
manusia daripadanya. Namun, disisi lain tidak dapat dielakkan akan adanya
dampak negatif, yang terkadang tanpa disadari sangat merugikan bahkan mungkin
mengancam keutuhan eksistensi manusia, seperti ditemukannya bom kimia dan
bakteri, video dan DBS (Direct Broadcasting System), rekayasa genetika dan lain-lain,
yang digunakan secara tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu adalah sangat strategis
jika pembahasan tentang hakekat manusia ditempatkan pada bagian pertama dari
seluruh pengkajian tentang pendidikan dengan harapan menjadi titik tolak bagi
paparan selanjutnya.
.
A. Sifat Hakekat Manusia
Sifat hakekat manusia
menjadi bidang kajian filsafat, khususnya filsafat antropologi. Hal ini menjadi
keharusan oleh karena pendidikan bukanlah sekedar soal praktek melainkan
praktek yang berlandasan dan bertujuan. Sedangkan landasan dan tujuan
pendidikan itu sendiri sifatnya filosofis normatif. Besifat filosofis karena
untuk mendapatkan landasan yang kokoh diperlukan adanya kajian yang bersifat
mendasar sistematis dan universal tentang ciri yang hakiki dari manusia
Karena pendidikan mempunyai
tugas untuk menumbuh kembangkan sifat hakekat manusia tersebut sebagai sesuatu
yang bernilai luhur, dan hal itu menjadi keharusan. Uraian selanjutnya akan membahas
pengertian sifat hakekat manusia dan wujud sifat hakekat manusia.
- Pengertian sifat hakekat manusia
Sifat
hakekat manusia diartikan sebagai ciri-ciri yang karakteristik, yang secara
prinsipal (jadi bukan hanya gradual) membedakan manusia dan hewan. Meskipun
antara manusia dengan hewan banyak kemiripan terutama jika dilihat dari segi
biologisnya.
Bentuknya
(misalnya orang hutan) bertulang belakang seperti manusia, berjalan tegak
dengan menggunakan kedua kakinya, melahirkan dan menyusui anaknya, pemakan
segala dan ada persamaan metabolisme dengan manusia. Bahkan beberapa filsuf seperti
Socrates menamakan manusia itu (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller
menggambarkan manusia sebagai Das Kranke tier (hewan yang sakit) (Drijarkara,
1962: 138) yang selalu gelisah dan bermasalah.
Kenyataan
dan pernyataan demikian ini dapat menimbulkan kesan yang keliru, misalnya
mengira bahwa hewan dan manusia itu hanya berbeda secara gradual, yaitu suatu
perbedaan yang dengan melalui rekayasa dapat dibuat menjadi sama keadaannya
dengan air karena perubahan temperatur lalu menjadi es batu. Seolah-olah dengan kemahiran rekayasa pendidikan
orang utan dapat dijadikan manusia. Upaya manusia untuk mendapatkan keterangan
bahwa hewan tidak identik dengan manusia telah ditemukan. Charles Darwin
(dengan teori evolusinya) telah berjuang untuk menemukan bahwa manusia berasal
dari primata atau kera, tetapi ternyata gagal. Ada misteri yang dianggap
menjembatani pro perubahan dari primata ke manusia yang tidak sanggup
diungkapkan yang disebut The Missing Link
yaitu suatu mata rantai yang putus. Jelasnya tidak ditemukan bukti-bukti
yang menunjukkan bahwa manusia muncul sebagai bentuk ubah dan primata atau kera
melaiui proses evolusi.
- Wujud Sifat Hakekat Manusia
Pada bagian ini
akan dipaparkan wujud sifat hakekat manusia (yang tidak dimiliki oleh hewan)
yang dikemukakan oleh faham eksistensialisme, dengan maksud menjadi masukan
dalam membenahi konsep pendidikan yaitu :
a.
Kemampuan menyadari diri
b.
Kemampuan bereksistensi
c.
Pemilikan kata hati
d.
Moral
e.
Kemampuan Tanggungjawab
f.
Rasa kebebasan (kemerdekaan)
g. Kesediaan melaksanakan kewajiban dan menyadari
hak
h.
Kemampuan menghayati kebahagiaan
Butir-butir tersebut akan
dikemukakan pada uraian dibawah ini.
a.
Kemampuan menyadari diri
Kaum Rasionalis menunjuk kunci perbedaan manusia dengan hewan pada
adanya kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia. Berkat adanya
kemampuan menyadari diri yang dimiliki oleh manusia itu, maka manusia menyadari
bahwa dirinya (akunya) memiliki ciri khas atau karakteristik diri. Hal ini
menyebabkan manusia dapat membedakan lahirnya dengan Aku-Aku yang lain (ia,
mereka) dan dengan non Aku (lingkungan fisik) di sekitarnya. Bahkan bukan hanya
itu manusia dapat membuat jarak (distansi) dengan lingkungan yang baik yang
berupa pribadi maupun non pribadi/ benda. Orang lain merupakan pribadi-pribadi
di sekitar, adapun pohon, batu, cuaca dll merupakan lingkungan non pribadi.
Kemampuan membuat jarak
dengan lingkungannya berarah ganda yaitu arah ke luar dan ke dalam.
Dengan arah ke luar, Aku memandang
dan menjadikan lingkungan itu sebagai obyek dan Aku memanipulasi untuk memenuhi
kebutuhan Aku. Puncak aktivitas mengarah ke luar ini keluar sebagai gejala
egoisme. Dengan arah ke dalam, Aku memberi status kepada Iingkungan (dalam hal
ini Kamu, Dia, Mereka), sebagai subyek yang berhadapan dengan Aku sebagai obyek,
yang isinya adalah pengabdian, pengorbanan, tenggang rasa dan seterusnya.
Dengan kata lain Aku keluar dan dirinya dan menempatkan Aku pada diri orang
lain. Gejala ini lazimnya dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang
terpuji. Di dalam proses pendidikan, kecenderungan dua arah tersebut perlu
dikembangkan secara berimbang. Pengembangan arah luar merupakan pembinaan aspek
sosialitas, sedangkan pengembangan arah ke dalam berarti peimbinaan aspek
individualitas manusia. Yang Iebih istimewa ialah bahwa menusia dikaruniai
kemampuan untuk membuat jarak (distansi) diri akunya sendiri. Sungguh merupakan
suatu anugerah yang luar biasa, yang menempatkan posisi manusia itu sebagai
makhluk yang memiliki potensi untuk menyempurnakan diri. Aku seolah-olah keluar
dari dirinya dengan berperan sebagai subyek kemudian memandang dirinya sendiri
sebagai obyek. Untuk melihat
kelebihan-kelebihan yang dimiliki serta kekurangan-kekurangan yang terdapat
pada dirinya. Pada saat demikian seorang Aku dapat berperan ganda (sebagai
subyek dan sekaligus sebagai obyek), suatu aktivitas yang tidak mudah untuk
dilakukan. Bukankah pada suatu ketika manusia dapat berperan sebagai polisi,
hakim, pendidik atas dirinya sebagai pesakitan, terdakwa, siterdidik. Lazim
dikatakan bahwa peran yang paling besar ialah menghadapi musuh yang ada didalam
diri sendiri. Inilah
manifestasi dan puncak karakteristik manusia yang menjadikannya lebih unggul
dari hewan. Drijarkara (Drijarkara:
138) menyebut kemampuan tersebut dengan istilah “mengAku”, yaitu kemampuan
mengeksplorasi potensi-potensi yang ada pada aku, dan memahami potensi-potensi tersebut
sebagai kekuatan yang dapat dikembangkan sehingga Aku dapat berkembang ke arah
kesempurnaan diri. Kenyataan seperti di gambarkan itu mempunyai implikasi Paedagogis, yaitu keharusan pendidikan
untuk menumbuh kembangkan kemampuan meng-Aku pada peserta didik. Dengan kata lain pendidikan diri sendiri
yang oleh Langeveld disebut self
forming perlu mendapat perhatian.
b.
Kemampuan Bereksistensi
Dengan keluar dari dirinya, dan dengan membuat jarak antara Aku dengan
obyek, lalu melihat obyek itu sebagai sesuatu yang ada disana, berarti manusia
itu dapat menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu
dirinya. Kemampuan menerobos ini
bukan saja dalam kaitannya dengan soal ruang, melainkan juga dengan Waktu. Dengan demikian manusia tidak
terbelenggu oleh tempat atau ruang ini (di sini) dan waktu ini (sekarang), tapi
dapat menembus ke “sana” dan ke “masa depan” ataupun “masa lampau”. Kemampuan
menempatkan diri dan menerobos inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena manusia
memiliki kemampuan bereksistensi inilah maka pada manusia terdapat unsur
kebebasan. Dengan kata lain, adanya manusia bukan “ber-ada” seperti hewan dan
tumbuh-tumbuhan, melainkan “meng-ada” dimuka bumi (Drijarkara, 1962 : 61-63).
Jika seandainya pada diri manusia itu tidak terdapat kebebasan, maka manusia
itu tidak lebih hanya sekedar “esensi” belaka, artinya ada hanya sekedar “ber-ada”
dan tidak pernah meng ”ada” atau “ber-eksistensi”. Adanya kemampuan
bereksistensi inilah pula yang membedakan manusia sebagai makhluk human dari
hewan selaku makhluk infra human, di mana hewan menjadi onderdil dari
lingkungan, sedangkan manusia menjadi manager terhadap lingkungannya.
c.
Kata Hati (Geweten Consciance of man)
Kata Hati atau (conscience) of man
juga sering disebut sebagai istilah hati nurani, lubuk hati, suara hati, pelita
hati dsb. Conscience adalah pengertian yang ikut serta atau pengertian yang
mengikut perbuatan.
Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan sedang dan yang telah dibuatnya , bahkan mengerti juga akibatnya (baik
atau buruk) bagi manusia sebagai manusia.)
Dengan sebutan pelita hati atau hati nurani menunjukkan bahwa kata hati
itu adalah kemampuan pada diri manusia yang memberi penerangan tentang baik
buruknya perbuatannya sebagai manusia.
d.
Moral
Jika kata hati diartikan sebagai bentuk pengertian yang menyertai
perbuatan maka yang dimaksud dengan moral (yang sering juga disebut etika)
adalah perbuatan itu sendiri.
Disini tampak bahwa masih ada jarak antara kata hati dengan moral. Artinya
seseorang yang telah memiliki kata hati yang tajam belum otomatis perbuatannya
merupakan realisasi dari kata hatinya. Untuk menjembatani jarak yang
mengantarai keduanya masih aspek yang diperlukan yaitu kemauan. Bukankah banyak
orang yang memiliki kecerdasan akal tetapi tidak memiliki moral (keberanian
berbuat). Itulah sebabnya pendidikan
moral sering disebut pendidikan kemauan, yang oleh Langeveld dinamakan De oveodaling om zichzelfs wil.
e. Tanggungjawab
Kesediaan untuk menanggung
segenap akibat dari perbuatan yang menuntut tanggungjawab, merupakan pertanda
dari sifat orang yang bertanggungjawab. Wujud bertanggungjawab bermacam-macam.
Ada tanggungjawab kepada diri sendiri, tanggungjawab kepada masyarakat, dan ada
tanggungjawab kepada Tuhan. Tanggungjawab kepada diri sendiri berarti
menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam.
Bertanggungjawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma-norma
sosial. Bentuk tuntutannya berupa sanksi-sanksi sosial seperti cemoohan
masyarakat, hukuman dll. Bertanggungjawab kepada Tuhan berarti menanggung
tuntutan norma-norma agama, misalnya perasaan berdosa, terkutuk.
Di sini tampak betapa
eratnya hubungan antara kata hati, moral dan tanggung jawab. Kata hati memberi
pedoman, moral melakukan dan tanggungjawab merupakan kesediaan menerima
konsekuensi dari perbuatan.
Eratnya hubungan antara ketiganya itu juga terlihat
dalam hal bahwa kadar kesediaan bertanggungjawab itu tinggi apabila perbuatan
dengan kata hati (yang dimaksud kata hati yang tajam). ltulah sebabnya orang
yang melakukan sesuatu karena paksaan (bertentangan dengan kata hati) sering
tidak bersedia untuk memikul tanggungjawab atas akibat dari apa yang telah
dilakukannya.
Dengan demikian, tanggung
jawab dapat diartikan sebagai keberanian untuk menentukan bahwa sesuatu
perbuatan sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, dan bahwa hanya karena itu
perbuatan tersebut dilakukan, sehingga sanksi apapun yang dituntutkan (oleh
kata hati, oleh masyarakat) oleh norma-norma agama), diterima dengan penuh
kesadaran dan kerelaan. Dari uraian di atas menjadi jelas betapa pentingnya
pendidikan moral bagi peserta didik baik sebagai pribadi maupun sebagai anggota
masyarakat.
f. Rasa kebebasan
Merdeka adalah rasa bebas
(tidak merasa terikat oleh sesuatu) tetapi yang sesuai dengan tuntutan kodrat
manusia. Dalam pernyataan tersebut ada dua hal yang kelihatannya saling
bertentangan yaitu “rasa bebas” dan “sesuai dengan tuntutan kodrat manusia”
yang berarti ada ikatan.
Kemerdekaan dalam arti yang
sebenarnya memang berlangsung dalam keterikatan. Artinya, bebas berbuat
sepanjang tidak bertentangan dengan tuntutan kodrat manusia. Orang hanya
mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah
menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya. Dengan kata lain,
ikatan luar (yang membelenggu) telah berubah menjadi ikatan dalam (yang
menggerakkan). Pernyataan di atas menunjukkan bahwa merdeka tidak sama dengan
berbuat bebas tanpa ikatan. Perbuatan bebas membabi buta tanpa memperhatikan
petunjuk kata hati, sebenarnya hanya merupakan kebebasan semu. Sebab hanya
kelihatannya bebas, tetapi sebenarnya justru tidak bebas, karena perbuatan
seperti itu segera disusul dengan sanksi-sanksinya, dengan kata lain kebebasan
demikian segera akan diburu oleh ikatan-ikatan yang berupa sanksi-sanksi yang
justru mengundang kegelisahan. Itulah sebabnya seorang pembunuh yang habis
membunuh (perbuatan bebas tanpa ikatan) biasanya berupaya mati-matian
menyembunyikan diri (rasa tidak merdeka). Disini bahwa kemerdekaan erat
berkaitan dengan kata hati dan moral. Seseorang mengalami rasa merdeka apabila
segenap perbuatannya (moralnya) sesuai dengan apa yang dikatakan oleh kata
hatinya yaitu kata hati yang sesuai dengan tuntutan kodrat manusia, karena
perbuatan seperti itu tidak sulit atau siap sedia untuk dipertanggungjawabkan,
dan tidak akan sedikit pun menimbulkan kekhawatiran (rasa ketidak merdekaan).
Implikasi paedagogisnya adalah sama dengan pendidikan moral yaitu mengusahakan
agar peserta didik dibiasakan menginternalisasikan nilai-nilai, aturan-aturan
kedalam dirinya, sehingga dirasakan sebagai miliknya. Dengan demikian aturan-aturan
itu tidak lagi dirasakan sebagai sesuatu yang merintangi gerak hidupnya.
g. Kewajiban dan hak
Kewajiban dan hak adalah dua
macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk
sosial. Yang satu ada hanya oleh karena adanya yang lain. Tak ada hak tanpa
kewajiban. Jika seseorang mempunyai hak untuk menuntut sesuatu maka tentu ada
pihak lain yang berkewajiban untuk memenuhi hak tersebut (yang pada saat itu
belum di penuhi). Sebaliknya kewajiban ada oleh karena ada pihak lain yang
harus dipenuhi haknya. Pada dasamya, hak itu adalah sesuatu yang masih kosong.
artinya meskipun hak tentang sesuatu itu ada, belum tentu seseorang
mengetahuinya (misalnya hak memperoleh perlindungan hukum). Dan meskipun sudah
diketahui, belum tentu orang mau mempergunakannya (misalnya hak cuti tahunan).
Namun terlepas dan persoalan apakah hak itu diketahui atau tidak, digunakan
atau tidak, dibalik itu tetap ada pihak yag berkewajiban untuk bersiap sedia
memenuhinya.
Dalam reliatas hidup sehari-hari,
umumnya hak diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban
dipandang sebagai suatu beban. Benarkah kewajiban menjadi beban manusia?
Ternyata bukan beban melainkan suatu keniscayaaan (Drijarkara, 1978: 24- 27).
Artinya. Selama seseorang menyebut dirinya manusia, dan mau dipandang sebagai
manusia, maka wajib itu menjadi keniscayaan baginya. Sebab jika mengelakkannya maka ia berarti
mengingkari kemanusiaannya (yaitu sebagai kenyataan makhluk sosial). Karena itu
seseorang semakin menyatu dengan kewajiban, nilai dan martabat kemanusiaannya
semakin tinggi di mata masyarakat. Dengan kata lain melaksanakan “kewajiban”
itu adalah suatu keluhuran. Alangkah luhurnya seorang guru yang melaksanakan
kewajiban sebaik baiknya sebagai guru (tanpa pamrih). Seorang prajurit yang
melaksanakan tugas (kewajiban) sepenuhnya di medan perang adalah suatu
perbuatan yang luhur. Adanya keluhuran dari melaksanakan kewajiban itu menjadi
Iebih jelas lagi apabila dipertentangkan dengan situasi yang sebaliknya, yaitu
mengingkari janji, melalaikan tugas, mengambil hak orang lain dan sejenisnya.
Melaksanakan kewajiban berarti terikat kepada
kewajiban, tetapi anehnya-yang sesungguhnya bukan keanehan, manusia memilihnya.
Mengapa ? Sebabnya adalah karena melaksanakan kewajiban berarti meluhurkan diri
sebagai manusia. Atau merasa
baru manusia bila mentaati kewajiban. Dengan demikian baru merasa lega, bebas
atau merdeka.
Dilihat dan segi ini, wajib
bukanlah “ikatan”, melainkan suatu keniscayaan. Karena wajib adalah
keniscayaan, maka terhadap apa yang diwajibkan manusia tidak merdeka. Mau atau tidak harus menerimanya. Tetapi terhadap
keniscayaan itu sendiri manusia bisa taat dan bisa juga melanggar. Ia merdeka
untuk memilihnya dengan konsekuensi jika taat akan meningkat martabatnya
sebagai manusia, dan jika melanggar akan merosot martabatnya sebagai manusia.
Sudah barang tentu realisasi hak dan kewajiban
dalam prakteknya bersifat relatif, disesuaikan dengan situasi dan kondisi.
Sebab tak ada kewajiban untuk melaksanakan hal yang mustahil (yang berada
diluar sikon dan kemampuan). Kita sama mengetahui misalnya bagaimana realisasi
hak asasi manusia atas pendidikan dan wajib belajar di negara-negara yang
sedang berkembang pada umumnya. Jadi meskipun setiap warga punya hak untuk
menikmati pendidikan, tetapi jika fasilitas pendidikan yang tersedia belum
memadai, maka orang harus menerima keadaan itu. Realisasinya sesuai dengan
sikon. Hak yang secara asasi dimiliki oleh setiap insan serta sesuai dengan
tuntutan kodrat manusia disebut hak asasi manusia.
Pemenuhan hak dan
pelaksanaan kewajiban bertalian erat dengan soal keadilan. Dalam hubungan ini
mungkin dapat dikatakan bahwa keadilan terwujud bila hak sejalan dengan
kewajiban. Karena pemenuhan hak dan pelaksanaan kewajiban dibatasi oleh situasi
dan kondisi, yang berarti tidak seluruh hak dapat terpenuhi dan tidak segenap
kewajiban dapat sepenuhnya dilakukan, maka hak asasi manusia harus diartikan
sebagai cita-cita, aspirasi-aspirasi atau harapan-harapan yang berfungsi untuk
memberi arah pada segenap usaha menciptakan keadilan.
Kemampuan menghayati
kewajiban sebagai keniscayaan tidaklah lahir dengan sendirinya, tetapi
bertumbuh melalui suatu proses. Usaha menumbuh kembangkan rasa wajib sehingga
dihayati sebagai suatu keniscayaan dapat ditempuh melalui pendidikan disiplin.
Jika ada orang tua yang beranggapan bahwa
pendidikan disiplin dan tanggung jawab belum sepantasnya diberikan kepada anak-anak
sejak masih balita adalah keliru. Benih-benih kedisiplinan dan rasa tanggung
jawab seharusnya sudah mulai ditumbuh kembangkan sejak dini, baik sejak anak
masih dalam keranjang ayunan, melalui latihan kebiasaan (habit forming)
khusunya mengenai hal-hal yang nantinya bersifat rutin dan dibutuhkan di dalam
kehidupan. Disiplin diri menurut Selo Soemarjan (Wawancara TVRI. Desember,
1990) meliputi empat aspek yaitu:
a.
Disiplin rasional, yang bila terjadi pelanggaran
menimbulkan rasa salah
b. Disiplin sosial, jika dilanggar
menimbulkan rasa maIu
c. Disiplin afektif, jika dilanggar
menimbulkan rasa gelisah
d.
Disiplin agama, jika terjadi pelanggaran menimbulkan
rasa berdosa
Keempat macam disiplin
tersebut perlu diTamankan pada peserta didik dengan disiplin agama sebagai
titik tumpu.
h. Kemampuan Menghayati Kebahagian
Kebahagiaan adalah suatu
istilah yang lahir dari kehidupan manusia. Penghayatan hidup yang disebut
“kebahagiaan” ini meskipun tidak mudah untuk dijabarkan tetapi tidak sulit
untuk dirasakan. Dapat diduga, bahwa hampir setiap orang pernah mengalami rasa
bahagia. Untuk menjabarkan arti istilah kebahagiaan sehingga cukup jelas
dipahami serta memuaskan semua pihak sesungguhnya tidak mudah. Ambillah misal
tentang sebutan: senang, gembira, bahagia dan sejumlah istilah lain yang mirip
dengan itu. Sebagian orang mungkin menganggap bahwa seseorang yang sedang
mengalami rasa senang atau gembira itulah sedang mengalami kebahagiaan.
Sebahagian lagi menganggap
bahwa rasa senang hanya merupakan aspek dari kebahagiaan, sebab kebahagiaan
sifatnya lebih permanen dari pada perasaan senang yang sifatnya lebih temporer.
Dengan kata lain, kebahagiaan lebih merupakan integrasi atau rentetan dan
sejumlah kesenangan. Malah mungkin ada yang lebih jauh lagi berpendapat bahwa
kebahagian tidak cukup digambarkan hanya sebagai himpunan dan pengalaman-pengalaman
yang menyenangkan saja, tetapi lebih dan itu, merupakan integrasi dan segenap
kesenangan, kegembiraan, kepuasaan dan lain-lain sejenisnya dengan pengalaman-pengalaman
pahit dan penderitaan. Proses integrasi dan kesemuanya itu (yang menyenangkan
maupun yang pahit) menghasilkan suatu bentuk penghayatan hidup yang disebut
“bahagia”.
|
Gambar 1.1a
Kebahagiaan sebagai hasil perpaduan dari pengalaman
yang menyenangkan (+) dengan yang
pahit (-) dan
antara proses dengan hasil.
Peliknya persoalan mungkin juga
disebabkan oleh karena kebahagian itu lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan.
Pada saat orang menghayati kebahagiaan aspek rasa lebih berperan dari pada
aspek nalar. Oleh karena itu dikatakan bahwa kebahagiaan itu sifatnya
irrasional. Padahal kebahagiaan yang tampaknya didominasi oleh perasaan itu
ternyata tidak demikian, karena aspek-aspek kepribadian yang lain seperti akal
pikiran juga ikut berperan.
Bukankah seseorang hanya mungkin
menghayati kebahagiaan jika ia mengerti tentang sesuatu yang menjadi obyek rasa
bahagia itu? Juga orang yang sedang terganggu pikiran atau tidak beres
kesadarannya tidak akan sanggup menghayati kebahagiaan. Di sini jelas bahwa
penghayatan terhadap kebahagiaan itu juga didukung oleh aspek nalar disamping
aspek rasa.
Kepelikan lain lagi yang mungkin
timbul ialah apabila kebahagiaan itu dipandang sebagai suatu kondisi atau
keadaan (yaitu kondisi emosi yang pasitif) disamping sebagai suatu proses. Di
muka telah dijelaskan bahwa kebahagiaan itu merupakan suatu intergrasi
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan dengan yang pahit antara perasaan dan
penalaran. Sekarang pengertian integrasi mencakup perpaduan proses dan
hasilnya, sehingga persoalan menjadi lebih pelik lagi.
Juga dengan predikat kelulusan yang baik, karena
mencapai IPK: 3,8). (kebahagiaan). Setelah itu dengan masa menunggu sekitar
setahun (penderitaan) dapat diterima pada sebuah perusahaan kimia dengan gaji
yang sangat menggembirakan (kebahagiaan). Setelah dua tahun dinas ia mendapat
kecelakaan (penderitaan), karena mukanya terkena uap kimia yang menjadikan ia
rusak mukanya dan kedua matanya buta (azab).
Sebuah kesimpulan yang dapat ditarik dari
apa yang telah dipaparkan tentang kebahagiaan ialah bahwa kebahagiaan itu
rupanya tidak terletak pada keadaannya sendiri secara faktual (lulus sebagai
sarjana, mendapat pekerjaan dan seterusnya) ataupun pada rangkaian prosesnya,
maupun pada perasaan yang diakibatkannya tetapi terletak pada kesanggupan
menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal
tersebut didalam rangkaian atau ikatan tiga hal yaitu: usaha, norma-norma dan
takdir.
Yang dimaksud dengan usaha adalah perjuangan
yang terus-menerus untuk mengatasi masalah hidup. Hidup dengan menghadapi
masalah itulah ialah hidup. Karena itu masalah hidup harus dihadapi. Masalah
hidup adalah sesuatu yang realistis, obyektif, bukan sesuatu yang dibuat-buat.
Orang mengalami kebahagiaan bila bersedia menyerah kepada obyektifitas (Drijarkara).
Kebahagiaan juga sesuatu yang realistis bukan dibuat-buat. Orang yang menderita
tidak dapat megatakan kepada orang lain bahwa ia bahagia, atau menunjukkan
sikap atau lagak seolah-olah bahagia.
Selanjutnya usaha tersebut harus bertumpu
pada norma-norma/kaidah-kaidah. Kebahagiaan adalah hidup yang tenteram. Hidup
tenteram terlaksana dalam hidup tanpa ada tekanan. Itulah hidup merdeka. Di
muka sudah dijelaskan bahwa merdeka dalam arti yang sebenarnya, bukan merdeka
dalam arti bebas liar tanpa kendali yang justru mengundang keonaran dan
akhirnya tekanan-tekanan. Seseorang akan hanya merasa merdeka dalam arti yang
sebenarnya bila olehnya tidak dirasakan adanya belenggu/ikatan-ikatan, paksaan-paksaan
dari aturan-aturan (norma-norma), yakni apabila ia telah menyatukan diri dengan
norma-norma kehidupan sehingga kehidupannya dan segenap sepak terjangnya
merupakan pancaran (personifikasi) dari norma-norma. Jadi kebahagiaan dicapai
dengan penyatuan diri dengan norma-norma (kaidah-kaidah hidup). Dilihat dan
segi ini tampak pula bahwa kebahagiaan yang sifatnya individual itu karena
derajat kebahagiaan sangat tergantung kepada orang seorang mengandung juga sisi
sosial, karena norma-normal kaidah-kaidah hidup selalu bersifat sosial.
Kemudian takdir merupakan rangkaian yang
tak terpisahkan dalam proses terjadinya kebahagiaan. Komponen takdir ini erat
bertalian dengan komponen usaha. Pepatah yang menyatakan “Manusia berusaha
Tuhan menyudahi”, harus diartikan bahwa istilah takdir baru boleh disebut
sesudah orang melaksanakan usaha sampai batas kemampuan, kemudian hasilnya-sepadan
atau tidak dengan yang diinginkan, diterima dengan pasrah serta penuh
kesyukuran. Kebahagiaan hanya dapat diraih oleh mereka yang mampu bersyukur.
Untuk itu kemampuan menghayati sangat diperlukan.
Akhirnya, dapat disimpulkan bahwa
kebahagiaan itu dapat diusahakan peningkatannya. Ada dua hal yang dapat
dikembangkan, yaitu: kemampuan berusaha dan kemampuan menghayati hasil usaha
dalam kaitannya dengan takdir. Dengan demikian pendidikan mempunyai peranan
penting sebagai wahana untuk mencapai kebahagiaan, utamanya pendidikan
keagamaan.
Gambar 1. 1b Kebahagiaan sebagai perpaduan dari
usaha, hasil/
takdir dan kesediaan menerimanya.
Manusia adalah makhluk yang serba
terhubung, dengan masyarakat, lingkungannya, dengan dirinya sendiri dan dengan
Tuhan. Beerling mengemukakan sinyalemen Heinemann bahwa pada abab 20 manusia
mengalami krisis total. Disebut demikian karena yang dilanda di sini hanya segi-segi
tertentu dari kehidupan seperti krisis ekonomi, krisis energi dan sebagainya,
melainkan yang krisis adalah manusianya sendiri (Berling, 195 1:43).
Dalam krisis total manusia mengalami
krisis hubungan dengan masyarakat, dengan lingkungannya dengan dirinya sendiri
dan dengan takdir, usaha. Tidak ada pengenalan dan pemahaman yang seksama terhadap
apa atau dengan siapa dia berhubungan. Tidak ada kemesraan hubungan dengan apa
atau siapa ia berhubungan. Inilah bencana yang melanda manusia sehingga manusia
semakin jauh dari kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat dicapai apabila manusia
meningkatkan kualitas hubungannya sebagai mahkluk yang memiliki kondisi serba
terhubung. Dengan diri sendiri memahami kelebihan dan kekurangan-
kekurangannya. Kelebihannya ditingkatkan, kekurangan diperbaiki. Dengan lingkungan
alam dapat memanfaatkan (mengeksploitasi) sembari peduli terhadap pelestarian
dan pengembangannya. Terhadap Tuhan memahami ajaran-Nya dan dapat
mengamalkannya (lihat Gambar 2).
Dalam hubungan ini pendidikan mempunyai
peranan penting sebagai wahana untuk menghantar peserta didik mencapai
kebahagiaan yaitu dengan jalan membantu mereka meningkatkan kualitas
hubungannya dengan dirinya, lingkungannya dan dengan Tuhannya.
Yang menghayati kebahagiaan adalah pribadi
manusia dengan segenap keadaan dan kemampuannya. Manusia menghayati kebahagiaan
apabila jiwanya bersih dan stabil. Jujur, bertanggungjawab, mempunyai pandangan
hidup dan keyakinan hidup yang kokoh dan bertekad untuk merealisasikan dengan
cara yang realistis demikian Max Scheler (Drijarkara,1978: 137-140)
HK : Hubungan Konsentris (memahami kelebihan dan
kekurangan diri)
HH1 : Hubungan Horisentral (perimbangan antara hak
dengan kewajiban)
HH2 : Hubungan Horisentral
(perimbangan antara mengeksploitasi dengan melestarikan)
HV : Hubungan Vertikal (pemahaman dan pengalaman
nilai agama)
Gambar 1.2 Manusia sebagai makhluk serba
terhubung
Disamping itu, kepribadian harus serasi
dan berimbang. Antara segenap aspek kepribadian terdapat perimbangan yang
selaras. Begitu juga antara kemampuan rohani dan jasmani, antara cipta dan rasa
dan dengan karsa, antara cita-cita dengan kemampuan mencapainya, antara
kemampuan berihktiar dengan kesediaan menerima hasilnya. Jiwa yang bersih
stabil dan kpribadian yang selaras membuka kemungkinan bagi terciptanya suasana
hidup dengan penuh kedamaian. Pendidikan dapat dimanipulasikan untuk
membina terbentuknya kepribadian yang demikian.
B.
Dimensi-dimensi Hakekat Manusia Potensi,
Keunikan dan Dinamika
Di dalam butir A telah
diuraikan sifat hakekat manusia. Pada bagian ini sifat hakekat tersebut akan
dibahas lagi dimensi-dimensinya atau dititik dan sisi lain. Ada 4 macam dimensi yang
akan di bahas yaitu :
1. Dimensi
Keindividualan
2. Dimensi
Kesosialan
3. Dimensi
Kesusilaan
4. Dimensi
Keberagamaan
- Dimensi Keindividualan
Lysen mengartikan individu sebagai “orang-seorang”,
sesuatu yang merupakan suatu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi (in devide).
Selanjutnya individu diartikan sebagai pribadi. (Lysen, Individu dan
Masyarakat: 4). Setiap anak manusia yang dilahirkan telah dikaruniai potensi
untuk menjadi berbeda dari yang lain, atau menjadi (seperti) dirinya sendiri.
Tidak ada diri individu yang identik dimuka bumi. Demikian kata M.J. Langeveld
(seorang pakar pendidikan yang tersohor di tanah Belanda) yang mengatakan bahwa
setiap orang memiliki individualitas (M.J.Langeveld, 1955: 54) Bahkan dua anak
kembar yang berasal dan satu telur pun, yang lazim dikatakan seperti pinang
dibelah dua, serupa dan sulit dibedakan satu dari yang lain, hanya serupa
tetapi tidak sama, apalagi identik. Hal ini berlaku baik pada sifat-sifat
fisiknya maupun hidup kejiwaannya (Kerohaniaannya). Dikatakan bahwa setiap
individu bersifat unik (tidak ada tara
dan bandingannya). Secara fisik mungkin bentuk muka sama tetapi terdapat
perbedaan mengenai matanya. Secara kerohaniaan mungkin kapasitas intelegensinya
sama tetapi kecenderungan dan perhatiannya terhadap sesuatu berbeda. Karena
adanya individualitas itu setiap orang memiliki kehendak, perasaan, cita-cita,
kecenderungan, semangat, daya tahan yang berbeda. Dalam hidup sehari-hari dua
orang murid sekelas yang mempunyai nama sama tidak pernah bersedia untuk
disamakan satu sama lain. Pendek kata, masing-masing ingin mempertahankan kekhasannya
sendiri. Gambaran tersebut telah dikemukakan oleh Francis Galton seorang ahli
biologi dan matematika dari Inggris dari hasil penelitiainya terhadap banyak
pasangan kembar satu telur. Ternyata
tidak sepasang pun yang identik.
Kecenderungan akan perbedaan ini sudah
mulai bertumbuh sejak seorang anak menolak ajakan ibunya pada masa kanak-kanak.
Perkembangan lebih lanjut menunjukkan bahwa setiap orang memiliki sikap dan
pilihan sendiri yang dipertanggungjawabkan sendiri, tanpa mengharapkan bantuan
dari orang lain untuk ikut mempertanggungjawabkan.
Kesanggupan untuk memikul tanggungjawab
sendiri merupakan ciri yang sangat esensial dari adanya individualitas pada
diri manusia. M.J. Langeveld menyatakan bahwa setiap anak memiliki dorongan
untuk mandiri yang sangat kuat, meskipun di sisi lain pada anak terdapat rasa
tidak berdaya, sehingga memerlukan pihak lain (pendidik) yang dapat dijadikan
tempat bergantung untuk memberi penlindungan dan bimbingan. Sifat-sifat
sebagaimana digambarkan di atas yang secara potensial telah dimiliki sejak
lahir perlu ditumbuh kembangkan melalui pendidikan agar bisa menjadi kenyataan.
Sebab tanpa dibina melalui pendidikan, benih-benih individualitas yang sangat
berharga itu yang memungkinkan terbentuknya suatu kepribadian yang unik akan
tetap tinggal laten. Dengan kata lain kepribadian sescorang tidak akan
terbentuk dengan semestinya sehingga seseorang tidak memiliki warna kepribadian
yang khas sebagai miliknya. Jika terjadi hal yang demikian, seseorang tidak
memiliki kepribadian yang otonom dan orang seperti ini akan tidak memiliki
pendirian serta mudah dibawa oleh arus masa. Padahal fungsi utama pendidikan
adalah membantu peserta didik untuk membentuk kepribadiannya, atau menemukan
kediriannya sendiri. Pola pendidikan yang bersifat demokratis dipandang cocok
untuk mendorong bertumbuh dan berkembangnya potensi individualitas sebagaimana
dimaksud. Pola pendidikan yang menghambat perkembangan individualitas (misalnya
yang bersifat otoriter) dalam hubungan judul disebut pendidikan yang patologis.
Dalam pengembangan individualitas melalui pendidikan tidak dibenarkan jika
pendidik memaksakan keinginannya kepada subyek didik. Tugas pendidik hanya
menunjukkan jalan dan mendorong subyek didik bagaimana cara memperoleh sesuatu
dalam mengembangkan diri dengan berpedoman pada pinsip “ing ngarso sungtulodo,
ing madya mangun karso, tut wuri handayani”.
- Dimensi Kesosialan
Setiap bayi yang lahir dikaruniai potensi
sosialitas. Demikian kata M.J.
Langeveld (M.J. Langeveld, 1955: 54) pernyataan tersebut diartikan bahwa setiap
anak dikaruniai benih kemungkinan untuk bergaul. Artinya, setiap orang dapat
saling berkomunikasi yang ada hakekatnya didalamnya terkandung unsur saling
memberi dan menerima. Bahkan menurut Langeveld, adanya kesediaan untuk saling
memberi dan menerima itu dipandang sebagai kunci sukses pergaulan. Adanya
dorongan untuk menerima dan memberi itu sudah menggejala mulai pada masa bayi.
Seorang bayi sudah dapat menyambut atau menerima belaian ibunya dengan rasa
senang. Kemudian sebagai balasan ia dapat memberikan senyuman kepada
lingkungannya, khususnya pada ibunya. Kelak jika sudah dewasa, dan menduduki
status atau pekerjaan tertentu, dorongan menerima dan memberi itu berubah
menjadi kesadaran akan hak yang harus diterima dan kewajiban yang harus
dilaksanakan untuk kepentingan pihak lain sebagai realisasi dari memberi.
Adanya dimensi kesosialan pada diri
manusia tampak lebih jelas pada dorongan untuk bergaul. Dengan adanya dorongan
untuk bergaul, setiap orang ingin bertemu dengan sesamanya. Betapa kuatnya
dorongan tersebut sehingga dipenjarakan merupakan hukuman yang paling berat
dirasakan oleh manusia, karena dengan diasingkan dalam penjara berarti
diputuskannya dorongan bergaul tersebut secara mutlak. Masih banyak contoh-contoh
lain yang menunjukkan betapa dorongan sosialitas tersebut demikian kuat. Tanpa orang
menyadari sebenarnya ada alasan yang cukup kuat. Bukankah tidak ada orang yang
dapat hidup tanpa bantuan orang lain? Kenyataan ini tidak hanya berlaku pada
bayi yang belum berdaya. Bantuan dari orang lain itu tetap diperlukan pada masa
anak, remaja, setelah dewasa bahkan sampai kepada sisa-sisa usia dalam
kehidupan seseorang. Immanuel Kant seorang filosof tersohor bangsa Jerman
menyatakan manusia hanya menjadi manusia jika berada diantara manusia. Kiranya
tidak usah dipersoalkan bahwa tidak ada seorang manusia yang dapat hidup
seorang diri lengkap dengan sifat hakekat kemanusiaannya ditempat terasing yang
terisolir. Mengapa demikian? Sebabnya, orang hanya dapat mengembangkan
individualitasnya di dalam pergaulan sosial. Seorang dapat mengembangkan kegemarannya,
sikapnya, cita-citanya didalam interaksi dengan sesamanya. Seseorang
berkesempatan untuk belajar dari orang lain, mengidentifikasi sifat-sifat yang
dikagumi dan orang lain untuk dimilikinya, serta menolak sifat-sifat yang tidak
dicocokinya. Hanya di dalam berinteraksi dengan sesamanya, dalam saling
menerima dan memberi seseorang menyadari dan menghayati kemanusiaaimya. Banyak
bukti yang menunjukkan bahwa anak manusia tidak akan menjadi manusia bila tidak
berada diantara manusia, antara lain cerita tentang manusia terpencil yaitu
anak yang diketemukan oleh seorang pendeta bangsa India yaitu Mr. Singh dalam
sebuah gua, waktu ia sedang berburu. Yang besar berumur 8 tahun dan yang kecil
berumur 1 ½ tahun. Yang kecil (Amala) segera meninggal, tetapi yang besar
(Kamala) mencapai usia 17 tahun. Anak tersebut pada waktu ditangkap
memperlihatkan segala tingkah laku seekor serigala (Mayor Polak, 1959: 21).
- Dimensi Kesusilaan
Susila berasal dan kata su + sila yang
artinya kepantasan yang lebih tinggi. Akan tetapi di dalam kehidupan
bermasyarakat orang tidak cukup hanya berbuat yang pantas jika di dalam yang
pantas atau sopan itu misalnya terkandung kejahatan terselubung. Karena itu
maka pengertian susila berkembang sehingga memiliki perluasan arti menjadi kebaikan
yang lebih. Dalam bahasa ilmiah sering digunakan dua macam istilah yang
mempunyai konotasi berbeda yaitu Etiket
(persoalan kepantasan dan kesopanan) dan Etika
(persoalan kebaikan). Kedua hal tersebut seperti telah disinggungaa butir A2d
terdahulu. Biasanya dikaitkan dengan persoalan hak dan kewajiban. Orang yang
berbuat jahat artinya melanggar hak orang lain dikatakan tidak beretika atau
tidak bermoral. Sedangkan tidak sopan diartikan sebagai tidak beretiket. Jika etika dilanggar maka ada orang lain yang
merasa dirugikan, sedangkan pelanggaran etiket hanya mengakibatkan
ketidaksenangan orang lain.
Sehubungan dengan hal tersebut ada dua
pendapat yaitu :
a. Golongan yang menganggap bahwa kesusilaan
mencakup kedua-duanya. Etiket tidak usah dibedakan dari etika karena sama-sama
dibutuhkan dalam kehidupan.
b. Golongan yang memandang bahwa etiket perlu
dibedakan dari etika, karena masing-masing mengandung kondisi yang tidak
selamanya selalu sejalan. Orang yang sopan belum tentu baik, dalam arti tidak
merugikan orang lain. Sebaliknya orang yang baik belum tentu halus dalam hal
kesopanan. Kesopanan menjadi minyak pelicin dalam pergaulan hidup sedang etika
merupakan isinya. Kesopanan dan kebaikan masing-masing diperlukan demi
keberhasilan hidup dalam masyarakat.
Didalam uraian ini kesusilaan diartikan
mencakup etika dan etiket, Persoalan kesusilaan selalu
berhubungan erat dengan nilai-nilai. Pada hakekatnya manusia memiliki kemampuan
untuk mengambil keputusan susila, serta melaksanakannya sehingga dikatakan
manusia itu adalah makhluk susila. Drijarkara mengartikan manusia susila
sebagai manusia yang memiliki nilai-nilai, menghayati dan melaksanakan nilai-nilai
tersebut dalam perbuatan. (Drijarkara, 1978:36-39). Nilai-nilai merupakan
sesuatu yang dijunjung tinggi oleh manusia, karena mengandung makna kebaikan,
keluhuran, kemuliaan dan seterusnya, sehingga oleh karena itu Penjenja diyakini
dan dijadikan pedoman dalam hidup. Dilihat asalnya darimana nilai-nilai itu
diproduksi dibedakan atas tiga macam, yaitu : nilai otonom yang bersifat
individual (kebaikan menurut pendapat seseorang), nilai heteronom yang bersifat
kolektif (kebaikan menurut kelompok) dan nilai keagamaan yaitu niiai yang
berasal dan Tuhan. Tentu saja meskipun nilai otonom dan heteronom itu
diperlukan karena orang atau masyarakat hidup lekat dengan lingkungan tertentu
yang memiliki sikon berbeda-beda, namun keduanya harus bertumpu pada nilai
theonom. Karena yang terakhir ini merupakan sumber dari segenap nilai yang
lain. Tuhan adalah alpha dan omega (pemula dan tujuan akhir).
Selanjutnya dalam kehidupan ada dua hal
yang muncul dari persoalan nilai, yaitu kesadaran dan pemahaman terhadap nilai
dan kesanggupan melaksanakan nilai. Idealnya keduanya harus sinkron. Artinya
untuk dapat apa yang semestinya harus dilakukan, terlebih dahulu orang harus
mengetahui, menyadari dan memahami nilai-nilai. Dan apabila nilai sudah
dipahami semestinya dilakukan. Tetapi kenyataannya tidak selalu demikian. Dalam
praktek kehidupan sehari-hari banyak orang memahami nilai bahkan mungkin
mengetahui banyak hal, lagi memiliki wawasan keilmuan yang cukup luas, tetapi
ternçakurang atau tidak susila. Jadi tidak secara otomatis orang yang telah
memahami nilai pasti melaksanakannya. Kejadian seperti itu sangat wajar, karena
memahami adalah kemampuan penalaran (kognitif), sedangkan bersedia melaksanakan
adalah sikap (kemampuan afektif), yang masing-masing memiliki kondisi yang
berbeda. Antara keduanya terdapat jarak yang perlu dijembatani. Masih terdapat
beberapa titik yang harus dikerjakan. Dan memahami perlu meyakini, untuk berikutnya
menuju ke penginternalisasian (penyatu ragaan) nilai-nilai kemudian kemauan
atau kesediaan untuk melaksanakan nilai-nilai baru sampai kepada melakukannya.
Jangankan antara memahami dan melaksanakan yang
rentangannya begitu jauh, antara niat (kesediaan untuk melaksanakan) dengan
perbuatan (melaksanakan) yang rentangannya begitu dekat saja masih sering
terjadi kesenjangan. Sering niat baik sudah menggebu-gebu tetapi tidak sampai
berkelanjutan pada perbuatan. Lazimnya penilaian masyarakat terhadap kualitas
kesusilaan seseorang tertuju kepada apa yang dibuatnya dan tidak semata-mata
pada apa yang diniatkannya, sehingga niat buruk yang belum terlakukan (jika
diketahui) sering masih dimaafkan.
Berdasarkan uraian di atas maka pendidikan
kesusilaan meliputi rentangan yang luas penggarapannya mulai dari ranah
kognitif yaitu dari mengetahui sampai kepada menginternalisasi nilai, sampai
kepada ranah afektif dari meyakini, meniati sampai kepada siap sedia untuk
melakukan. Meskipun demikian, tekanannya seharusnya diletakkan pada ranah
afektif. Konsekuensinya adalah sering memakan waktu panjang dalam
pemrosesannya, berkesinambungan dan memerlukan kesabaran serta ketekunan dari
pihak pendidik. Di muka telah disinggung bahwa kesusilaan bertalian erat dengan
kesadaran akan kewajiban dan hak. Adanya perimbangan yang laras antara
melaksanakan kewajiban dengan tuntutan terhadap hak (to give and to take) di
dalam kehidupan menggambarkan kesusilaan yang sehat.
Di dalam dunia pendidikan yang intinya
adalah pelayanan, berlaku hukum “saya akan memberikan lebih dari pada yang saya
terima”.
Implikasi paedagogisnya ialah bahwa
pendidikan kesusilaan berarti menanamkan kesadaran dan kesediaan melakukan
kewajiban disamping hak pada peserta didik. Pada masyarakat kita pemahaman
terhadap hak (secara obyektif rasionil) masih perlu diTamankan tanpa
mengabaikan kesadaran dan kesediaan melaksanakan kewajiban. Hal ini penting,
sebab kepincangan antara keduanya bagaimanapun juga akan mengganggu suasana
hidup yang sehat.
- Dimensi keberagaman
Pada
hakekatnya manusia adaiah makhluk religius. Sejak dahulu kala, sebelum manusia
mengenal agama mereka telah percaya bahwa diluar alam yang dapat dijangkau
dengan perantaraan alat inderanya diyakini akan adanya kekuatan supranatural
yang menguasai hidup di alam semesta ini. Untuk dapat berkomunikasi dan
mendekatkan diri kepada kekuatan tersebut diciptakanlah mitos-mitos. Untuk
meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan bermacam-macam
upacara, menyediakan sesajen-sesajen dan memberikan korban-korban. Sikap dan
kebiasaan yang membudaya pada nenek moyang kita seperti itu dapat dipandang
sebagai embrio dari kehidupan manusia dalam beragama.
Kemudian setelah ada agama maka manusia
mulai menganutnya. Beragama merupakan kebutuhan manusia, karena manusia adalah
makhluk yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan
agama demi untuk keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi
sandaran vertikal manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses
pendidikan agama. Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya
menjadi tugas orang tua dalam lingkungan keluarga, karena pendidikan agama
adalah persoalan afektif dan kata hati. Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke hati. Terpancar
dari ketulusan dan kesungguhan hati orang tua dan menembus kata anak. Dalam hal ini orang tua lah yang paling
cocok sebagai pendidik, karena ada hubungan darah dengan anak. Pendidikan agama
yang diberikan secara massal kurang sesuai. (M.Thayeb, 1972: 14-15). Pendapat
Kohnstamm ini mengandung kebenaran dilihat dari segi kualitas hubungan antara
pendidik dengan peserta didik. Disamping itu juga penanaman sikap dan kebiasaan
dalam beragama dimulai sedini mungkin, meskipun masih terbatas pada latihan
kebiasaan (habit formation). Tetapi untuk pengembangan pengkajian lebih lanjut
tentunya tidak dapat diserahkan hanya kepada orang tua. Untuk itu pengkajian
agama secara massal dapat dimanfaatkan misalnya pendidikan agama di sekolah.
Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN
memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum di sekolah sekolah mulai dan SD
s/d PT. (Pelita V). Di sini perlu ditekankan bahwa meskipun pengkajian agama
melalui mata pelajaran agama ditingkatkan, namun tetap harus disadari bahwa tekanannya
adalah pendidikan agama dan bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya
memberikan pengetahuan tentang agama. Jadi segi-segi afektif harus diutamakan.
Disamping itu mengembangkan kerukunan
hidup diantara sesama umat beragama dan diantara sesama penganut kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa perlu mendapat perhatian GBHN, Hal.134 butir a.1).
kiranya tidak cukup jika pendidikan agama ditempuh hanya melalui pendidikan
Formal. Kegiatan di dalam Pendidikan Non Formal dan Informal banyak yang dapat
dimanfaatkan untuk keperluan tersebut.
C. Pengembangan Dimensi Hakekat Manusia
Seperti telah berulang kali dikatakan, sasaran pendidikan adalah
manusia sehingga dengan sendirinya pengembangan dimensi hakekat manusia menjadi
tugas pendidikan.
Manusia lahir telah dikaruniai dimensi hakekat manusia, tetapi masih
dalam wujud potensi, belum teraktualisasi menjadi wujud kenyataan atau
“aktualisasi”. Dari kondisi “potensi” menjadi wujud aktualisasi terdapat
rentangan proses yang mengundang pendidikan untuk berperan dalam memberikan
jasanya. Seorang yang dilahirkan dengan
bakat seni misalnya memerlukan pendidikan untuk diproses menjadi seniman
terkenal. Setiap manusia lahir dikaruniai “naluri” yaitu dorongan-dorongan yang
alami (dorongan makan, seks, mempertahankan diri dan lain-lain.). Jika
seandainya manusia dapat hidup hanya dengan naluri, maka tidak bedanya ia
dengan hewan. Hanya melalui pendidikan status hewani itu dapat diubah ke arah
status manusiawi. Meskipun pendidikan itu pada dasarnya baik, tetapi dalam
pelaksanaannya mungkin saja bisa terjadi kesalahan-kesalahan yang lazimnya
disebut salah didik. Hal demikian bisa terjadi karena pendidik itu adalah
manusia biasa, yang tidak luput dan kelemahan-kelemahan. Sehubungan dengan itu
ada dua kemungkinan yang bisa terjadi yaitu:
1. Pengembangan
yang utuh dan
2. Pengembangan
yang tidak utuh
1. Pengembangan
yang utuh
Tingkat
keutuhan perkembangan dimensi hakekat manusia ditentukan oleh dua faktor yaitu
bagaimana kualitas dimensi hakekat manusia itu sendiri secara potensial yang kedua
bagaimana kualitas pendidikan yang disediakan untuk memberikan pelayanan atas
perkembangannya. Meskipun ada
tendensi perkembangan pandangan modern lebih cenderung memberikan tekanan yang
lebih pada pengaruh faktor lingkungan. Optimisme ini timbul berkat pengaruh
perkembangan IPTEK yang sangat pesat yang memberikan dampak kepada peningkatan
perekayasaan pendidikan melalui teknologi pendidikan.
Namun demikian kualitas dari hasil akhir
pendidikan sebenarnya harus dipulangkan kembali pada peserta didik itu sendiri
sebagai-subyek pendidikan. Pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang
sanggup menghantar subyek didik menjadi seperti
dirinya sendiri selaku anggota masyarakat.
Selanjutnya pengembangan yang utuh dapat
dilihat dan berbagai segi yaitu: wujud dimensinya, arahnya.
a. Dari segi wujud dimensinya, keutuhan
terjadi antara aspek jasmani dan rohani, antara dimensi keindividualan
kesosialan-kesusilaan dan keberagamaan, antara aspek kognitif-afektif dan-psikomotor.
Pengembangan aspek jasmaniah dan rohaniah
dikatakan utuh utuh jika keduanya mendapat pelayanan secara seimbang. Meskipun
diakui bahwa nilai manusia akhirnya ditentukan oleh kualitas berkembangnya
aspek rohaniahnya seperti pandai, berwawasan luas, berpendirian teguh tetapi
bertenggangrasa, dinamis kreatif dan seterusnya, tanpa terlalu memandang
bagaimana kondisi fisiknya; Namun demikian demi keutuhan pengembangan aspek
fisik tidak boleh diabaikan. Karena gangguan fisik dapat berdampak pada
kesempurnaan perkembangan rohaniah.
Pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan,
kesusilaan dan keberagaman dikatakan untuk jika semua dimensi tersebut mendapat
layanan dengan baik, tidak terjadi pengabaian terhadap salah satunya. Dalam hal
ini pengembangan dimensi keberagaman menjadi tumpuan dari ketiga dimensi yang
disebut terdahulu.
Pengembangan domain kognitif, afektif dan
psikomotor dikatakan untuk jika ketiga-tiganya mendapat pelayanan yang
berimbang. Pengutamaan domain kognitif dengan mengabaikan pengembangan domain
afektif misalnya seperti yang terjadi pada kebanyakan sistem persekolahan
dewasa ini hanya akan menciptakan orang-orang pintar yang tidak berwatak.
b.
Dari Arah Pengembangan
Keutuhan pengembangan hakekat manusia dapat diarahkan kepada pengembangan
dimensi keindividualan, kesosialan, kesusilaan dan keberagaman secara terpadu.
Keempat dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Jika dianalisa
satu persatu gambarannya sebagai berikut: Pengembangan yang sehat terhadap
dimensi keindividualan memberi peluang pada seseorang untuk mengadakan
eksplorasi terhadap potensi-potensi yang ada pada diri baik kelebihannya maupun
kekurangannya. Segi positif yang ada ditingkatkan, yang negatif dihambat.
Pengembangan yang berarah konsentris
bermakna memperbaiki diri atau meningkatkan martabat Aku yang sekaligus juga
membuka jalan ke arah bertemunya suatu pribadi dengan pribadi yang lain secara
laras tanpa mengganggu otonomi masing-masing.
Pengembangan yang sehat terhadap dimensi kesosialan yang lazim disebut
pengembangan horisontal membuka
peluang terhadap ditingkatkannya hubungan sosial di antara sesama manusia dan
antara manusia dengan lingkungan fisik yang berarti memelihara lingkungan
disamping mengeksploitasinya. Pengembangan dimensi keindividualan serempak
dengan kesosialan berarti membangun terwujudnya hakekat manusia sebagai makhluk
monodualis.
Pengembangan yang sehat
dimensi kesusilaan akan menopang pengembangan dan pertemuan dimensi
keindividualan dan kesosialan. Hal ini menjadi jelas jika terjadi keadaan yang
sebaliknya. Bukankah tidak adanya kesusilaan akan memisahkan hubungan antar
manusia?. Pengembangan yang sehat terhadap dimensi keberagaman akan memberikan
landasan dari arah pengembangan dimensi keindividualan, kesosialan dan
kesusilaan.
Pengembangan domain
kognitif, afektif dan psikomotor (di samping keselarasannya perimbangan antar
ketiganya) juga perlu diperhatikan arahnya. Yang dimaksud arah pengembangan
dari jenjang yang rendah ke jenjang yang lebih tinggi. Pengembangan ini disebut
pengembangan vertikal. Sebagai contoh pengembangan domain kognitif dan
kemampuan mengetahui, memahami dan seterusnya sampai kepada kemampuan
mengevaluasi. Pengembangan yang berarah vertikal ini penting, demi untuk
ketinggian martabat manusia sebagai makhluk.
Dapat disimpulkan bahwa
pengembangan dimensi hakekat manusia sebagai pembinaan terpadu terhadap dimensi
manusia sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara laras. Perkembangan
dimaksud mencakup baik yang bersifat horisontal (yang menciptakan keseimbangan)
maupun yang bersifat vertikal (yang menciptakan ketinggian martabat manusia).
Dengan demikian secara totalitas membentuk manusia yang utuh.
2.
Pengembangan yang tidak utuh
Pengembangan yang tidak utuh terhadap dimensi hakekat manusia akan
terjadi apabila di dalam proses pengembangan ada unsur D.H.M yang terabaikan
untuk ditangani, misalnya dimensi kesosialan didominasi oleh pengembangan
dimensi keindividualan ataupun domain afektif didominasi oleh pengembangan
domain kognitif. Demikian pula
secara vertikal ada domain tingkah laku yang terabaikan penanganannya.
Pengembangan yang tidak utuh
berakibat terbentuknya kepribadian yang pincang dan tidak mantap. Pengembangan
semacam ini merupakan pengembangan yang patologis.
D. Sosok manusia Indonesia seutuhnya
Pengertian manusia utuh sudah
digambarkan pada butir C1. Sosok manusia Indonesia seutuhnya telah dirumuskan
didalam GBHN mengenai arah pembangunan jangka panjang. Dinyatakan bahwa
pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya dan pengembangan seluruh masyarakat
Indonesia. Hal ini berarti bahwa pembangunan itu tidak hanya mengejar kemajuan
lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan, kesehatan dan sebagainya, ataupun
kepuasan batiniah seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat
yang bertanggungjawab, rasa keadilan dan sebagainya, melainkan keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan antara keduanya. Selanjutnya juga diartikan bahwa
pembangunan itu merata diseluruh tanah air, bukan hanya untuk golongan atau
sebagian dari masyarakat. Selanjutnya juga diartikan sebagai keselarasan
hubungan antara manusia dengan Tuhannya, antara sesama manusia antara manusia
dengan lingkungan alam sekitarnya, keserasian hubungan antara bangsa-bangsa dan
juga keselarasan antara cita-cita hidup di dunia dengan kebahagian di akherat.
*Tambahan Petunjuk Belajar
1. Bentuklah kelompok dalam kelas anda 3-4
kelompok.
2. Setiap kelompok membuat ringkasan bagian
materi tertentu dari BAB I untuk disajikan dalam diskusi kelompok secara
bergantian.
3. Hasil ringkasan yang dibuat
dipersentasikan di depan kelas
4. Kelompok yang belum tampil berkewajiban
memberikan tanggapan dan masukan.
BAB II
PENGERTIAN DAN
UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN
A. Pengertian Pendidikan
1.
Batasan Tentang Pendidikan
Pendidikan
seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya
sangat kompleks, karena sifatnya yang kompleks, itu maka tidak sebuah
batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan arti pendidikan secara lengkap.
Dibawah ini dikemukakan Beberapa batasan
pendidikan berdasarkan fungsinya
a. Pendidikan sebagai proses transformasi
budaya.
Sebagai proses transformasi budaya
pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi
yang lain. seperti bayi dilahirkan disuatu tempat akan mendapatkan kebiasaan-kebiasaan,
larangan-larangan, dan anjuran dimana tempat dia dibesarkan. Seperti bahasa, cara menerima tamu, makan,
istirahat, perkawinan dan seterusnya.
Nilai-nilai kebudayaan tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua kegenerasi muda.
Ada tiga bentuk transformasi yaitu: nilai-nilai yang masih cocok diteruskan, misalnya
nilai kejujuran, rasa kejujuran rasa tanggung jawab, nilai yang kurang cocok
diperbaiki, misalnya tata cara pesta perkawinan, nilai yang tidak cocok diganti
misalnya pendidikan seks yang dahulu ditabukan diubah dengan pendidikan seks melalui pendidikan formal.
Disini tampak bahwa proses pewarisan budaya tidak
semata-mata mengekalkan budaya secara estafet. Pendidikan justru mempunyai
tugas menyiapkan peserta untuk hari esok.
b. Pendidikan sebagai proses pembentukan
pribadi.
Sebagai proses pembentukan pribadi
pendidikan diartikan sebagai kegiatan yang sistematis (procedural) dan sistemik
(berlangsung pada semua situasi dan kondisi disemua lingkungan yang saling
mengisi {rumah, masyarakat dan sekolah}) terarah pada terbentuknya kepribadian
peserta didik ada 2 sasarannya yaitu pembentukan pribadi kepada mereka yang
belum dewasa oleh mereka yang sudah
dewasa atas usaha sendiri, pendidikan diri sendiri (self vorming). Kedua-duanya bersifat alamiah
dan menjadi keharusan. Bayi yang baru lahir kepribadiannya belum terbentuk dan
belum mempunyai warna dan corak kepribadian. Bagi mereka yang sudah dewasa
tentu tetap harus mengembangkan dirinya sebagaimana yang disebut dengan
pendidikan sepanjang hidup.
Dalam posisi manusia sebagai
mahluk serba terhubung, pembentukan kepribadian meliputi pengembangan
penyesuaian diri terhadap lingkungan, terhadap diri sendiri dan terhadap Tuhan.
c. Pendidikan sebagai proses
penyiapan warga Negara .
Pendidikan sebagai proses
penyiapan warga negara diartikan sebagai suatu kegiatan terencana untuk
membekali peserta didik agar menjadi warga Negara yang baik yang sebagai pribadi
yang tahu akan hak dan kewajibannya (sesuai dengan tujuan Negara dan nasional
masing-masing bangsa). Baca pasal dalam UUD 1945 amandemen terakhir tentang
warga Negara.
d. Pendidikan sebagai proses penyiapan tenaga
kerja.
Pendidikan sebagai proses penyiapan tenaga kerja kegiatan membimbing peserta didik sehingga
memiliki bekal dasar (sikap, pengetahuan dan keterampilan) untuk bekerja. Baca
pasal dalam UUD1945 amandemen terakhir tentang warga Negara.
.
2.
Tujuan dan
Proses Pendidikan
1)
Tujuan pendidikan
Tujuan Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik,
luhur, pantas, benar, indah, untuk kehidupan. Karena itu tujuan pendidikan
memiliki fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dan
merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan. Oleh
karena itu tujuan pendidikan memiliki
dua fungsi yaitu memberikan arah segenap
kegiatan pendidikan dan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap
kegiatan pendidikan.
Dari seluruh komponen pendidikan
yang menjadi sentral (paling penting) adalah komponen tujuan pendidikan. Hal
ini disebabkan karena sifatnya yang normative yaitu mengandung unsur-unsur
norma yang bersifat memaksa. Tetapi tidak bertentangan dengan hakikat
perkembangan peserta didik serta dapat diterima oleh masyarakat sebagai nilai
hidup yang baik.
Tujuan pendidikan
masih sangat umum, absrak luas dan sulit direalisis. Misalnya membimbing
peserta didik agar menjadi manusia berjiwa pancasila. Karenanya diperlukan
tujuan khusus untuk menjabarkannya. Dengan alasan:
a. pengkhususan tujuan memungkinkan dilaksanakannya
tujuan umum melalui proses pendidikan
b. adanya pengkhususan dari peserta didik,
yaitu berkenaan dengan jenis kelamin.
c. kepribadian yang menjadi sasaran untuk
dibentuk atau dikembangkan bersifat kompleks sehingga perlu dirinci dan
dikhususkan, aspek apa yang dikembangkan.
d. adanya tahap-tahap perkembangan
pendidikan.
e. adanya
kekhususan masing-masing lembaga penyelenggara pendidikan, misalnya pertanian,
keguruan, dan lain-lain.
f. adanya
tuntutan persyaratan pekerjaan dilapangan yang harus dipenuhi oleh peserta
didik sebagai pilihannya.
g. diperlukan
teknik tertentu yang menunjang pencapaian tujuan yang lebih lanjut (tujuan
teknis/persyaratan)
h. adanya
kondisi situasional yaitu adanya peristiwa-peristiwa yang kebetulan muncul tanpa
direncanakan.
i. Kemampuan yang ada pada pendidik.
2) Proses Pendidikan
Proses pendidikan
adalah kegiatan memobilisasi segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah
pada pencapaian tujuan pendidikan. Kualitas proses pendidikan akan menentukan
hasil pencapaian tujuan pendidikan.
Kualitas proses
pendidikan menggejala pada dua segi yaitu: kualitas komponen dan pengelolanya. Keduanya
saling bergantung.
Pengelolaan proses pendidikan
meliputi ruang lingkup :
·
Makro
yaitu berupa kebijakan-kebijakan pemerintah yang lazimnya dituangkan dalam
bentuk UU pendidikan, peraturan pemerintah, SK menteri, SK dirjen, dokumen
pemerintah, tentang tingkat pendidikan nasional.
·
Meso
yaitu implikasi kebijakan-kebijakan nasional dalam kebijakan operasional dalam
ruang lingkup wilyah tanggungjawab dinas propinsi
·
Mikro
yaitu aplikasi-aplikasi kebijakan yang berlangsung dalam lingkup sekolah atau
kelas, sanggar belajar dan satuan-satuan pendidikan lainya dalam masyarakat
Tujuan utama
pengelolaan proses pendidikan adalah terjadinya proses belajar mengajar dan
pengalaman belajar yang optimal, sebab berkembangnya tingkah laku peserta didik
sebagai tujuan belajar hanya dimungkinkan oleh adanya pengalaman belajar yang
optimal.
Kenyataan ini akan
menyebabkan seorang pelajar harus mengetahui konsep-konsep inovasi-inovasi
pendidikan yaitu PSI, belajar tentang (masteri learning) CBSA, dan keterampilan
proses, muatan lokal dan kurikulum dan lain-lain
3.
Konsep pendidikan
sepanjang hayat (PSH)
PSH = pendidikan sepang hidup
mengelolah keseluruh Negara pada tahun 70-an. 14 abad yang lalu nabi Muhammad
SAW. Telah bersabda tentag pendidikan seumur hidup dengan haditsnya “utlubul ’ilmi
minal mahdi ilal lahdi” = tuntutlah ilmu sejak lahir hingga keliang lahat. Oleh
karenanya pendidikan :
1.
Tidak dibatasi oleh umur.
2. Tidak hanya identik dengan sekolah karena
proses belajar yang berkesinambungan sepanjang hayat.
Postulat yang munculkan 14 abad yang lalu kemudian
dimunculkan kembali 3 abad yang lalu oleh:
Lomenius pada abad XVI,
kemudian dilanjutkan oleh Jhon Dawei (tahun 1950-an).
Alasan perlunya pendidikan sepanjang
hayat yaitu:
1.
Alasan keadilan.
Karena dengan
terselenggaranya pendidikan sepanjang hayat, maka keadilan sosial terhadap
kesempatan memperoleh pendidikan dalam masyarakat akan dapat terwujud.
2.
Alasan ekonomi
Semakin
meningkatnya beban pembangunan, sehingga suatu saat akan mencapai titik beban
yang tidak tertanggulangi lagi.
3.
Alasan sosial
Berhubungan dengan perubahan peranan keluarga,
remaja dan emansipasi wanita dalam kaitanya dengan perkembangan iptek.
4. Alasan sifat pekerjaan yang terdiri dari :
a. Perubahan
persyaratan kerja
b. Terjadinya
perubahan dalam setiap generasi
c. Bekal kerja perlu selalu diperbaharui.
5.
Kemandirian dalam belajar.
a. Arti dan prinsip yang mendasarinya.
Diartikan sebagai aktifitas belajar yang
berlangsung lebih didorong oleh kemauan, pilihan, dan tanggunjwab sendiri dari
pembelajar.
Prinsip individu yang belajar, hanya sampai kepada
perolehan hasil belajar yang maksimal jika: mulai keterampilan, perngembangan
penalaran, penentuan dikap, sampai pada penemuan diri sendiri apabila dia yang
mengalami proses belajar tersebut.
b. Alasan yang menompang.
Menurut coomy setiawan, dkk.
(1988: 14-16)
1.
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK)
berlangsung semakin pesat, sehingga tidak mungkin lagi para pendidik
(khususnya)guru mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.
2. Penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi
(IPTEK)tidak mutlak benar 100 %, sifatnya relatif. Suatu teori mungkin tertolak
dan gugur setelah ditemukan data baru yang sanggup membuktikan kekeliruan teori
tersebut.
3. Para ahli psikologi sependapat bahwa,
peserta mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai
dengan contoh-contoh konkrit dan wajar sesuai dengan situasi dan kondisi yang
dihadapi dengan mengalami atau mempraktekkannya sendiri.
4. Dalam proses pendidikan dan pembelajaran,
pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan
penanaman nilai-nilai kedalam diri peserta didik.
B. Unsur-unsur Pendidikan
Proses
pendidikan melibatkan :
1. Subyek
yang dibimbing (peserta didik)
2. Orang
yang membimbing pendidik/pembimbing).
3. Interaksi
antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif).
4.
Ke arah
bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan).
5.
Pengaruh
yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan).
6.
Cara
yang digunakan pada saat bimbingan berlangsung (alat dan metode).
7.
Tempat
dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan).
1.
Subyek yang
dibimbing (peserta didik)
Peserta
didik berstatus sebagai subyek didik. Peserta didik cenderung tidak pandang
usia keberadaannya sebagai pribadi yang otonom yang ingin diakui keberadaanya,
mengembangkan diri secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup
yang dijumpai sepanjang hidupnya.
Ciri
khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik yaitu:
a. Individu yang memiliki potensi fisik yang
khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b. Individu yang sedang berada dalam masa
perkembangan.
c. Individu yang sedang membutuhkan bimbingan
individual dan perlakuan manusiawi.
d. Individu yang memiliki kemanpuan untuk
mandiri.
2.
Orang yang
membimbing (pendidik).
Orang yang bertanggungjawab terhadap pelaksanaan
pendidikan dengan sasaran peserta didik.
Peserta didik mengalami pendidiknnya dalam tiga
yaitu lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, dan lingkungan sekolah. Oleh
karenanya yang bertanggungjawab dalam pendidikan anak adalah pertama orang tua,
pimpinan program pembelajaran dan latihan dan masyarakat, dan ketiga guru.
Hal penting yang harus diperhatikan adalah
persoalan kewibawaan.
a. Yang dimaksud kewibawaan (kekuasan bathin
mendidik) yaitu pancaran bathin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap
untuk mengakui , menerima dan menuruti dengan penuh pengertian atas kekuasaan
tersebut, tanpa didasarkan pada penggunaan kekuasaan lahir (kewenangan
jabatan).
b. Kekuasaan timbul kalau pendidiknya dewasa
(rohani dan jasmani). Orang dewasa yaitu orang yang mampu
mempertanggungjawabkan (kemampuan untuk menyatukan diri dengan norma-norma hidup dan memperagakan dalam hidupnya) perbuatannya
yang bertalian dengan statusnya. Tugas pendidik adalah mentrasformasikan nilai-nilai
dan kewibawaan kepada peserta didik. Faktor penyebab pendidik memiliki
kewibawaan kepada peserta didiknya, karena peserta didik membutuhkan sesuatu
(pelindungan, bantuan, bimbingan, dst.) dari pendidik bersedia dan rela
memberinya dan dari terdidik bersedia rela menerimanya.
c. Kewajiban dapat terpelihara melalui 3 cara
menurut L.J.Lengeveld yaitu :
1)
kepercayaan (pendidik pecaya dapat mendidik dan
terdidik percaya dapat didik)
2) kasih
sayang yaitu penyerahan diri (pegabdian dalam kerja) dan pengendalian diri
(agar peserta didik tidak merugikan dirinya) kepada yang disayangi.
3) kemampuan.
Ini dapat ditingkatkan melalui peengkajian ilmu pengetahuan kependidikan dan
mengambil pengetahuan dari pengalaman kerja dan lain- lain.
3. Interaksi
edukatif antara peserta didik dengan pendidik
Maksudnya interaksi edukatif (proses berkomunikasi
intensif dengan memanipulasi isi, metode serta alat-alat pendidikan) antara
peseta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan
4.
Materilisasi pendidikan
Dalam sistem
pendidikan persekolahan materi telah diramu dalam kurikulum yang akan disajikan
sebagai sarana pencapaian tujuan. Materi
ini baik yang meliputi materi inti maupun muatan lokal. Materi inti bersifat
nasional yang mengandung misi pengendalian dan persatuan bangsa, sedangakan
muatan lokal misalnya adalah mengembangkan kebhinekaan kekayaan budaya sesuai
dengan kondisi lingkungan. Dengan
demikian jiwa dan semangat Bhineka Tunggal ika dapat ditumbuh kembangkan.
5. Konteks Yang Mempengaruhi Pendidikan
a. Alat dan metode.
Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari
suatu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensinya
dan efektifitasnya. Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun
diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan
pendidikan. Alat pendidikan dibedakan atas yang prefentif dan yang kuratif.
1. yang bersifat prefentif yaitu yang
bermaksud mencegah terjadinya hal-hal yang tidak dikehendaki misalnya larangan,
pembatasan, peringatan bahkan juga hukuman.
2. yang bersifat kuratif yaitu yang bermaksud
memperbaiki, misalnya ajakan, contoh, nasehat, dorongan, pemberian kepercayaan,
saran, penjelasan bahkan juga hukuman.
Untuk memilih dan menggunakan alat pendidikan yang
efektif ada beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu:
1) Kesesuaiannya dengan tujuan yang ingin
dicapai.
2) Kesesuaiannya dengan peserta didik.
3) Kesesuaiannya dengan pendidik sebagai
sipemakai.
4) Kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi
saat digunakannya alat tersebut.
b. Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)
Lingkungan pendidikan biasa disebut dengan tri
pusat pendidikan yaitu keluarga masyarakat dan sekolah.
C.
Pendidikan sebagai sistem
1.
Pengertian sistem.
a. dilihat dari wujud sistem, misalnya yang
dikemukakan oleh Tatang M. Amirin (1993:10): wujud sistem yaitu suatu kebulatan
keseluruhan yang kompleks atau terorganisir, suatu himpunan atau perpaduan hal-hal
atau bagian-bagian yang membentuk satu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau
utuh.
b. Dilihat dari fungsi komponen yang saling
berkaitan dan tujuan sistem, misalnya yang dikemukakan oleh Tatang M . Amirin
(1992:10) yaitu himpunan komponen yang saling berkaitan bersama-sama berfungsi
untuk mencapai suatu tujuan.
c. Dilihat dari unsur rencana disamping
saling kaitan antara komponen dan tujuan dari sistem, misalnya yang dikemukakan
oleh Tatang M. Amirin (1992:11) yaitu himpunan komponen atau sub sistem yang
terorganisasikan dan berkaitan sesuai dengan rencana untuk mencapai suatu
tujuan tertentu.
Definisi-definisi tersebut
di atas yang pertama (a) menekankan soal wujud sistem, yang kedua (b) menaruh
perhatian pada fungsi komponen dan yang ketiga (c) menampilkan unsur rencana
disamping kaitan antara komponen dan tujuan dari sistem, sekalipun demikian
definisi yang berbeda-beda itu mengandung unsur persamaan yang dapat dipandang sebagi ciri umum dari sistem
yaitu yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1.
suatu kesatuan yang berstruktur.
2. kesatuan tersebut merupakan sejumlah
komponen yang saling berpengaruh.
3. masing-masing kompenen mempunyai fungsi
tertentu secara bersama-sama melaksanakan fungsi terstruktur, yaitu mencapai
tujuan sistem.
Dengan demikian sistem dapat
diartikan sebagai suatu kesatuan integral dari sejumlah komponen. Komponen-komponen
tersebut satu sama lain saling berpengaruh dengan fungsinya masing-masing,
tetapi secara fungsi komponen-komponen itu, terarah pada pencapaian (yaitu tujuan dari sistem).
Contoh sistem yaitu LLAJR (
Lalu Lintas Angkutan Jalan Raya) alasannya memiliki :
a. tujuan : memperlancar hubungan
transportasi dari satu tempat ke tempat lain.
b. Sejumlah kelompok yang bekerja untuk
mencapai tujuan yaitu : jaringan jalanan yang dapat dilalui berbagai jenis
kendaraan.
c.
Peraturan lalu lintas. Misalnya berjalan disebelah
kiri.
d.
Rambu-rambu lalu lintas.
e. Polisi lalu lintas yang bertugas untuk
melaksanakan peraturan lalu lintas.
f. Pengadilan, untuk memutuskan peraturan
lalu lintas
2.
Komponen dan Saling Berhubungan Antara Komponen
Dalam Sistem Pendidikan Sitem Terbuka (untuk
semua organisasi) yaitu :
Pendidikan sebagai
suatu sistem terdiri dari sejumlah komponen. Untuk melihat komponen sistem
pendidikan, di bawah ini dikemukakan pengandaian, TOFFLER.
TOFFLER (1970)
menganalogikan sekolah dengan sebuah pabrik. Memang sebenarnya usaha pendidikan
tidak kunjung dapat disamakan dengan pabrik. Tetapi jika dilihat dari segi
proses mekanismenya, ada persamaan antara keduanya, misalnya sebuah pabrik gula
yang tujuannya didirikan adalah untuk memproduksi gula. Pabrik tersebut
membutuhkan bahan mentah (raw input) yang berupa tebu atau bahan lainnya. Untuk
memproses tebu menjadi gula sebagai keluaran (output) diperlukan mesin-mesin
penggilingan beserta perangkat peralatan
lainnya (sarana dan prasarana) yang ditangani dan dikelola oleh pekerja,
kepala bagian sampai dengan pimpinan pabrik (tenaga). Sudah barang tentu ,
tenaga tersebut tidak asal bekerja, melainkan berdasarkan petunjuk-petunjuk, peraturan-peraturan,
sistematika, dan prosedur serta jadwal yang telah ditetapkan program). Disamping
itu juga dilakukan pencatatan dan pendataan mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan perkembangan produksi (administrasi).
Sarana dan prasarana, ketenagaan, program dan
administrasi yang diperlukan untuk pemprosesan bahan mentah seperti dikemukakan
diatas merupakan masukan instrumental
Jika persoalan tersebut diperluas
dengan memperhitungkan faktor lingkungan, maka mungkin sekali faktor sosial
budaya, keamanan dan faktor dan faktor lingkungan yang lain merupakan faktor
yang dapat menunjang atau dapat menghambat. Segenap lingkungan yang berpengaruh
pemprosesan masukan mentah disebut
masukan lingkungan (Enviromental input).
*
Tambahan Petunjuk Belajar
1. Bentuklah kelompok 3-5 orang pada
kelas anda.
2. Setiap kelompok mendiskusikan pencapaian
tujuan pendidikan bangsa Indonesia sampai saat ini.
3. Buatlah kesimpulan dari hasil
diskusi anda
4. Presentasikanlah di depan kelas
untuk dipertanggungjawabkan.
BAB III
LANDASAN DAN ASAS-ASAS PENDIDIKAN SERTA PENERAPANNYA
A.
Landasan Pendidikan
Pendidikan adalah
suatu yang universal dan berlangsung terus tak terputus dari generasi kegenerasi
dimanapun didunia ini. Upaya memanusiakan manusia melalui pendidikan itu
diselenggarakan sesuai dengan pandangan hidup dan latar sosial-kebudayaan
setiap masyarakat tertentu. Oleh karena itu meski pendidikan besifat universal
namun terjadi perbedaan-perbedaan tertentu sesuai dengan pandangan hidup dan
latar sosialkultur tersebut. Dengan kata lain pendidikan diselenggarakan
berdasarkan filsafat hidup serta berlandaskan sosialkultur setiap masyarakat,
termasuk Indonesia.
Selanjutnya dua landasan
lain yang erat kaitannya dalam upaya pendidikan yaitu landasan psikologis dan
landasan IPTEK. Landasan psikologis akan memberikan tenaga kependidikan dengan
pemahaman perkembangan peserta didik dan cara-cara belajarnya, sedangkan
landasan IPTEK akan membekali tenaga kependidikan tentang sumber bahan ajar.
1. Landasan Filosofis
Landasan filosofis bekaitan dengan makna
atau hakekat pendidikan yang berusaha menelaah masalah-masalah pokok seperti
apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan itu dperlukan, apa yang seharusnya
menjadi tujuannya. Landasan filosofis adalah landasan yang berdasarkan atau
bersifat filsafat. (falsahat, falsafah).
Filsafat menelaah sesuatu secara radikal,
menyeluruh dan konseptual yang menghasilkan konsepsi-konsepsi tentang kehidupan
dan dunia. Kensepsi-konsepsi filosofis tentang kehidupan manusia dan dunianya
pada umumnya bersumber dari dua faktor, yaitu : (i) religi dan etika yang bertumpu
pada keyakinan, (ii) ilmu pengetahuan
yang bersumber pada penalaran, filsafat berada diantara keduanya, kawasannya
seluas dengan religi namun lebih dekat dengan ilmu pengetahuan karena filsafat
timbul dari keraguan dan karena mengandalkan akal manusia ( Redja Mudyahardjo,
et.al., 1992: 126 &134)
Terdapat kaitan erat antara pendidikan dan
filsafat karena filsafat mencoba merumuskan tentang citra manusia dan
masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra itu, Rumusan tentang
harkat dan martabat manusia beserta
masyarakatnya ikut menentukan tujuan dan cara-cara penyelenggaraan pendidikan ,
dan dari sisi lain , pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia. Filsafat
pendidikan berupaya menjawab secara kritis dan mendasar berbagai pertanyaan
pokok sekitar pendidikan, seperti apa, mengapa, kemana, bagaimana dan
sebagainya dari landasan berbagai keputusan dan tindakan yang dilakukan dalam
pendidikan. Kejelasan berbagai hal itu sangat perlu untuk menjadi landasan
berbagai keputusan dan tindakan yang
dilakukan dalam pendidikan hal itu sangat penting karena hasil pendidikan tidak
segera nampak, sehingga setiap keputusan dan tindakan itu harus diyakinkan
kebenaran dan ketepatannya meskipun hasilnya belum dapat dipastikan. Ketepatan
setiap keputusan dan tindakan, serta diikuti dengan upaya pemantauan dan
penyesuaian yang menerus, sangat penting karena koreksi setelah diperoleh
hasilnya akan sangat sulit dan sudah terlambat.
Kajian-kajian yang dilakukan oleh berbagai
cabang filsafat,(logika, epistemologi, etika dan estetika, metafisika, dll)
akan besar pengaruhnya terhadap pendidikan, karena prinsip- prinsip dan
kebenaran-kebenaran hasil kajian tersebut pada umumnya diterapkan dalam bidang
pendidikan. Peranan filsafat dalam bidang pendidikan tersebut berkaitan dengan
hasil kajian antara lain tentang:
a. keberadaan dan kedudukan
manusia sebagai mahluk didunia ini, seperti yang disimpulkan sebagai zoon
politicon, homo sapiens, animal educandum, dan sebagainya.
b. masyarakat dan kebudayaan;
c. keterbatasan manusia sebagai mahluk hidup yang banyak menghadapi
tantangan;
d. perlunya landasan
pemikiran dalam pekerjaan pendidikan, utamanya filsafat pendidikan (Wayan Ardhana, 1986:Modul 1/9).
Hasil-hasil kajian filsafat tersebut, utamanya tentang konsepsi manusia dan
dunianya, sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan.
Berbagai pandangan filosofis tentang
manusia dan aliran dunianya yang dikemukakan oleh berbagai aliran dalam
filsafat ternyata sangat bervariasi, bahkan kadang-kadang bertentangan. Secara
historis terdapat dua aliran yang saling bertentangan yakni idealisme dan naturalisme(
positivisme), dengan segala variasinya masing-masing (Abu Hanifah, 1950). Disamping
kedua aliran tersebut , telah berkembang pula beberapa aliran lain, sehingga
terdapat aliran-aliran 1. filsafat materi, 2. filsafat cita, 3. filsafat hidup,
4. filsafat hakekat, 5. filsafat eksistensi dan 6. filsafat ujud. ( Beerling, 1951:40). Wayan ardhana dkk
(1986: Modul 1/ 12-18) mengemukakan bahwa aliran-aliran filosafat itu bukan
hanya pendidikan, tetapi juga telah
melahirkan aliran filsafat pendidikan seperti: idealisme, realisme,
perennialisme, essensialisme, pragmatisme dan progressivisme dan
eksistensialisme. Sedangkan Waini rasyidin (dalam Redja Mudyahardjo,et.al.,
1992 :140-150 membedakan antara lairan filsafat dan mazhab filsafat pendidikan,
yakni aliran filsafat yang besar pengaruhnya
terhadap pendidikan adalah idealisme, realesme (positivisme,
materialisme), neothomisme, dan pragmatisme, sedangkan mazhab filsafat
pendidikan adalah esensialisme, parennialisme, progressiuvisme dan rekonstruksionisme.
Baik sebagai aliran filsafat maupun sebagai mazhab filsafat pendidikan,
pandangan-pandangannya tentang manusia dan dunianya pada umumnya ikut
mempengaruhi konsepsi dan atau penyelenggaraan pendidikan
Naturalisme merupakan aliran filsafat yang
menganggap segala kenyataan yang bisa ditangkap oleh pancaindra sebagai
kebenaran yang sebenarnya, aliran ini bisa pula diberi nama yang berbeda sesuai
dengan variasi penekanan konsepsinya
tentang manusia dan dunianya, seperti realisme, materialisme, positivisme,
(kini: neo positivisme) dan sebagainya. Realisme, sebagai contoh, menekankan
pada pengakuan adanya kenyataan yang hakiki yang obyektif, diluar manusia.
Kenyataan yang hakiki yang obyektif itu ada secara preksistensi yakni
mendahului dan lebih utama dari keberadaan diri manusia beserta kesadarannya.
Bertentangan dengan aliran di atas,
idealisme menegaskan bahwa hakekat kenyataan adalah ide sebagai gagasan
kejiwaan. Apa yang dianggap realitas hanyalah bayangan atau refleksi dari ide
sebagai kebenaran bersifat spiritual atau mental, ide sebagai gagasan kejiwaan
itulah sebagai kebenaran atau nilai sejati yang absolut dan abadai. Terdapat
variasi pendapat beserta namanya masing-masing dalam aliran ini seperti
spiritualisme, rasionalisme, neo kantianisme dan sebagainya.
Sementara itu Pragmatisme yang mengemukakan bahwa segala sesuatu harus
dinilai dari segi kegunaan praktis, dengan kata lain faham ini menyatakan yang
berfaedah itu harus benar, atau ukuran kebenaran didasarkan pada kemanfaatan dari
sesuatu itu kepada manusia (Abu Hanifah, 1956).
Selanjutnya perlu dikemukakan secara
ringkas empat mazhab filsafat pendidikan yang besar pengaruhnya dalam pemikiran
dan penyelenggaraan pendidikan. Keempat mazhab filsafat pendidikan itu adalah :
1) Essensialisme
Esensialisme merupakan mazhab
filsafat pendidikan yang merupakan prinsip idealisme dan realisme secara
elektis.. Berdasarkan elektisme tersebut maka esensialisme menitikberatkan
penerapan perinsip idealisme atau realisme dan tidak meleburkan perinsip-perinsipnya.
Filsafat idealisme memberikan dasar tinjauan filosofis bagi mata pelajaran
sejarah, sedangkan ilmu pengetahuan Alam diajarkan berdasarkan tinjauan yang
realistik.
2. Perennialisme
Ada persamaan antara perrenealisme
dan esesnsialisme, yakni keduanya membela kurikulum yang tradisional yang
berpusat pada mata pelajaran yang pokok-pokok (suject centered). Perbedaanya,
ialah parennialisme menekankan keabadian teori kehikmatan yaitu : (1) pengetahuan yang benar (truth), (2) keindahan, (3) kecintaan, kepada kebaikan
(goodness). Oleh karena itu dinamakan parennealisme karena kurikulumnya berisi
materi yang konstan atau parennial.
3. Pragmatisme dan Progresivisme
Manusia akan mengalami
perkembangan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya berdasarkan pemikiran . Sekolah
adalah suatu lingkungan khusus yang merupakan sumbangan dari lingkungan sosial
yang lebih umum, atau juga merupakan lembaga masyarakat yang bertugas memilih
dan menyederhanakan unsur kebudayaan yang dibutuhkan oleh individu, belajar
harus dilakukan oleh siswa secara aktif dengan cara memecahkan masalah. Guru
harus bertindak sebagai pembimbing, atau fasilitator bagi siswa.
Progresivisme atau gerakan
pendidikan progresif mengembangkan teori pendidikan yang mendasarkan diri pada
beberapa prinsip, antara lain : (a) anak harus bebas untuk dapat berkembang secara
wajar, (b) pengalaman langsung merupakan cara terbaik untuk merangsang minat
belajar, (c) Guru harus menjadi seorang peneliti dan membimbing kegiatan
belajar, (d) sekolah progresif harus merupakan suatu laboratorium untuk
melakukan reformulasi pedagogis dan eksperimentasi.
4.
Rekonstruksionisme
Mazhab ni merupakan kelanjutan
dari mazhab progresif dalam pendidikan. Individu tidak hanya belajar tentang
pengalaman-pengalamannnya di masyarakat masa kini disekolah tetapi harus
mempelopori masyarakat ke arah masyarakat baru yang diinginkan. Dengan
demikian, tidak semua individu dan kelompok akan memecahkan masalah secara
sendiri-sendiri sebagai akses progresivisme.
2. Landasan Sosiologis
Manusia selau hidup berkelompok,
sesuatu yang juga terdapat pada hewan. Meski demikian pengelompokan manusia jauh lebih umit dari pada hewan.
Kehidupan sosial manusia tersebut dipelajari oleh filsafat yang berusaha
mencari hakikat manusia yang sebenarnya. Filsafat sosial sering membedakan
manusia sebagai anggota masyarakat. Pandangan aliran-aliran filsafat tentang
realitas sosial itu berbeda-beda, sehingga dapat ditemukan bermacam-macam
aliran filsafat sosial.
Kependidikan merupakan suatu proses
interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi
muda mengembangkan diri. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi dilembaga
sekolah yang dengan sengaja dibentuk oleh masyarakat. Perhatian sosiologis
terhadapat kegiatan pendidikan semakin intensif. Dengan meningkatnya perhatian
sosiologi pada kegiatan pendidikan tersebut, maka lahirlah cabang sosiologi
pendidikan.
Sosiologi
pendidikan merupakan analisis ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola
interaksi sosial didalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari
sosiologi meliputi empat bidang :
1. Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain
2. Hubungan manusia disekolah
3. Pengaruh sekolah terhadap prilaku anggotanya
4. Sekolah dalam komunitas
3. Landasan Kultural
Pendidikan selalu terkait dengan manusia,
sedang setiap manusia selalu menjadi anggota masyarakat dan pendukung
kebudayaan tertentu. Dalam UU-RI No. 2 1989 pasal 1 : 2 ditegaskan bahwa Sistem
Pendidikan Nasional adalah pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa
Indonesia. Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik sebab kebudayaan dapat dilestarikan dengan
jalan mewarisi kebudayaan dari generasi penerus dengan jalan pendidikan, baik
secara informal maupun informal.
4. Landasan Psikologis
Pemahaman peserta didik utamanya yang
berkaitan dengan aspek kejiwaan merupakan salah satu kunci keberhasilan
pendidikan. Oleh karena itu kajian dan penemuan psikologis sangat diperlukan
penerapannya dalam bidang pendidikan, seperti pengetahuan tentang aspek-aspek
kepribadian, urutan dan ciri- ciri pertumbuhan setiap setiap aspek dan konsep
tentang cara-cara paling tepat untuk mengembangkannya. Untuk maksud itu
psikologi menyediakan sejumlah informasi tentang kehidupan pribadi manusia pada
umumnya serta gejala-gejala yang berkaitan dengan aspek pribadi.
Menurut A.Maslow kategori kebutuhan dasar ada enam
kelompok antara lain:
1. Kebutuhan
fisikologis
2. Kebutuhan
rasa aman
3. Kebutuhan
akan cinta dan pengakuan
4. Kebuthan
harga diri
5. Kebutuhan
untuk aktualisasi diri
6. kebutuhan untuk mengetahui dan memahami.
7. Berbagai pengaruh dalam pembentukan konsep
diri
Harapan-harapan
orang tua
tehadap teman sebaya.
Problem
pesonalia keluarga
Problem ekonomi
keluarga
Opini diri
teman sebaya
Afiliasi
Keagamaan
Tuntutan sekolah
|
|
KONSEP DIRI
ANAK
|
|
Sikap terhadap
anggota keluarga
Keadaan fisik
anak
Maturasi
biologis
Dampak dari
radio, TV dll
Kesempatan di-/ melalui sekolah
|
5. Landasan ilmiah dan Teknologis
Terdapat
beberapa istilah yang perlu dikaji agar jelas makna dan kedudukan masing-masing
yakni pengetahuan, ilmu pengetahuan, teknologi, serta istilah lain terkait
dengannya. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diperoleh melaui berbagai
cara penginderaan terhadap fakta, penalaran, intuisi, dan wahyu. Pengetahuan
yang memenuhi kriteria dari segi ontologism, epistemologis dan axiologis secara
konsekuen dan penuh disiplin biasanya disebut ilmu atau ilmu pengetahuan .
Ilmu pengetahuan itu dapat bermakna
kumpulan informasi, cara memperoleh informasi itu, serta manfaat dari informasi
itu. Ketiga sisi ilmu pengetahuan itu seharusnya mendapat perhatian yang
proporsional didalam bahan ajar, dengan demikian pendidikan bukan hanya
berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar
IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Dengan demikian, pendidikan akan mewujudkan
fungsinya dalam pelestarian dan pengembangan IPTEK tersebut.
IPTEK merupakan salah satu dari hasil usaha manusia untuk mencapai
kehidupan yang lebih baik, yang telah dimulai pada permulaan kehidupan manusia.
Pada zaman dahulu manusia
purba senantiasa menghadapi kekuasaan alam yang mendominasi kehidupannya.
Berkat perkembangan IPTEK hubungan kekuasaan antara manusia dan alam dapat
dikatakan terbalik, alam kini dibawah kekuasaan manusia.
Pengembangan dan pemanfaatan IPTEK pada
umumnya ditempuh rangkaian kegiatan: penelitian dasar, penelitian terapan,
pengembangan teknologi, penerapan teknologi, serta biasanya diikuti pula dengan
evaluasi ethis-politis-religis.
B.
Asas-Asas Pokok Pendidikan
Asas pendidikan merupakan
suatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, pada tahap
perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan. Asas-asas pendidikan Indonesia
antara lain :
1. Asas Tut Wuri Hadayani
Awalnya merupakan semboyan dari perguruan
nasional taman siswa. Asas ataupun semboyan ini dikumandangi oleh KI Hadjar
Dewantara itu mendapat tanggapan positif dari Drs. RPM Sosrokartono dengan
melengkapi dua semboyan untuk melengkapinya, yakni Ing Ngarso Sung Tulada dan
Ing Madya Mangun Karsa.
Kini ketiga semboyan itu bersatu menjadi
satu kesatuan asas yakni :
Ø
Ing
Ngarso Sung Tulada ( Jika didepan menjadi contoh )
Ø
Ing
Madya Mangun Karsa ( Jika ditengah membangkitkan kehendak, hasrat atau motivasi
)
Ø
Tut
Wuri Handayani ( Jika dibelakang mengikuti dengan awas )
2. Asas Belajar Sepanjang Hayat
Asas belajar sepanjang hayat merupakan
pandangan dari sisi lain terhadap pendidikan seumur hidup. Pendidikan
seumur hidup adalah pendidikan yang harus:
Ø
Meliputi seluruh hidup setiap individu
Ø
Mengarah pada pembentukan, pembaharuan,
peningkatan, dan penyempurnaan secara sistematis pengetahuan, keterampilan dan
sikap yang dapat meningkatkan kondisi hidup
Ø Tujuan akhirnya adalah mengembangkan
penyadaran diri setiap individu
Ø Meningkatkan kemampuan dan motivasi untuk
belajar mandiri
Ø Mengakui dari kontribusi dari semu
pengaruh pendidikan yang mungkin terjadi, termasuk yang formal, non formal.
3. Asas Kemandirian dalam Belajar
Baik asas tut wuri
handayani maupun belajar sepanjang hayat secara langsung erat kaitannya dengan
asas kemandirian dalam belajar. Asas tut
wuri handayani pada prinsipnya bertolak dari asumsi kemampuan siswa untuk
mandiri, termasuk mandiri dalam belajar. Dalam kegiatan belajar-mengajar,
sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu dengan menghindari
campur tangan guru, namun selalu siap untuk ulur tangan apabila diperlukan.
Selanjutnya, asas
belajar sepanjang hayat hanya dapat diwujudkan apabila didasarkan pada asumsi
bahwa peserta didik mau dan mampu mandiri dalam belajar, karena adalah tidak
mungkin seorang belajar sepanjang hayat apabila selalu tergantung dari bantuan
guru ataupun orang lain.
Perwujudan asas kemandirian dalam belajar
akan menempatkan guru dalam peran utama sebagi fasilitator dan motivator,
disamping peran-peran lain: informator, organisator, dan sebagainya.
* Tambahan
Petunjuk Belajar
1. Anda telah mengalami pendidikan di sekolah (SD, SMP,
SMA/sederajat) selama bertahun-tahun, Cobalah ingat-ingat dan carilah bukti-bukti
pelaksanaan berbagai landasan dan asas pendidikan tersebut. Khusus untuk asas
pendidikan belajar sepanjang hayat dan kemandirian dalam belajar, upaya apa
yang sedang anda lakukan untuk mewujudkan asas-asas tersebut?
2. Tahap
Diskusi kelompok
Bentuklah
kelompok-kelompok kecil (3-5) orang dan bandingkanlah hasil kerja tahap (1) di
atas. Carilah titik persamaan dan buatlah kesimpulan tentang itu. Sedangkan hal-hal
yang berbeda, diskusikanlah perdedaaan itu dan buatlah kesimpulan diskusi itu.
BAB IV
PERKIRAAN
DAN ANTISIPASI TERHADAP MASYARAKAT MASA DEPAN
Pendidikan selalu bertumpu pada suatu wawasan
kesejarahan, yakni pengalaman-pengalaman masa lampau, kenyataan dan kebutuhan
mendesak masa kini, dan aspirasi serta harapan masa depan. Melalui pendidikan
setiap masyarakat akan melestarikan nilai-nilai luhur sosial kebudayaannya yang
telah terukir dengan indahnya dalam sejarah bangsa tersebut. Serentak dengan
itu, melalui pendidikan juga diharapkan dapat ditumbuhkan kemampuan untuk
menghadapi tuntutan objektif masa kini, baik tuntutan dari dalam maupun
tuntutan karena pengaruh dari luar masyarakat yang bersangkutan. Dan akhirnya,
melalui pendidikan akan ditetapkan langkah-langkah yang dipilih masa kini
sebagai upaya mewujudkan aspirasi dan harapan di masa depan.
Dalam UU-RI No. 2 Tahun 1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 telah ditetapkan antara lain bahwa
“Pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan
datang”. Penekanan pada bagian terakhir tersebutlah yang menyebabkan pendidikan
itu dilukiskan sebagai merumuskan masa depan. Oleh karena itu, di samping
dimensi horizontal, pendidikan haruslah memperhatikan dengan sungguh-sungguh
dimensi vertikal, terutama keterkaitan antara program pendidikan yang
dilaksanakan sekarang ini dengan kehidupan peserta didik di masa depan. Peserta
didik yang sedang belajar di lembaga-lembaga pendidikan, termasuk mahasiswa
yang sedang membaca paparan ini, akan menempati kedudukannya serta memainkan
peranannya kelak pada awal abad ke-21 yang akan datang. Oleh karena itu,
keterkaitan program pendidikan dengan prognosis masyarakat masa depan perlu
mendapat perhatian dengan semestinya (Hameyer, 1979: 67-78; Sulo Lipu La Sulo,
1990: 2S-29).
Setelah mempelajari Bab IV ini Anda
diharapkan dapat:
1. Memahami beberapa kemungkinan
keadaan masyarakat di masa depan, serta peranan faktor-faktor globalisasi,
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), arus komunikasi yang
semakin padat dan cepat, serta kebutuhan yang meningkat dalam layanan
profesional terhadap masyarakat di masa depan tersebut.
2. Memahami berbagai upaya
pendidikan untuk mengantisipasi masa depan, baik yang berkenaan dengan
penyiapan manusia maupun yang berkenaan dengan perubahan sosiokultural, serta
pengembangan sarana pendidikan untuk mendukung upaya-upaya yang sedang atau
akan dilaksanakan.
Bagi mahasiswa calon tenaga
kependidikan, utamanya guru, kajian tentang masyarakat masa depan tersebut
berdampak ganda, yakni untuk dirinya sendiri serta pada gilirannya kelak untuk
siswa-siswanya. Pembahasan dalam Bab IV ini akan dimulai dengan paparan tentang
perkiraan masyarakat masa depan, dan akan diikuti dengan kajian tentang upaya
pendidikan untuk mengantisipasinya. Sebagai suatu perkiraan, paparan ini
mungkin saja meleset atau menyimpang; oleh karena itu, isi paparannya perlu
dikaji dan diuji dengan kenyataan-kenyataan yang berlaku pada saat paparan ini
dibaca. Dengan demikian, segala kekurangan atau kesalahan dalam perkiraan itu
dapat segera diperbaiki.
A. Perkiraan Masyarakat Masa Depan
Pendidikan selalu berlangsung
dalam suatu latar kemasyarakatan dan kebudayaan tertentu. Demikian pula di
Indonesia, pendidikan nasional dilaksanakan berdasarkan latar kemasyarakatan
dan kebudayaan Indonesia. Seperti telah dipaparkan pada Bab III, masyarakat
Indonesia dan kebudayaan nasional merupakan landasan Sistem Pendidikan
Nasional. Landasan sosio-kultural merupakan salah satu dasar utama dalam
menentukan arah kepada program-program pendidikan, baik program pendidikan
sekolah maupun program pendidikan luar sekolah. Dari sisi lain, pendidikan
merupakan salah satu pilar utama dalam pelestarian dan pengembangan kebudayaan
setiap masyarakat. Di dalam penjelasan UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “Dalam kehidupan suatu bangsa, pendidikan
mempunyai peranan yang amat penting untuk menjamin perkembangan dan
kelangsungan kehidupan bangsa yang bersangkutan.” Melalui upaya pendidikan,
kebudayaan dapat diwariskan dan dipelihara oleh setiap generasi bangsa.
Serentak dengan itu, upaya pendidikan diarahkan pula untuk mengembangkan kebudayaan
itu.
Demi pemahaman dan karena
adanya saling pengaruh antara pendidikan dan latar sosio-kultural, maka perlu
dikemukakan terlebih dahulu pengertian kebudayaan. Dalam pembahasan ini,
kebudayaan dimaksudkan dalam arti luas yakni “keseluruhan gagasan dan karya
manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari
hasil budi dan karyanya itu” (Koentjaraningrat, 1974: 19). Kebudayaan itu
dapat:
(1) Berwujud
ideal yakni ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya.
(2) Berwujud kelakuan
yakni kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
(3) Berwujud
fisik yakni benda-benda hasil karya
manusia (Koentjaraningrat, 1974:
15-22).
Berbagai wujud kebudayaan itu
selalu mengalami perubahan dan perkembangan
sesuai dengan perubahan dan kemajuan manusia dan masyarakat
pendukung kebudayaan itu. Pengertian
kebudayaan yang begitu luas
tersebut seringkali dipecah lagi dalam unsur-unsurnya, dan sering dipandang
sebagai unsur-unsur universal dari kebudayaan, yakni:
(a) Sistem religi dan upacara keagamaan.
(b) Sistem dan organisasi
kemasyarakatan.
(c) Sistem pengetahuan.
(d) Bahasa.
(e) Kesenian.
(f) Sistem mata pencarian.
(g) Sistem
teknologi dan peralatan.
Unsur-unsur
tersebut diurutkan mulai dari yang umumnya sukar berubah atau kena pengaruh
dari kebudayaan lain sampai yang paling mudah atau berubah atau diganti dengan
unsur serupa dari kebudayaan lain (Koentjaraningrat, 1974: 11-13). Perlu pula
dikemukakan bahwa perubahan pada salah satu dari unsur-unsur tersebut akan
mempunyai dampak pada keseluruhan unsur-unsur kebudayaan lainnya.
Perkembangan masyarakat
beserta kebudayaannya sekarang ini makin mengalami percepatan serta meliputi
seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia. Percepatan perubahan itu
terutama karena percepatan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
utamanya teknologi informasi. Sejarah telah mencatat bahwa perubahan dari
masyarakat pertanian ke masyarakat industri relatif lebih lama dibandingkan
dengan perubahan masyarakat industri ke masyarakat informasi. Bahkan di
berbagai negara berkembang, termasuk Indonesia, masih berada dalam masa
transisi dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri serta segera diiringi
perubahan ke masyarakat informasi (Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, 1992: 6).
Perubahan yang cepat tersebut mempunyai beberapa karakteristik umum yang dapat
dijadikan petunjuk sebagai ciri masyarakat di masa depan. Beberapa di antaranya
yang dibahas selanjutnya adalah:
(1) Kecenderungan globalisasi yang makin kuat.
(2) Perkembangan iptek yang makin
cepat.
(3) Perkembangan arus informasi yang
semakin padat dan cepat.
(4) Kebutuhan/tuntutan
peningkatan layanan profesional dalam berbagai segi kehidupan manusia.
Keseluruhan hal itu telah mulai tampak pengaruhnya masa kini, serta
diperkirakan akan makin penting peranannya di masa depan.
Pemahaman tentang keadaan
masyarakat masa depan tersebut akan sangat penting sebagai latar depan segala
kebijakan dan upaya pendidikan masa kini dan masa yang akan datang. Seperti
yang dikemukakan Moh. Ansyar (1992: 6): “Zaman kita, yang oleh Alvin Toffler
disebut Gelombang Ketiga atau yang oleh John Naisbitt disebut Zaman Pasca-Industri,
memerlukan suatu pendidikan yang berbeda dengan pendidikan pada zaman
sebelumnya.” Kajian masyarakat masa depan itu semakin penting jika diingat
bahwa pendidikan selalu merupakan penyiapan peserta didik bagi peranannya di
masa yang akan datang. Dengan demikian, pendidikan seharusnya selalu
mengantisipasi keadaan masyarakat masa depan.
1. Kecenderungan
Globalisasi
Istilah globalisasi (asal kata: global
yang berarti secara umumnya, utuhnya, kebulatannya) bermakna bumi sebagai
satu keutuhan seakan akan tanpa tapal batas administrasi negara, dunia menjadi
amat transparan, serta saling ketergantungan antarbangsa di dunia semakin
besar; dengan ..kata lain: Menjadikan dunia sebagai satu keutuhan, satu
kesatuan. Suatu peristiwa yang terjadi dalam suatu negara tertentu akan
tersebar dengan cepat ke seluruh pelosok dunia, dari perkotaan sampai pedesaan,
serta akan mempunyai pengaruh terhadap manusia dan masyarakat di mana pun di
dunia ini. Dunia seakan akan menjadi sempit dan tak menghiraukan lagi batas-batas
negara.
Gelombang globalisasi sedang menerpa
seluruh aspek kehidupan dan penghidupan manusia, menyusup ke dalam seluruh
unsur kebudayaan dengan dampak yang berbeda-beda. Menurut Emil Salim (1990; 8-9)
terdapat empat bidang kekuatan gelombang globalisasi yang paling kuat dan
menonjol daya dobraknya, yakni bidang-bidang iptek, ekonomi, lingkungan hidup,
dan pendidikan. Beberapa kecenderungan globalisasi dari keempat bidang tersebut
sebagai berikut:
a. Bidang iptek yang mengalami perkembangan yang semakin dipercepat,
utamanya dengan penggunaan berbagai teknologi canggih seperti komputer dan
satelit. Kekuatan pertama gelombang globalisasi ini membuat bumi seakan akan
menjadi sempit dan transparan. Dalam waktu yang singkat dapat dihimpun
informasi global yang terinci dan teliti dalam berbagai bidang, umpamanya
kekayaan alam, laut, hutan, dan sebagainya melalui penginderaan jarak jauh
tanpa mengenal batas negara. Globalisasi iptek tersebut memberi orientasi baru
dalam bersikap dan berpikir serta berbicara tanpa batas negara.
b. Bidang ekonomi yang mengarah ke ekonomi
regional dan atau ekonomi global tanpa mengenal batas-batas negara. Di berbagai
bagian dunia telah berkembang kelompok-kelompok ekonomi regional, seperti
Masyarakat Ekonomi Eropa (untuk Eropa Barat), Area Perdagangan Bebas Amerika
Utara atau NAFTA (untuk Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko), Area Perdagangan
Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area atau AFTA untuk ASEAN). Gejala lain adalah makin
meluasnya perusahaan multinasional sebagai perusahaan raksasa yang kakinya terTaman
kuat di berbagai negara. Globalisasi ekonomi telah menyebabkan negara hanya bertapal batas politik
saja, sedang dari segi ekonomi semakin kabur. Peristiwa ekonomi di suatu tempat
pada negara tertentu akan memberi dampak kepada hampir seluruh dunia.
Globalisasi ekonomi tersebut menyebabkan Kenichi Ohmac memberi judul “The
Borderless World” (dunia tanpa tapal batas) pada bukunya (1990, dari Dedi
Supriadi, 1990: 60).
c. Bidang lingkungan hidup telah menjadi bahan pembicaraan dalam
berbagai pertemuan internasional, yang mencapai puncaknya pada Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi, atau nama
resminya: Konferensi PBB mengenai
Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UNCED), pada awal Juni 1992 di
Rio de Janeiro, Brazil. Kerusakan lingkungan hidup di suatu tempat akan memberi dampak negatif ke berbagai
negara di sekitarnya, bahkan mengancam keselamatan planet bumi. Oleh karena
itu, diperlukan wawasan dan kebijakan yang tepat dalam bidang pembangunan yang
menjamin kelestarian dan keselamatan lingkungan hidup, atau pembangunan yang
berwawasan lingkungan. Sebagai contoh, Indonesia yang memiliki hutan tropis
terbesar di dunia berkewajiban menjaga
kelestarian “paru-paru dunia” itu apabila mau memanfaatkan kekayaan itu untuk
kemakmuran rakyatnya. Seperti diketahui, Indonesia telah menetapkan kebijakan
pemanfaatan sebagian kecil hutan tropis itu dengan “tebang pilih Taman
Indonesia”, atau program reboisasi dengan hutan Tamanan industri. Demikian pula masalah
pencemaran lingkungan seperti air, udara, dan sebagainya akan membawa dampak
ke daerah atau negara sekitarnya.
d. Bidang pendidikan dalam kaitannya dengan identitas bangsa, termasuk
budaya nasional dan budaya-budaya nusantara. Di samping terpaan tentang gagasan-gagasan
dalam pendidikan, globalisasi terjadi pula secara langsung menerpa setiap
individu manusia melalui buku, radio, televisi, dan media lainnya. Sebagai
contoh: Penggunaan antena parabola memberi peluang masuknya film dan sinetron
langsung ke rumah dan peristiwa di berbagai penjuru dunia .secara langsung
dapat dilihat di rumah setiap orang pada saat ataupun sesaat setelah peristiwa
terjadi melalui siaran langsung televisi. Hal itu akan mempengaruhi wawasan,
pikiran, dan bahkan perilaku manusia; selanjutnya bahkan mungkin tercipta suatu
“budaya dunia” (Refleksi, 1990: 3).
Di samping keempat bidang tersebut,
kecenderungan globalisasi juga tampak dalam bidang politik, hukum dan hak-hak
asasi manusia, paham demokrasi, dan sebagainya. Suatu peristiwa yang berkaitan
dengan hal-hal tersebut akan mendapat sorotan orang dan berbagai penjuru dunia.
Sebagai contoh, pelaksanaan pemilihan umum di suatu negara akan dipantau secara
langsung oleh berbagai negara lain dengan mengirim para peninjau, baik
menjelang maupun pada saat pelaksanaan pemungutan suara. Kecenderungan
globalisasi tersebut merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari. Oleh
karena itu, banyak gagasan dalam menghadapi globalisasi itu yang menekankan
perlunya berpikir dan berwawasan global namun harus tetap menyesuaikan
keputusan dan tindakan dengan keadaan nyata di sekitarnya. Semboyan yang semakin luas diterima adalah “think
globally but act locally” (Mochtar Buchori, 1990: 17). Untuk latar Indonesia
yang bhinneka tunggal ika, hal itu tidak hanya mempertimbangkan aspek nasional
tetapi juga aspek lokal di daerah yang bersangkutan.
2. Perkembangan llmu Pengetahuan dan
Teknologi (Iptek)
Perkembangan iptek yang makin cepat
dalam era globalisasi merupakan salah satu ciri utama dari masyarakat masa
depan. Perkembangan iptek pada akhir abad ke-20 ini sangat mengesankan,
utamanya dalam bidang-bidang transportasi, telekomunikasi dan informatika,
genetika, biologi molekul serta bioteknologi, dan sebagainya. Dan hampir dapat
dipastikan bahwa perkembangan yang makin cepat itu masih akan berlanjut dalam
abad ke-21 yang akan datang, dan demikian pula dengan limpahannya akan bersifat
global. Globalisasi perkembangan iptek tersebut dapat berdampak positif ataupun
negatif, tergantung pada kesiapan bangsa beserta kondisi sosial-budayanya untuk
menerima limpahan informasi/ teknologi itu. Segi positifnya antara lain
memudahkan untuk mengikuti perkembangan iptek yang terjadi di dunia, menguasai
dan menerapkannya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan. Sedangkan segi negatif
akan timbul apabila kondisi sosial-budaya belum siap menerima limpahan itu
(Pratiwi Sudarsono, 1990: 14-15).
Percepatan perkembangan iptek tersebut
terkait dengan landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis (Filsafat
llmu, 1981: 9-15). Segi landasan ontologis, objek telaahan ialah berupa
pengalaman atau segenap ujud yang dijangkau lewat alat indra telah mengalami perkembangan
yang pesat karena didapatkannya peranti (device) yang membantu alat
indra tersebut. Seperti diketahui, dalam penelitian telah digunakan mulai dari
nano teknologi untuk meneliti DNA (deoxyribonudeic acid) sehubungan
dengan struktur dan fungsi gen dengan peralatan yang berukuran nanometer
(Pratiwi Sudarsono, 1990: 16), sampai dengan teleskop raksasa Nouut Polomar
(diameter lensa: 200 inchi) untuk mengamati Bima Sakti yang berbintang sekitar
seratus miliar (100.000.000.000) buah. Ataupun penjelajahan angkasa luar oleh
pesawat tak berawak mampu mendekati/ mendarat di planet tata surya serta
mengirimkan gambar seperti permukaan Mars oleh Viking, cincin Yupiter oleh
Voyager 1 dan 2, dan sebagainya (Soendjojo Dirdjosoemarto dan Abdurachman,
1990: 394 dan 458-464).
Demikian pula halnya dengan peranti alat indra lainnya, selain untuk
mata seperti tersebut di atas, telah/sedang dikembangkan berbagai peranti untuk
membantunya. Iptek membantu mengembangkan peranti yang dapat mengatasi berbagai
kekurangan atau keterbatasan alat indra, dan pada gilirannya, peranti itu
sangat membantu mengembangkan iptek itu sendiri.
Selanjutnya, dari segi landasan
epistemologis, cara yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan yang disebut ilmu
pengetahuan tersebut telah mengalami perkembangan yang pesat. Berabad-abad
lamanya orang berpegang sepenuhnya pada metode deduksi ala Aristoteles. Pada
permulaan abad ketujuh belas, Francis Bacon memelopori metode induktif yang menekankan bukti-bukti
empiris sebagai batu uji kebenaran. Tentang hal tersebut Bertrand Russel (1953)
melukiskan secara humoris tetapi tepat sebagai berikut: “Untuk manusia modern
yang terdidik, seakan akan suatu hal
yang biasa bahwa kebenaran
suatu fakta harus
ditentukan oleh pengamatan, dan
tidak berdasarkan pada konsultasi dengan seorang ahli.” Walaupun
begitu, hal ini
benar-benar adalah suatu konsepsi
modern, sesuatu yang hampir tidak pernah dilakukan sebelum abad ketujuh
belas. Aristoteles bersikeras bahwa wanita mempunyai gigi yang lebih sedikit
dari laki-laki; dan meskipun dia pernah kawin dua kali, tak pernah terlintas dalam
pikirannya untuk menguji pendapatnya dengan mengamati mulut istrinya (dari
Mouly, 1963: 87-88). Meskipun pendekatan induktif merupakan loncatan penting
akan tetapi belum memadai. “Sekarang kita sadari dengan sepenuhnya betapa
salahnya para ahli teori yang berpendapat bahwa teori datang secara induktif
dari pengalaman”, demikian pendapat Einstein (1936, dari Mouly 1963: 90). Oleh karena itu, sejak Charles
Darwin memelopori penggabungan metode deduktif dan metode induktif, dan
dengan pengajuan hipotesis, maka
sekarang dikenal sebagai daur hipotetiko-dedukto-verifikatif dalam metode
ilmiah (Filsafat Ilmu, 1981: 15 dan 156), ataupun Model Induktif-Hipotetiko-Deduktif
dalam proses penelitian (Raka Joni,
1984: 6). Perkembangan ilmu yang terakhir ini ialah penyusunan suatu
teori atau ilmu teoretis sebagai kerangka pemikiran yang menjelaskan gejala dan
hubungan yang diperoleh dalam pengujian empiris, dan selanjutnya dapat meramalkan
dan menentukan cara mengontrol hal-hal itu. “Tahap yang maju ini kelihatannya
akan lebih mampu dicapai dalam ilmu-ilmu alam dibandingkan dengan ilmu-ilmu
sosial” (Mouly, 1963: 96).
Dan
akhimya landasan aksiologis
atau untuk apa
iptek itu dipergunakan, yang
mempersoalkan tentang penggunaan iptek tersebut secara moral tertuju pada
kemaslahatan manusia. Terdapat serangkaian kegiatan pengembangan dan pemanfaatan iptek, yakni:
(1) Penelitian dasar (basic research)
(2) Penelitian
terapan (applied research).
(3) Pengembangan
teknologi (technological
development).
(4) Penerapan teknologi.
Biasanya langkah-langkah tersebut diikuti oleh langkah
evaluasi, apakah hasil iptek tersebut dapat diterima masyarakat, umpamanya dari
segi etis-politis-religius-dan sebagainya. Karena perkembangan iptek yang makin
dipercepat dan global, maka terdapat kecenderungan yang kuat agar penilaian
tersebut dimulai sedini mungkin, dimulai dengan pengarahan awal, dilanjutkan
dengan pemantauan selama rangkaian kegiatan itu berlangsung, dan akhirnya penilaian akhir seperti tersebut di atas (Filsafat Ilmu,
1981: 15 dan 166-167). Hal tersebut sangat penting karena masyarakat masa depan
adalah masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh iptek, yang akan lebih
membenarkan ucapan Francis Bacon bahwa “ilmu adalah kekuasaan.” Dan kalau ilmu adalah
kekuasaan maka teknologi merupakan alat kekuasaan atas :
(i) Manusia, yakni demi
kemaslahatan atau sebaliknya mengekspioitasi manusia itu.
(ii) Kebudayaan, yakni memperkaya dan memperkuat kebudayaan atau
melunturkan nilai-nilai budaya yang dapat menimbulkan krisis identitas budaya.
(iii) Alam, yakni memanfaatkan sambil menjaga kelestariannya ataukah
memusnahkan seluruh kehidupan di bumi (Filsafat Ilmu, 1981: 164-166). Oleh
karena itu, penguasaan iptek merupakan salah satu kunci keberhasilan masyarakat
kita di masa depan.
Telah dikemukakan bahwa globalisasi
perkembangan iptek yang cepat tersebut adalah peluang dan tantangan. Terbuka
peluang bagi kita untuk mengikuti perkembangan iptek tersebut secara dini. Sebaliknya, apabila masyarakat
belum siap menerimanya, maka akan berubah menjadi tantangan. Bahkan dapat terjadi
kesenjangan antara ilmuwan di satu pihak dan masyarakat luas di lain pihak.
Untuk latar negara-negara Barat, C.P. Snow dalam The Two Cultures (1963,
dari Filsafat Ilmu, 1981: 149) mengingatkan adanya dua pola kebudayaan dalam
masyarakatnya, yakni masyarakat ilmuwan dan masyarakat terdidik nonilmuwan (scientific
and literary communities), yang akan menghambat kemajuan baik iptek siaran
langsung dari berbagai penjuru dunia tentang berbagai peristiwa penting yang
sedang terjadi, ataupun wawancara jarak jauh melalui televisi. Hal itu mau tak
mau telah memaksa kita mempunyai konsep baru tentang berita, yakni bukan apa
yang telah terjadi tetapi apa yang sedang terjadi. Demikian pula
kekuatan pengaruh dari gambar yang ditayangkannya, tidak sekadar menyentuh
aspek kognitif tetapi juga aspek afektif (umpamanya tentang kelaparan di suatu
negara). Demikian pula rekaman lagu yang disertai gambar-gambar dalam rekaman
video akan lebih menyentuh keutuhan pribadi pemirsanya.
Seperti sering dikemukakan bahwa “actions speak louder
than words” ataupun “one picture is worth a thousand words” (Komunikasi
Pendidikan, 1982/1983: 9), maka penggunaan kombinasi audio dan video makin
memegang peranan penting.
Meskipun teknologi komunikasi dan
informasi telah mengalami perkembangan yang cepat, namun belum merata pada
semua negara. Alih teknologi ke negara berkembang berjalan relatif sangat
lambat, dan arus informasi didominasi oleh beberapa negara maju. Oleh karena
itu, diperlukan berbagai upaya untuk merebut teknologi
tersebut. Terdapat beberapa faktor yang harus diperhatikan (Dirjen Pembinaan
Pers dan Grafika, 1992: 18-20) dalam upaya-upaya tersebut, seperti:
(1) Pengembangan teknologi
satelit yang mutakhir.
(2) Penggunaan teknologi digital yang mampu menyalurkan sinyal yang
beragam (suara, video, dan data) menuju bentuk ISDN (integrated service
digital network) yang dikelola dengan sistem komputer (muncul kini istilah
“communication” “atau” C & C” singkatan dari “computer and
communication).
(3) Di bidang media cetak antara lain penggunaan VDT (video display
terminal), surat kabar elektronik, dan sistem cetak jarak jauh.
(4) Di bidang media elektronik antara lain penggunaan DBS (direct
broadcast satellite), penggunaan HDTV (high definition television), dan
sebagainya. Kesemuanya itu akan mempercepat terwujudnya suatu masyarakat
informasi, sebagai masyarakat masa depan.
3. Peningkatan
Layanan Profesional
Salah satu ciri penting masyarakat
masa depan adalah meningkatnya kebutuhan layanan profesional dalam berbagai
bidang kehidupan manusia. Karena perkembangan iptek yang makin cepat serta
perkembangan arus informasi yang semakin padat dan cepat, maka anggota masyarakat
masa /depan semakin luas wawasan dan pengetahuannya serta daya kritis yang
/semakin tinggi. Oleh karena itu, manusia masa depan tersebut makin / menuntut
suatu kualitas hidup yang lebih baik, termasuk berbagai layanan yang
dibutuhkannya. Layanan yang diberikan
oleh pemangku profesi tertentu, atau layanan profesional, akan semakin penting
untuk kebutuhan masyarakat tersebut.
Profesi adalah suatu lapangan
pekerjaan dengan persyaratan tertentu, “suatu vokasi khusus yang mempunyai ciri-ciri;Expertise
(keahlian), responsibility (tanggung jawab), corporateness (kesejawatan)”
(Hunting-ton, 1964, dari Nugroho Notosusanto, 1984: 16). Profesi sebagai suatu
vokasi (vocation) yang memerlukan teknik dan prosedur kerja yang harus
dipelajari secara sengaja dan dalam jangka waktu tertentu untuk diabdikan
sebagai layanan untuk kemaslahatan orang lain, serta ditandai oleh ketanggapan
yang bijaksana (informed responsiveness) yang didasari oleh filosofi
tentang pekerjaannya (Me Cully, 1969, dari T. Raka Joni, 1981: 3). Robert W.
Richey (1974) dan D. Westby-Gibson (1965) mengemukakan berbagai ciri profesi
(dari Profesionalisasi Jabatan Guru, 1983: 4-6) yaitu :
a. Lebih mengutamakan pelayanan kemanusiaan yang ideal, dan layanan
itu memperoleh pengakuan masyarakat (harus dilakukan oleh pemangku
profesi tersebut).
b. Terdapat sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan dari sejumlah
teknik dan prosedur yang unik, serta diperlukan waktu yang relatif panjang
untuk mempelajarinya sebagai periode persiapan yang sengaja dan sistematis agar
mampu melaksanakan layanan itu (pendidikan/pelatihan prajabatan).
c. Terdapat suatu mekanisme saringan berdasarkan kualifikasi
tertentu, sehingga hanya yang kompeten yang diperbolehkan melaksanakan layanan
profesi itu.
d, Terdapat suatu kode etik profesi yang mengatur keanggotaan, serta
tingkah laku, sikap dan cara kerja dari anggotanya itu.
e. Terdapat organisasi profesi yang akan berfungsi
menjaga/meningkatkan layanan profesi, dan melindungi kepentingan serta
kesejahteraan anggotanya.
f. Pemangku profesi memandang profesinya sebagai suatu karier hidup
dan menjadi seorang anggota yang relatif permanen, serta mempunyai kemandirian
dalam melaksanakan profesinya dan untuk mengembangkan kemampuan profesionalnya
sendiri.
Berdasarkan paparan di atas ternyata
bahwa status profesional memerlukan persyaratan yang berat, sehingga tidak
semua jenis pekerjaan dapat memperolehnya.
Diperlukan suatu perjuangan panjang yang menerus dan bertahap melalui semi profesional agar dapat diakui
sebagai profesional penuh. Howsam,
et.al. (1976: 7-9) mengemukakan suatu pandangan historis tentang profesi dengan mengemukakan lima lingkaran
konsentris dari titik
tengah berturut-turut :
(1) Profesi tertua yakni hukum, kesehatan, teologi, dan
dosen.
(2) Profesi baru yakni arsitektur, insinyur (engineering),
dan optometri.
(3) Pekerjaan yang segera diakui sebagai profesi (emergent
professions), umpamanya pekerja sosial yang masih semiprofesional akan
segera diakui sebagai profesional.
(4) Semi profesional.
(5) Pekerjaan biasa yang tidak berusaha memperoleh status
profesional.
Berdasarkan pendapat tersebut ternyata
bahwa proses profesionalisasi terus berlangsung, dan dalam masyarakat di masa
depan hal itu semakin memegang peranan penting.
Profesionalisasi merupakan proses
pemantapan profesi sehingga memperoleh status yang melembaga sebagai
profesional (Nugroho Notosusanto, 1984: 13-16), di dalamnya akan terkait dengan
permasalahan akreditasi, sertifikasi, dan izin praktek. Mc Cully (1969, dari T. Raka Joni,
1981: 5-8) mengemukakan enam tahap dalam proses profesionalisasi yakni :
a. Penetapan dan pemantapan layanan unik yang diberikan oleh suatu
profesi sehingga memperoleh pengakuan masyarakat dan pemerintah. Sekedar
contoh: Layanan unik dari para dokter, dan apabila dilakukan oleh pihak lain,
akan dituduh sebagai “dokter palsu”.
b. Penyepakatan antara kelompok profesi dan lembaga pendidikan
prajabatan tentang standar kompetensi minimal yang harus dimiliki oleh setiap
calon profesi tersebut.
c. Akreditas, yakni pengakuan resmi tentang kelayakan suatu program
pendidikan prajabatan yang ditugasi menghasilkan calon tenaga profesi yang
bersangkutan. Penilaian kelayakan itu meliputi antara lain: Tujuan dan filosofi
pendidikannya, isi program, fasilitas pendukung, ketenagaan, pelaksanaan program,
dan sebagainya.
d. Mekanisme sertifikasi dan pemberian izin praktek.
Sertifikasi merupakan pengakuan resmi kepada
seseorang yang memiliki kompetensi yang diprasyaratkan oleh profesi tertentu.
Meskipun demikian, tenaga pemula tersebut harus dapat membuktikan
kemandiriannya dalam memberikan layanan sesuai dengan kode etik profesi sebelum
memperoleh rekomendasi organisasi profesi untuk mendapatkan izin praktek (licence). Hal terakhir itu bertujuan
melindungi masyarakat dalam upaya memperoleh layanan yang bermutu.
e. Baik secara perseorangan maupun secara kelompok, pemangku profesi
bertanggung jawab penuh terhadap segala aspek pelaksanaan tugasnya yakni
kebebasan mengambil keputusan secara profesional. Penilaian pihak lain haruslah berupa
penilaian sesama ahli yang sederajat. “Independent judgement” merupakan ciri esensial dari
profesionalitas.
f. Kelompok profesional memiliki kode etik,
yang berfungsi ganda, yakni:
(1) Perlindungan terhadap masyarakat
agar memperoleh layanan yang bermutu.
(2) Perlindungan dan pedoman
peningkatan kualitas anggota.
Seperti telah dikemukakan sebelumnya
bahwa masyarakat masa depan dengan kecenderungan globalisasi, utamanya dalam
perkembangan iptek dan arus informasi yang makin dipercepat, akan menjadi
masyarakat yang menuntut kualitas layanan profesional yang optimal. Hal itu
harus diimbangi dengan peningkatan kualitas tenaga profesional secara berencana
dan sistematis, baik pada pendidikan prajabatan maupun pendidikan dalam
jabatan. Pembinaan tersebut meliputi semua
aspek ketenagaan, baik aspek wawasan maupun aspek teknis dan prosedur kerja
dari layanan tersebut. Sehubungan dengan kecenderungan permasalahan manusia
yang bersifat holistik dan memerlukan penanganan multidisiplin, maka tuntutan
mutu layanan profesional tersebut semakin tinggi pula. Hal itu menuntut suatu kerja sama
antartenaga profesional yang semakin erat.
Dengan
demikian, kualitas hidup dan kehidupan manusia dalam masyarakat di masa depan
akan lebih baik lagi.
B. Upaya Pendidikan dalam Mengantisipasi Masa Depan
Masyarakat masa depan dengan
ciri globalisasi, kemajuan iptek, dan kesempatan menerima arus informasi yang
padat dan cepat, dan sebagainya, tentulah memerlukan warga yang mau dan mampu
menghadapi segala permasalahan serta siap menyesuaikan diri dengan situasi baru
tersebut. Pendidikan berkewajiban
mempersiapkan generasi baru yang sanggup menghadapi tantangan zaman baru yang
akan datang. Seperti telah dikemukakan, manusia masa depan yang harus
dihasilkan oleh pendidikan antara lain manusia yang melek teknologi dan melek
pikir yang keseluruhannya disebut melek kebudayaan, yang mampu “think
globally but act locally”, dan sebagainya. Pembangunan manusia masa depan
seutuhnya mempersyaratkan upaya pembaruan pendidikan. Edgar Faure dalam
surat (18 Mei 1972) yang mengantar
laporan Komisi Internasional Pengembangan Pendidikan yang diketuainya, yang
dikirim kepada Direktur Jenderal UNESCO, mengemukakan bahwa “rumusan-rumusan
tradisional dan perbaikan-perbaikan
sebagian, tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan yang belum pernah ada, yang
timbul dari tugas dan fungsi baru yang harus dipenuhi (Faure, et.al.,
1972/1981: vii).” Seperti diketahui laporan komisi tersebut
bergema ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, yang telah
mendorong upaya-upaya pembaruan pendidikan seumur hidup untuk membangun manusia seutuhnya serta mewujudkan
suatu masyarakat belajar, dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan dalam
masyarakat yang sedang berubah dengan cepat haruslah dilakukan secara
menyeluruh dengan pendekatan sistematis-sistematik. Pendekatan sistematis
adalah pengembangan pendidikan dilakukan secara teratur melalui perencanaan
yang bertahap; sedang sistematik menunjuk pada pendekatan sistem dalam proses
berpikir yang mengaitkan secara fungsional semua aspek dalam pembaruan
pendidikan tersebut (Depdikbud, 1991/1992a: 21). Penggarapan pembaruan
pendidikan tersebut harus menyeluruh, mulai pada lapis sistem/nasional, lapis
institusional, sampai pada lapis individual (Charters dan Jones, 1973), dari,
Raka Joni, 1983: 24). Pada lapis sistem, secara nasional telah ditetapkan
serangkaian kebijakan yang dituangkan ke dalam sejumlah perundang-undangan,
utamanya UU-RI No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas beserta
serangkaian peraturan pelaksanaannya. Penggarapan pada lapis
institusional berkaitan dengan
aspek kelembagaan seperti: Kurikulum, struktur dan mekanisme
pengelolaan, sarana-prasarana, dan lain-lain. Akhirnya pada lapis individual,
penggarapan upaya pembaruan terkait dengan semua personal yang terlibat dalam
pendidikan, utamanya guru dan siswa,
meliputi baik pengetahuan dan
keterampilan maupun wawasan serta
sikapnya. Keberhasilan pengembangan pendidikan tersebut tergantung pada
keserasian penggarapan ketiga lapisan itu; tidak cukup hanya pada tingkat pengambilan
keputusan (umpama dengan keputusan menteri) tetapi harus secara serentak dengan
penyiapan kelembagaan dan ketenagaan.
Keberhasilan antisipasi
terhadap masa depan pada akhirnya ditentukan oleh kualitas manusia yang
dihasilkan oleh pendidikan. Seperti diketahui, dengan telah ditetapkannya UU RI
No. 2 Tahun 1989 beserta peraturan laksanaannya maka telah dimantapkan kerangka
landasan pembangunan; sektor pendidikan
untuk bersama-sama dengan
sektor lainnya akan memberikan
dasar yang lebih kuat bagi proses
tinggal landas dalam pembangunan
jangka panjang kedua (1994-2019). Pembangunan manusia Indonesia seutuhnya
merupakan kunci keberhasilan bangsa dan negara Indonesia dalam abad 21 yang akan datang. Oleh karena itu, kajian selanjutnya adalah :
(1) Tuntutan
bagi manusia masa depan.
(2) Upaya
mengantisipasi masa depan, utamanya yang berhubungan dengan perubahan nilai dan
sikap sebagai manusia modern, pengembangan kehidupan dan kebudayaan, serta
pengembangan sarana pendidikan. Kajian itu didasarkan pada perkiraan tentang
manusia dan masyarakat di masa depan.
Dengan demikian, isi paparan ini harus dikaji dan diuji dengan kenyataan-kenyataan
yang terjadi pada saat paparan ini dibaca.
1. Tuntutan bagi Manusia Masa Depan (Manusia
Modern)
Dalam pembicaraan tentang perkiraan masyarakat
masa depan, secara tersirat telah pula dibicarakan tentang tantangan-tantangan
yang akan dihadapi manusia masa depan, seperti: Kemampuan menyesuaikan
diri dan memanfaatkan peluang
globalisasi dalam berbagai bidang, wawasan
dan pengetahuan yang memadai tentang iptek umpamanya melek teknologi
tanpa harus menjadi pakar iptek, kemampuan menyaring dan memanfaatkan arus
informasi yang semakin padat dan cepat, dan kemampuan bekerja efisien sebagai
cikal bakal kemampuan profesional. Keempat tantangan tersebut merupakan gejala
konstelasi dunia masa kini dan masa depan, dan oleh karena itu, manusia
Indonesia perlu berupaya /untuk menyesuaikan diri sehingga menjadi manusia
modern. Setiap upaya manusia untuk menyesuaikan diri terhadap konstelasi dunia
pada masanya (pada masa lampau, kini, ataupun datang) adalah proses modernisasi
(Koentjaraningrat, 1974: 131-136).
Kalau dalam abad ke-20 acuan modernisasi terutama ialah kawasan Eropa
Barat dan Amerika Serikat, dalam abad ke-21 acuan tersebut dapat bertambah
dengan Jepang, Korea Selatan, atau negara maju
lainnya.
Berdasarkan acuan normatif yang
berlaku (UU RI No. 2/1989 beserta peraturan pelaksanaannya) telah ditetapkan
rumusan tujuan pendidikan di Indonesia, yang dapat dianggap sebagai profil
manusia Indonesia di masa depan. Salah satu ketentuan penting dalam perundang-undangan
tersebut adalah ketetapan pendidikan dasar 9 (sembilan) tahun, yakni 6 tahun
di sekolah dasar (penggalan pertama) dan
3 tahun di sekolah lanjutan pertama
(penggalan kedua). Menjelang PJP II telah diambil langkah persiapan kewajiban
belajar 9 tahun, sebagai peningkatan kewajiban
belajar yang telah berhasil dilaksanakan sebelumnya (hanya 6 tahun). Dengan
pendidikan dasar 9 tahun tersebut (SD dan SLTP) diharapkan setiap manusia
Indonesia akan mempunyai bekal dasar yang memadai sebagai individu, warga
masyarakat, warga negara, dan bahkan warga dunia. Dalam penjelasan PP RI No: 28
Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar (yakni Penjelasan Pasal 3) dikemukakan rincian
tujuan-tujuan pendidikan dasar tersebut (Undang-Undang, 1992: 79-80) sebagai
berikut :
a. Pengembangan kehidupan siswa sebagai pribadi sekurang-kurangnya
mencakup upaya untuk:
1) Memperkuat dasar keimanan dan ketakwaan;
2) Membiasakan untuk berperilaku yang baik;
3) Memberikan pengetahuan dan keterampilan
dasar;
4) Memelihara kesehatan jasmani dan rohani;
5) Memberikan kemampuan untuk belajar; dan
6) Membentuk kemampuan untuk belajar.
b. Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai anggota masyarakat
sekurang-kurangnya mencakup upaya untuk :
1) Memperkuat kesadaran hidup beragama dalam masyarakat ;
2) Menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam
masyarakat; dan
3) Memberikan pengetahuan dan
keterampilan dasar yang diperlukan untuk berperan serta dalam kehidupan
bermasyarakat.
c. Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai warga negara sekurang-kurangnya
mencakup upaya untuk :
1) Mengembangkan perhatian dan pengetahuan tentang hak dan kewajiban
sebagai warga negara Republik Indonesia;
2) Menanamkan rasa ikut bertanggung jawab terhadap kemajuan bangsa dan
negara; dan
3) Memberikan pengetahuan dan keterampilan dasar yang diperlukan untuk
berperan serta dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
d. Pengembangan kehidupan peserta didik sebagai anggota umat manusia
mencakup upaya untuk:
1) Meningkatkan harga diri sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat;
2) Meningkatkan kesadaran tentang hak asasi manusia;
3) Memberikan pengertian tentang ketertiban dunia; dan
4) Meningkatkan kesadaran pentingnya persahabatan antarbangsa.
e. Mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah
dalam menguasai kurikulum yang disyaratkan.
Rincian tujuan-tujuan pendidikan dasar
tersebut di atas, dapat dipandang sebagai profil dasar manusia Indonesia di
masa kini dan masa depan, melingkupi dua sisi utama dari setiap upaya
pendidikan, yakni pengembangan pribadi manusia dan penguasaan iptek. Menurut
Fuad Hassan upaya pendidikan dalam pemantapan kesejatian diri (being) lebih
penting daripada apa yang tergolong sebagai milik (having) yakni aspek
penguasaan iptek. Sebab segala pemilikan itu tak lain dari “perpanjangan” dari
suatu pusat yang sadar akan diri pribadinya untuk “menjadi orang Indonesia”.
Selanjutnya ditegaskan bahwa “membangun manusia Indonesia seutuhnya ialah manusia
Indonesia sebagai fakta apriori yang kemudian dibangun dengan bekal ilmu
pengetahuan dan teknologi serta keahlian dan kemahiran lainnya sebagai fakta aposteriori”
(Fuad Hassan, 1986 : 40).
Untuk jenjang pendidikan
dasar hal itu
berarti bahwa kemampuan dasar
sebagai manusia Pancasila yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dasar akan
siap untuk :
(i) Memasuki lapangan kerja
sebagai manusia pembangunan
setelah melalui orientasi dan/atau pelatihan tambahan sesuai dengan
kebutuhan.
(ii) Melanjutkan ke pendidikan menengah.
Tuntutan manusia Indonesia di masa
depan, setelah kemampuan dasar tersebut di atas, terutama diarahkan kepada
pembekalan kemampuan yang sangat diperlukan untuk menyesuaikan diri dengan
keadaan di masa depan tersebut. Beberapa di antaranya seperti :
(1) Ketanggapan terhadap berbagai masalah sosial, politik, kultural.
dan lingkungan.
(2) Kreativitas di dalam menemukan alternatif pemecahannya.
(3) Efisiensi dan etos kerja yang tinggi (Sekretariat Bersama, 1989:
10).
Bertolak dari tesis ketidakpastian,
Makaminan Makagiansar (1990: 5-6)
mengemukakan pentingnya mengembangkan empat hal pada peserta didik, yakni :
(1) Kemampuan mengantisipasi (anticipate) perkembangan
berdasarkan ilmu pengetahuan.
(2) Kemampuan dan sikap untuk mengerti dan
mengatasi situasi (cope).
(3) Kemampuan mengakomodasi (accomodate), utamanya
perkembangan iptek serta perubahan yang diakibatkannya.
(4) Kemampuan mereorientasi (reorient), utamanya
kemampuan seleksi (filter) terhadap arus informasi yang membombardirnya.
Akhirnya dikemukakan
pendapat Mayjen Sajidiman (1972: 10-11) yang menekankan kemampuan yang
diperlukan manusia Indonesia berdasarkan fungsinya, yakni :
(a) Pekerja yang terampil yang menjadi bagian
utama dari mekanisme produksi (dalam arti luas) yang harus lebih efektif dari
efisien.
(b) Pemimpin dan manajer yang efektif, yang
memiliki kemampuan berpikir, mengambil keputusan yang tepat pada waktunya serta
mengendalikan pelaksanaan dengan cakap dan berwibawa.
(c) Pemikir yang mampu menentukan/memelihara arah
perjalanan dan melihat segala kemungkinan di hari depan.
2. Upaya Mengantisipasi Masa Depan
Berdasarkan perkiraan
tentang masyarakat masa depan serta profil manusia yang diharapkan berhasil di
dalam masyarakat itu maka perlu dikaji berbagai upaya masa kini yang
memungkinkan mewujudkan manusia masa depan tersebut. Meskipun upaya pendidikan
selalu berorientasi kemasa depan, namun peralihan ke abad 21 yang akan datang
ini sangat penting bagi bangsa dan negara Indonesia, karena akan memasuki PJP
sebagai era kebangkitan nasional kedua. Seperti telah dikemukakan bahwa
masyarakat Indonesia sedang beralih dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri dan masyarakat informasi. Oleh karena itu, mengembangkan sumber daya
manusia, utamanya melalui pendidikan sebagai
pilar utama, akan sangat penting.
Dalam penjelasan UU RI
No. 2 Tahun 1989 dikemukakan sebagai berikut:
“Dalam rangka pelaksanaan
pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila di bidang
pendidikan, maka pendidikan nasional mengusahakan : Pertama, pembentukan
manusia Pancasila sebagai manusia pembangunan yang tinggi kualitasnya dan mampu
mandiri, dan kedua, pemberian dukungan bagi perkembangan masyarakat,
bangsa dan negara Indonesia yang terwujud dalam ketahanan nasional yang
tangguh ...... (Undang-Undang, 1992:
24). Dari penjelasan itu ternyata bahwa fungsi pendidikan (jalur sekolah dan
luar sekolah) diarahkan bukan hanya untuk pembangunan/manusia saja tetapi juga
ikut serta dalam pembangunan masyarakat. Oleh karena itu, kajian tentang upaya
mengantisipasi masa depan melalui pendidikan akan diarahkan pada:
(a) Aspek yang paling berperan dalam individu
untuk memberi arah antisipasi tersebut
yakni nilai dan sikap.
(b) Pengembangan budaya dan sarana kehidupan.
(c) Tentang pendidikan itu sendiri, utamanya
pengembangan sarana pendidikan. Ketiga hal tersebut merupakan titik strategi
dalam mengantisipasi masa depan tersebut.
a. Perubahan Nilai dan Sikap
Nilai dan sikap
memegang peranan penting dalam menentukan wawasan dan perilaku manusia. Nilai
merupakan norma, acuan yang seharusnya, dan atau kaidah yang akan menjadi
rujukan perilaku. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari berbagai hal,
seperti agama, hukum, adat istiadat, moral, dan sebagainya, baik yang tertulis
maupun yang tidak tertulis. Bagi bangsa Indonesia dengan masyarakat yang
majemuk terjadi variasi sistem nilai dan tata kelakuan (sebagai wujud ideal
dari kebudayaan nusantara). Meskipun bhinneka namun bangsa Indonesia bertekad
tunggal ika dengan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan
dasar negara Indonesia. Ketetapan MPR RI No. D/MPR/78 telah menetapkan dalam
Pasal 4 sebagai berikut: “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila ini
merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara bagi setiap warga negara Indonesia, ......
(Ketetapan-Ketetapan,
1978:51).” Pemasyarakatan ekaprasetia pancakarsa tersebut semakin penting di
masa depan karena makin gencarnya globalisasi, utamanya dalam arus informasi
yang makin padat dan cepat. Setiap anggota masyarakat dan warga negara
Indonesia harus mau dan mampu menggunakan nilai-nilai luhur bangsanya sebagai
filter dalam menghadapi globalisasi tersebut.
Salah satu pengaruh
nilai-nilai tersebut akan tampak dalam sikap (attitude) seseorang. Kalau
nilai masih bersifat “umum”, maka sikap selalu terkait dengan objek tertentu
dan disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap
objek tersebut (dapat positif ataupun negatif). Sebagai kemampuan internal, sikap
akan sangat berperan menentukan apabila terbuka, kemungkinan berbagai
alternatif untuk bertindak. Dalam sikap dapat dibedakan tiga aspek, yakni :
(1) Aspek kognitif seperti pemahaman tentang objek
sikap.
(2) Aspek afektif yang sangat dipengaruhi oleh nilai
dan dapat sangat subjektif seperti setuju atau tak setuju, suka atau benci, dan
sebagainya.
(3) Aspek konatif yang mendorong untuk bertindak
sesuai dengan sikap terhadap objek tersebut. Ketiga aspek tersebut pada
dasarnya terpadu dalam membentuk sikap seseorang. Terdapat beberapa ciri dari
sikap, antara lain: Sesuatu yang dibentuk/dipelajari, dapat diubah namun
prosesnya dapat berlangsung sangat lambat, selalu mempunyai segi-segi perasaan
dan motivasi, serta objeknya dapat berupa satu hal tertentu atau kumpulan dari
hal tersebut.
Pembentukan/pengubahan
nilai dan sikap dalam diri seseorang dapat dilakukan dengan berbagai cara,
seperti pembiasaan, internalisasi nilai melalui ganjaran-hukuman, keteladanan
(modeling), teknik klarifikasi nilai, dan sebagainya. Perlu ditekankan bahwa
setiap cara tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan, sehingga hasil belajar
berupa nilai dan sikap pada dasarnya adalah hasil akumulasi dari berbagai
kegiatan belajar, baik sebagai dampak instruksional ataupun dampak pengiring (nurturant
effect). Hasil belajar berupa nilai dan sikap dapat dikategorikan dalam
kawasan (ranah) afektif. Taksonomi tujuan pendidikan dalam ranah afektif
tersebut dikemukakan antara lain oleh Krathwohl, Bloom, dan Masia (1964, dari
Bloom, Hastings, dan Madaus, 1971: 229) yang menekankan proses internalisasi
yang kontinu dari yang rendah sampai yang tertinggi sebagai berikut :
(1) Penerimaan (receiving, attending).
(2) Penanggapan (responding).
(3) Penilaian, peyakinan (valuing).
(4) Pengorganisasian, konseptualisasi (organization).
(5) Pewatakan, pemeranan (characterization). Sasaran akhir pembentukan/ pengubahan nilai
dan sikap adalah bahwa suatu norma sebagai acuan perilaku telah terwujud dalam
perilaku sehari-hari secara konsisten; dengan kata lain, sistem nilai telah
terbentuk dan mewarnai pandangan hidup dan perilaku seseorang dalam hidupnya.
Perubahan nilai dan sikap
dalam rangka mengantisipasi masa depan haruslah diupayakan sedemikian rupa
sehingga dapat diwujudkan keseimbangan dan keserasian antara aspek pelestarian
dan aspek pembaruan. Nilai-nilai luhur yang mendasari kepribadian dan
kebudayaan Indonesia seyogyanya akan tetap dilestarikan, agar terhindar dari
krisis identitas. Sebagai suatu masyarakat pluralistik, puncak-puncak budaya
nusantara seharusnya dikembangkan untuk memantapkan dan memperkaya kebudayaan
Indonesia. Dengan kata lain, muatan lokal dalam program pendidikan haruslah
dilakukan sedemikian rupa sehingga melengkapi dan memperkuat muatan nasional
dalam memilih dan memilah pengaruh global. Di sisi lain, yang harus serentak
dengannya, ialah aspek pembaruan merujuk pada upaya mengadakan penyesuaian
dengan tuntutan dan kebutuhan zaman yakni suatu “budaya dunia”, seperti
rasional, efisiensi, efektivitas, terbuka menerima iptek, dan sebagainya. Oleh
karena itu, “pendidikan harus selalu menjaga secara seimbang pembentukan
kemampuan mempertanyakan, di samping kemampuan menerima dan mempertahankan”
(Raka Joni, 1983: 54). Keserasian dan keselarasan antara pelestarian dan
pembaruan nilai dan sikap tersebut yang akan memberi peluang keberhasilan
menjemput masa depan itu.
b. Pengembangan Kebudayaan
Salah satu upaya penting dalam
mengantisipasi masa depan adalah upaya yang berkaitan dengan pengembangan
kebudayaan dalam arti luas, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan sarana
kehidupan manusia. Seperti telah dikemukakan, kebudayaan mencakup unsur-unsur mulai dari sistem
religi, kemasyarakatan, pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencarian, sampai
dengan sistem teknologi dan peralatan (Koentjaraningrat, 1974: 12).
Unsur terakhir tersebutlah yang paling mudah berubah dibandingkan dengan
unsur lainnya; akan tetapi. perubahan masyarakat Indonesia dari masyarakat
pertanian ke masyarakat industri dan masyarakat informasi telah menyebabkan keseluruhan unsur-unsur
tersebut akan mengalami pengaruh yang
kuat. Oleh karena itu, manusia Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh budaya
setempat (sesuai dengan etnis yang ada di Nusantara) dan budaya Indonesia (yang
berkembang dari puncak budaya-budaya Nusantara itu), tetapi juga menerima
berbagai pengaruh “budaya dunia”
(Refleksi, 1990: 3-4). Dalam menghadapi berbagai pengaruh tersebut
setiap individu diharapkan dapat menyelaraskannya dengan baik, agar
dapat menyesuaikan diri dengan dunia yang selalu berubah tersebut dengan berhasil.
Saling pengaruh dalam
pengembangan kebudayaan di dunia ini, merupakan hal yang lumrah. Dalam sejarah
tercatat bagaimana puncak kebudayaan pada suatu wilayah tertentu akan
mempengaruhi kebudayaan lain di dunia ini. Berkaitan dengan hal itu UNESCO
telah menetapkan konsep Dasawarsa Kebudayaan Sedunia yang menekankan bahwa
pengembangan kebudayaan dunia masa kini harus meliputi empat dimensi (Makaminan
Makagiansar, 1990: 7) yakni :
1) Afirmasi atau penegasan dimensi budaya dalam proses pembangunan,
karena pembangunan akan hampa jika tidak diilhami oleh kebudayaan
masyarakat/bangsa yang bersangkutan.
2) Mereafirmasi dan mengembangkan identitas budaya, dan setiap
kelompok manusia berhak diakui identitas budayanya.
3) Partisipasi, yakni dalam pengembangan suatu bangsa dan negara maka
partisipasi yang optimal dari masyarakat adalah mutlak perlu.
4) Memajukan kerja sama budaya antarbangsa yang merupakan tuntutan
mutlak dalam era globalisasi.
Bagi bangsa Indonesia yang
sedang berubah secara serentak dari masyarakat pertanian ke masyarakat industri
dan masyarakat informasi, ketahanan budaya akan memegang peranan penting.
Pelestarian nilai-nilai luhur Pancasila sebagai inti ketahanan budaya tersebut
menjadi acuan pokok dalam memilih dan memilah segala pengaruh yang datang agar
tidak terjadi krisis identitas bangsa Indonesia. Karena dewasa ini tidak
mungkin lagi menutup diri terhadap pengaruh kebudayaan lain. Oleh karena itu,
yang dibutuhkan adalah memperkuat ketahanan budaya, sehingga dapat memanfaatkan
pengaruh yang positif serta menghindari/memperkecil pengaruh negatif dari
kebudayaan lain tersebut. Peranan pendidikan merupakan faktor menentukan dalam
membangun dan memperkuat ketahanan budaya tersebut.
c.
Pengembangan Sarana Pendidikan
Pendidikan merupakan salah
satu pilar utama dalam mengantisipasi masa depan, karena pendidikan selalu
diorientasikan pada penyiapan peserta didik untuk berperan di masa yang akan
datang. Oleh karena itu, pengembangan sarana pendidikan sebagai salah satu
prasyarat utama untuk menjemput masa depan dengan segala kesempatan dan
tantangannya. Seperti telah dikemukakan, menjelang pelaksanaan PJP II, sektor
pendidikan telah meletakkan kerangka dasar pengembangannya melalui seperangkat
perundang-undangan (UU RI No.2 Tahun 1989 beserta peraturan pelaksanaannya).
Dengan penetapan kerangka dasar tersebut maka pendidikan mempunyai suatu acuan
dalam penyesuaian dengan keadaan yang selalu berubah, utamanya perkembangan
masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia di masa yang akan datang (Undang-Undang,
1992: 27). Seperti diketahui, meskipun Menteri Dikbud yang bertanggung jawab
atas bidang pendidikan nasional, akan tetapi penyelenggaraannya tersebar di
berbagai lembaga pendidikan, baik jalur sekolah maupun jalur luar sekolah, serta
dikelola oleh berbagai pihak (Depdikbud, Pemerintah Non-Depdikbud, dan
Masyarakat). Acuan bersama tersebut sangat penting, utamanya dalam pengembangan
sarana pendidikan baik perangkat lunak maupun perangkat keras.
Salah satu kebijakan penting
menjelang PJP II tersebut adalah yang berkaitan dengan pendidikan dasar, yakni
perubahan pendidikan dasar dari 6 tahun menjadi 9 tahun (6 tahun di SD dan 3
tahun di SLTP), serta perubahan kualifikasi awal guru SD dari pendidikan
menengah (SPG dan sederajat) menjadi pendidikan tinggi (diploma dua, yang kelak
dapat dikembangkan menjadi sarjana).
Kebijakan itu diiringi pula
dengan penetapan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun. Kebijakan ini
merupakan awal dari serangkaian kebijakan yang akan bermuara pada peningkatan
sumber daya manusia, yaitu manusia Indonesia yang menguasai iptek yang akan
mampu “think globally but act locally” (Mochtar Buchori, 1990: 17).
Peningkatan mutu pendidikan dasar itu yang wajib diikuti oleh semua warga
negara akan menjadi cikal bakal ke arah: (i) Peningkatan mutu pendidikan
menengah dan tinggi. (ii) Terbentuknya masyarakat terdidik yang mampu terus
belajar mandiri.
Secara tradisional,
permasalahan pendidikan di Indonesia dengan wilayah yang luas dan penduduk yang
besar tetapi tidak merata adalah masalah-masalah kuantitas, kualitas,
pemerataan, dan relevansi. Dalam PJP I banyak hasil yang telah dicapai dalam
pemecahan masalah kuantitas beserta pemerataannya, dengan memperluas jangkauan
persekolahan sampai di daerah terpencil melalui beberapa rintisan inovasi,
seperti SD Pamong, SD Kecil, Paket Belajar A, dan sebagainya. Kebijakan ini
akan dilanjutkan dan diperluas dalam PJP II sehingga menjangkau SLTP (wajib
belajar 9 tahun). Demikian pula halnya dengan kualitas dan relevansi pendidikan
dalam PJP I secara terbatas telah dilakukan berbagai upaya rintisan, baik
penyempurnaan kurikulum dan pelaksanaannya maupun yang berkaitan dengan sarana-prasarana
pendukungnya. Beberapa di antaranya yang akan makin diutamakan dalam PJP II adalah lebih memantapkan
kurikulum (baik muatan nasional maupun muatan lokal, ataupun topik inti dan non-inti, dan lain-lain), memantapkan
proses belajar-mengajar (seperti sistem pembinaan profesional cara
belajar siswa aktif atau SPP-CBSA) meningkatkan kualitas tenaga kependidikan
beserta sumber daya pendidikan lainnya.
Khusus untuk menyongsong era globalisasi
yang makin tidak terbendung, terdapat beberapa
hal yang secara khusus memerlukan perhatian dalam bidang pendidikan. Santoso S. Hamijoyo
(1990: 33) mengemukakan lima strategi dasar dalam era globalisasi tersebut
yakni :
1) Pendidikan untuk pengembangan iptek, dipilih
terutama dalam bidang-bidang yang vital/ seperti manufakturing pertanian,
sebagai modal utama menghadapi globalisasi.
2) Pendidikan untuk pengembangan keterampilan
manajemen, termasuk bahasa-bahasa asing yang relevan untuk hubungan perdagangan
dan politik, sebagai instrumen operasional untuk berkiprah dalam globalisasi.
3) Pendidikan untuk pengelolaan kependudukan,
lingkungan, keluarga berencana, dan kesehatan sebagai penangkal terhadap
menurunnya kualitas hidup dan hancurnya sistem pendukung kehidupan manusia.
4) Pendidikan untuk pengembangan sistem nilai,
termasuk filsafat, agama dan ideologi demi ketahanan sosial-budaya termasuk
persatuan dan kesatuan bangsa.
5) Pendidikan untuk mempertinggi mutu tenaga
kependidikan dan kepelatihan, termasuk pengelola sistem pendidikan formal dan
non-formal, demi penggalakan peningkatan pemerataan mutu, relevansi, dan
efisiensi sumber daya manusia secara keseluruhan.
Khusus untuk pendidikan
tinggi, terdapat kecenderungan berkembangnya pola pemecahan masalah secara
multidisiplin. Oleh karena itu, diperlukan suatu program pendidikan yang kuat
dalam dasar keahlian yang akan memperluas wawasan keilmuan dan membuka peluang
kerja sama dengan bidang keahlian lainnya.
*
Tambahan Petunjuk Belajar
1. Anda Tentu sering Mendengar berbagai penemuan baru dalam
IPTEK di seluruh dunia termasuk Indonesia
.
2. Bentuklah kelompok 5-7 orang
3. Setiap kelompok mengidentifikasi dan membandingkan penemuan-penemuan
IPTEK terbaru bangsa Indonesia dan Luar Negeri (dunia)
4. Hasil Identifikasi kelompok di bandingkan kembali dengan
karakter dan budaya bangsa Indonesia
5. Setiap\ kelompok di wajibkan mempertanggungjawabakan hasil
diskusinya di depan kelas.
BAB V
PENGERTIAN, FUNGSI DAN JENIS LINGKUNGAN PENDIDIKAN
Manusia selama hidupnya selalu akan mendapat
pengaruh dari keluarga, sekolah dan masyarakat luas. Ketiga lingkungan itu
sering disebut sebagai tripusat pendidikan, yang akan mempengaruhi manusia
secara bervariasi. Seperti diketahui, setiap bayi manusia dilahirkan dalam
lingkungan keluarga tertentu, yang merupakan lingkungan pendidikan terpenting
sampai anak mulai masuk taman kanak – kanak ataupun sekolah. Oleh karena itu,
keluarga sering dipandang sebagai lingkungan pendidikan pertama dan utama. Makin bertambah usia manusia, peranan
sekolah dan masyarakat luas semakin penting, namun peranan keluarga tidak
terputus. Di dalam UU-RI No. 2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS, peranan ketiga
tripusat pendidikan itu menjiwai berbagai ketentuan di dalamnya. Pasal 1 ayat 3
menetapkan bahwa SISDIKNAS adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan
pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan
tercapainya tujuan pendidikan nasional. Selanjutnya, pasal menetapkan tentang
dua jalur pendidikan, yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar
sekolah ( meliputi keluarga, kelompok belajar, kursus, dan sebagainya ).
Sedangkan Penjelasan UU No, 2 Tahun 1989 itu menetapkan tentang tanggung jawab
bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah dalam penyelenggaraan
pendidikan ( Undang-undang, 1992:25 ). Oleh karena itu, kajian tentang peranan
dan fungsi setiap pendidikan tersebut sangat penting, karena akan memberikan
wawasan yang tepat serta pemahaman yang luas dan menyeluruh tentang lingkup
kegiatan dan upaya pendidikan itu.
Pemahaman peranan keluarga, sekolah dan masyarakat
sebagai lingkungan pendidikan akan sangat penting dalam upaya membantu
perkembangan peserta didik yang optimal. Pemahaman itu bukan hanya tentang peranannya masing – masing, tetapi juga
keterkaitan dan saling pengaruh antar ketiganya dalam perkembangan manusia.
Sebab pada hakekatnya peranan ketiga pusat pendidikan itu selalu bersama-sama
mempengaruhi manusia, meskipun dengan bobot pengaruh yang bervariasi sepanjang
hidup manusia.
Kajian tentang lingkungan pendidikan akan dimulai
dengan pengertian dan fungsi lingkungan pendidikan, disusul dengan kajian
setiap pusat dari tripusat pendidikan itu, dan diakhiri dengan kajian tentang
saling pengaruh antar ketiganya. Kajian ini akan dilakukan baik ditinjau dari
segi operasional. Dengan demikian akan diperoleh dasar-dasar teoritik yang
memadai terhadap memadai terhadap setiap keputusan dan atau tindakan yang
diambil sesuai nyata yang sedang dihadapi. Seperti telah dikemukakan bahwa
pendidikan, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan, memerlukan pertimbangan
yang tepat karena hasil pendidikan itu tidak segera dapat dilihat.
A.
Pengertian dan Fungsi Lingkungan
Pendidikan
Manusia memiliki sejumlah kemampuan yang dapat dikembangkan melalui
pengalaman. Pengalaman itu terjadi karena inteksi manusia dengan lingkungannya,
baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial manusia dengan lingkungannya itu
secara efisien dan efektif itulah yang disebut dengan pendidikan, khususnya
pada tiga lingkungan utama pendidikan
yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat (Umar Tirtaharja et. al., 1990:
30-40). Seperti diketahui, lingkungan pendidikan pertama dan utama adalah
keluarga. Makin bertambahnya usia seseorang, peranan lingkungan pendidikan
keluarga lainnya (yakni sekolah dan masyarakat) semakin penting meskipun
pengaruh lingkungan keluarga masih tetap berlanjut.
Berdasarkan perbedaan cirri-ciri penyelenggaraan pendidikan pada ketiga
lingkungan pendidikan itu, maka ketiganya sering dibedakan sebagai pendidikan
informal, pendidikan formal, pendidikan nonformal. Pendidikan yang terjadi dalam lingkungan keluarga
berlangsung alamiah dan wajar serta disebut pendidikan informal. Sebaliknya,
pendidikan di sekolah adalah pendidikan yang secara sengaja dirancang dan
dilaksanakan dengan aturan-aturan yang ketat, seperti harus berjenjang dan
berkesinambungan, sehingga disebut pendidikan formal. Sedangkan pendidikan di
lingkungan masyarakat (umpamanya kursus dan kelompok belajar) tidak
dipersyaratkan berjenjang dan berkesinambungan, serta dengan aturan-aturan yang
lebih longgar sehingga disebut pendidikan nonformal. Pendidikan informal,
formal, dan nonformal itu sering dipandang sebagai subsistem dari sistem
pendidikan (Umar Tirtaharja et.al., 1990: 13-15), serta secara bersama-sama
menjadikan pendidikan berlangsung seumur hidup (Cropley, 1979:3).
Sebagai pelasanaan Pasal 31
ayat 2 dari UUD 1945, telah ditetapkan UU-RI No. 2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS
(beserta peraturan pelaksanaannya) yang menata kembali pendidikan di Indonesia,
termasuk lingkungan pendidikan. SISDIKNAS itu membedakan dua jalur pendidikan
yakni jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur
pendidikan sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di sekolah melalui
kegiatan belajar dan mengajar yang berjenjang dan berkesinambungan, mulai dari
pendidikan pra sekolah (taman kanak – kanak). Pendidikan dasar (SD dan SLTP),
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sedangkan jalur pendidikan luar
sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan diluar sekolah melalui luar
sekolah melalui kegiatan belajar –mengajar yang harus berjenjang dan
berkesinambungan, baik yang dilembagakan maupun tidak, yang meliputi pendidikan
keluarga, pendidikan prasekolah (seperti kelompok bermain dan penitipan anak),
kursus, kelompok belajar, dan sebagainya.
Secara umum fungsi
lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam berinteraksi dengan
berbagai lingkungan sekitar (fisik sosial dan budaya), utamanya berbagai sumber
daya pendidikan yang tersedia, agar dapat dicapai tujuan pendidikan yang
optimal. Penataan lingkungan pendidikan itu terutama dimaksudkan agar proses
pendidikan dapat berlangsung efisien dan efektif. Seperti diketahui, proses
pertumbuhan dan perkembangan manusia sebagai akibat interaksi dengan
lingkungannya akan berlangsung secara alamiah dengan konsekwensi bahwa
tumbuhkembang itu mungkin berlangsung lambat dan menyimpang dari tujuan
pendidikan. Oleh karena itu, diperlukan berbagai usaha sadar untuk mengatur dan
mengendalikan lingkungan itu sedemikian rupa agar dapat diperoleh peluang
pencapaian tujuan secara optimal, dan dalam waktu serta dengan daya/dana sedini
mungkin. Dengan demikian
diharapkan mutu sumber daya manusia makin lama semakin meningkat. Hal itu hanya
dapat diwujudkan apabila setiap lingkungan pendidikan tersebut dapat
melaksanakan fungsinya sebagai mana mestinya.
Masyarakat akan dapat
berfungsi dengan sebaik-baiknya jika setiap individu belajar berbagai hal, baik
pola- pola tingkah laku umum maupun peranan-peranan yang berbeda- beda. Untuk
itu proses pendidikan harus berfungsi untuk mengajarkan tingkah laku umum dan
untuk menyeleksi/mempersiapkan individu untuk peranan-peranan tertentu. Sehubungan
dengan fungsi yang kedua ini pendidikan bertugas untuk mengajarkan berbagai
macam keterampilan dan keahlian. Meskipun pendidikan informal juga berperan
melaksanakan kedua fungsi tersebut, tetap sangat terbatas, khususnya dilaksanakan
oleh masyarakat yang masih primitif. Pada masyarakat yang sudah maju fungsi
yang kedua dari pendidikan itu hampir sepenuhnya diambil alih oleh lembaga
pendidikan formal. Pendidikan formal berfungsi untuk mengajarkan pengetahuan
umum dan pengetahuan-pengetahuan yang bersifat khusus dalam rangka
mempersiapkan anak untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu.
Program umum yang diberikan
oleh pendidikan formal didasarkan pada asumsi bahwa setiap anak harus memiliki
pengetahuan umum, seperti; pengetahuan membaca, menulis, dan berhitung. Di
samping itu program umum perlu dilakukan untuk memberikan dasar kebudayaan umum
yang kuat demi kelangsungan hidup dan perkembangan masyarakat. Karena cepatnya perkembangan industri yang
menuntut spesialisasi kemampuan dan keterampilan, maka pendidikan formal
memberikan program yang berbeda-beda. Program pendidikan yang berbeda-beda yang
mempersiapkan individu untuk berbagai posisi di dalam masyarakat amat
menentukan peranan pendidikan untuk mengalokasikan individu-individu di
berbagai posisi dalam masyarakat (Redja Madyahardjo et. al., 1992: Modul
5/4647).
Perlu pula dikemukakan bahwa
pelaksanaan pendidikan dilakukan melalui tiga kegiatan yakni membimbing,
mengajar dan/atau melatih (Ayat 1 Pasal 1 dari UU-RI No.2/1989). Meskipun
ketiga kegiatan itu pada hakekatnya tritunggal, namun dapat dibedakan aspek
tujuan pokok dari ketiganya yakni (1) membimbing terutama berkaitan dengan
pemantapan jati diri, pribadi dari segi-segi prilaku umum (aspek pembudayaan),
(2) mengajar terutama berkaitan dengan ketempilan dan kemahiran (aspek
teknologi. Seperti ternyata dalam paparan di atas bahwa terjadi variasi
penekanan ketiga itu di dalam berbagai kegiatan itu di dalam berbagai
lingkungan pendidikan dari masa ke masa. Perlu ditegaskan bahwa sekecil apapun
namun ketiga aspek tujuan pokok pendidikan itu tetap akan tergarap dalam setiap lingkungan pendidikan.
Sebaliknya, adalah tidak mungkin ketiga aspek tersebut dibebankan hanya kepada
satu lingkungan tertentu saja, apalagi hanya ada satu jenis pendidikan saja.
Tidak jarang terjadi adanya harapan yang berlebihan terhadap sekolah, seakan-akankeseluruhan
tujuan pendidikan itu hanya menjadi tugas dan tanggung jawab sekolah saja.
Kualitas manusia, baik aspek kepribadian maupun penguasaan dasar-dasar ilmu
pengetahuan, serta kemahiran dalam spesialisasi tertentu, merupaakan hasil
kerja ketiga lingkungan pendidikan itu.
Kemajuan masyarakat,
perkembangan IPTEK yang semakin cepat, serta semakin menguatnya era globalisasi
akan mempengaruhi peran dan fungsi ketiga lingkungan pendidikan itu. Disamping
terjadi pergeseran peran seperti telah nampak pada kelauarga modern, dituntut
pula suatu peningkatan kualitas dari peran itu. Sebagai contoh, dimasa depan
yang dekat, manusia Indonesia akan diharapkan
pada “tiga budaya” yakni budaya (Indonesia), dan budaya dunia. Oleh karena itu
pemantapan jati diri setiap manusia merupakan kunci keberhasilannya dalam
memilih pengaruh “ tiga budaya “ itu. Pemantapan ketiga sisi tujuan pedidikan
itu yakni manusia yang sadar akan harkat dan martabatnya, menguasai ilmu
pengetahuan, dan memiliki suatu spesialisasi/keterampilan tertentu, yang
disebut sebagai manusia seutuhnya. Dimasa depan, ketiga sisi tersebut semakin
penting karena harus mampu menyesuaikan diri dengan era globalisasi dan
kemajuan IPTEK dan dari dan segi lain, harus mampu menekankan persaingan yang
semakin ketat dan tampil sebagai yang unggul dalam bidang spesialisasinya. Karena
itu peningkatan fungsi ketiga lingkungan pendidikan itu, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama akan sangat penting dalam mewujudkan sumber daya
manusia yang bermutu.
B. Tripusat pendidikan
Manusia sepanjang hidupnya selalu akan menerima pengaruh dari tiga
lingkungan pendidikan yang utama yakni keluarga, sekolah, dan masyarakat , dan ketiganya
disebut tripusat pendidikan. Lingkungan pendidikan yang mula-mula tetapi
terpenting adalah keluarga. Pada masyarakat yang masih sederhana dengan
struktur sosial yang belum kompleks, cakrawala anak sebagian besar masih
terbatas pada keluarga. Pada
masyarakat tersebut keluarga mempunyai dua fungsi: fungsi produksi dan fungsi
konsumsi. Kedua fungsi itu mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap anak. Kehidupan
masa depan anak pada masyarakat tradisional umumnya tidak jauh berbeda dengan
kehidupan orang tuanya. Pada masyarakat tersebut, orang tua yang mengajar
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk hidup ; orang tua pula yang
melatih dan memberi petujuk tentang berbagai aspek kehidupan, sampai anak
menjadi dewasa dan berdiri sendiri. Tetapi pada masyarakat modern dimana
industrialisasi semakin berkembang dan memerlukan spesialisasi maka pendidikan
yang semula menjadi tanggung jawab keluarga itu kini sebagian besar diambil
alih oleh sekolah dan lembaga-lembaga sosial lainnya. Pada tingkat yang paling
permulaan fungsi ibu sebagian sudah diambil alih oleh pendidikan pra sekolah.
Pada tinggkat spesialisasi yang rumit, pendidikan keterampilan sudah tidak
berada pada ayah lagi sebab sudah diambil alih oleh sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi. Bahkan fungsi pembentukan watak dan sikap mental pada
masyarakat modern berangsur-angsur diambil alih oleh sekolah dan organisasi
sosial lainnya seperti perkumpulan pemuda dan pramuka, lembaga- lembaga
keagamaan, media massa, dan sebagainya.
Meskipun kehilangan sejumlah
fungsi yang semula menjadi tanggung jawabnya, namun keluarga masih tetap
merupakan lembaga yang paling penting dalam proses sosialisasi anak, karena
keluarga yang memberikan tuntutan dan contoh-contoh semenjak masa anak sampai
dewasa dan berdiri sendiri. Adanya perubahan fugsi keluarga mempunyai pengaruh
besar terhadap proses pendidikan pada umumnya, termasuk pendidikan formal.
Dalam keluarga pada masyarakat yang belum maju, orang tua merupakan sumber
pengetahuan dan keterampilan yang diwariskan atau diajarkan kepada anak-anaknya.
Dalam keluarga semacam itu orang tua memegang otoritas sepenuhnya. Sebaliknya,
dalam masyarakat modern orang tua harus membagi otoritas dengan orang lain,
terutama guru dan pemuka masyarakat, bahkan dengan anak mereka sendiri yang
memperoleh pengetahuan baru dari luar keluarga. Hubungan keluargapun berubah
dari hubugan yang bersifat otoritatif menjadi hubungan yang bersifat kolegial.
Dalam keluarga ini lebih dapat ditumbuhkan perasaan aman, saling menyayangi,
dan sifat demokratis pada diri anak sebab keputusan yang diambil selalu
dibicarakan bersama oleh seluruh anggota keluarga (Redja Mudyahardjo, et. al.,
1992: modul 5/54-56). Perubahan sifat hubungan orang tua dengan anaknya itu,
akan diiringi pula dengan perubahan hubungan guru-siswa serta didukung oleh
iklim keterbukaan yang demokratis dalam masyarakat. Dengan kata lain, terdapat
saling pengaruh antara ketiga pusat pendidikan itu.
Dalam peraturan dasar
perguruan nasional taman siswa (Putusan Kongres X tanggal 5-10 Desember 1966)
pasal 15 ditetapkan bahwa (1) untuk mencapai tujuan pendidikannya, taman siswa
melaksanakan kerja sama yang harmonis antara ketiga pusat pendidikan yaitu (a)
lingkungan keluarga (b) lingkungan perguruan, dan (c) lingkungan masyarakat /
pemuda, serta (2) sistem pendidikan tersebut dinamakan sistem “ tripusat ” (
suparlan, 1984:110 ). Bagi taman siswa, disamping siswa yang tetap tinggal di
lingkungan keluarga, sebagai siswa tinggal di lingkungan keluarga, sebagai
siswa tinggal di asrama (wisma priya dan wisma rini) yang dikelola secara
kekeluargaan dengan menerapkan sistem among. Sedangkan pada lingkungan
masyarakat, taman siswa mengutamakan kepanduan (pramuka) dan persatuan pelajar
taman siswa, dengan penekanan pemupukan semangat kebangsaan (suparlan, 119-120).
a. Keluarga
Keluarga merupakan pengelompokkan primer
yang terdiri dari sejumlah kecil orang karena hubungan semenda dan sederhana.
Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (nucleus family: ayah, ibu dan anak)
ataupun keluarga yang diperluas (di samping inti, ada orang lain: kakek/nenek,
adik/ipar, pembantu, dan lain – lain). Pada umumnya jenis kedualah banyak
ditemui dalam masyarakat Indonesia. Meskipun ibu merupakan anggota keluarga
yang mula-mula paling berpengaruh terhadap tumbuh kembangnya anak, seperti
kebudayaan, tingkat kemakmuran, keadaan perumahannya, dan sebagainya. Dengan
kata lain, tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh kseluruhan situasi dan kondisi
keluarganya.
Perkembangan kebutuhan dan aspirasi
individu maupun masyarakatnya, menyebabkan peran keluarga terhadap pendidikan
anak-anaknya juga mengalami perubahan. Seperti telah dikemukakan bahwa pada
mulanya, keluargalah yang terutama berperan baik pada aspek pembudayaan, maupun
penguasaan pengetahuan dan keterampilan. Dengan meningkatnya kebutuhan aspirasi
anak, maka keluarga pada umumnya tidak mampu memenuhinya. Oleh karena itu,
sebagian dari tujuan pendidikan itu akan dicapai melalui jalur pendidikan
sekolah ataupun jalur pendidikan luar sekolah lainnya (kursus, kelompok
belajar, dan sebagainya). Bahkan peran jalur pendidikan luar sekolah makin lama
makin penting, khusunya yang berkaitan dengan aspek pengetahuan dan
keterampilan. Hal itu tidak berarti bahwa keluarga dapat melepaskan diri dari
tanggung jawab pendidikan anaknya. Karena keluarga diharapkan bekerjasama dan
mendukung kegiatan pusat pendidikan lainnya (sekolah dan masyarakat).
Fungsi dan peranan keluarga, di samping
pemerintah dan masyarakat, dalam SISDIKNAS Indonesia tidak terbatas hanya pada
pendidikan keluarga saja, akan tetapi keluarga ikut serta bertanggungjawab terhadap
beberapa ketentuan dalam UU-RI No. 2 tahun 1989 tentang SISDIKNAS yang
menegaskan fungsi dan peranan keluarga dalam pencapaian tujuan pendidikan yakni
membangun manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan keluarga merupakan bagian
dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang
memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan (Pasal
10 Ayat 4). Dalam penjelasan Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa pendidikan
keluarga itu merupakan salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui
pengalaman seumur hidup. Pendidikan dalam keluarga memberikan keyakinan agama,
nilai agama, nilai budaya yang mencakup nilai moral dan aturan – aturan
pergaulan serta pandangan, keterampilan dan sikap hidup yang mendukung
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kepada anggota keluarga yang
bersangkutan (Undang-undang, 1992:26). Selanjutnya dalam penjelasan ayat 5
Pasal 10 ditegaskan bahwa pemerintah mengakui kemandirian keluarga untuk melaksanakan
upaya pendidikan dalam lingkungannya sendiri.
Menurut Ki Hajar Dewantoro, suasana
kehidupan keluarga merupakan tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan
pendidikan orang-seorang (pendidikan individual) maupun pendidikan sosial.
Keluarga itu tempat pendidikan yang sangat sempurna sifat dan wujudnya untuk
melangsungkan pendidikan kearah pembentukan pribadi yang utuh, tidak saja bagi
kanak-kanak tapi juga bagi para remaja. Peran orang tua dalam keluarga sebagai
penuntun, sebagai pengajar dan sebagai pemberi contoh. Pada umumnya kewajiban
ibu bapak itu sudah berjalan dengan sendirinya sebagai suatu tradisi. Bukan
hanya ibu bapak yang beradab dan berpengetahuan saja yang dapat melakukan
kewajiban mendidik anak-anaknya, akan tetapi rakyat desapun melakukan hal ini.
Mereka senantiasa melakukan usaha yang sebaik-baiknya untuk kemajuan anak-anaknya.
Memang manusia mempunyai naluri paedagogis, yang berarti bahwa buat ibu bapak
prilaku pendidikan itu merupakan akibat “naluri” untuk melanjutkan keturunan
(Ki Hajar Dewantoro, 1962; dari Wayan Ardhana, 1986: Modul 4/5-6).
Lingkungan keluarga sungguh-sungguh
merupakan pusat pendidikan yang penting dan menentukan, karena itu tugas oleh
pendidikan adalah mencari cara, membantu para ibu dalam tiap keluarga agar dapat
mendidik anak-anaknya dengan optimal. Anak-anak yang biasanya turut serta
mengerjakan pekerjaan didalam keluarganya, dengan sendirinya mengalami dan
mempraktekkan bermacam-macam kegiatan yang amat berfaedah bagi pendidikan watak
dan budi pekerti seperti kejujuran, keberanian, ketenangan dan sebagainya.
Keluarga juga membina dan mengembangkan perasaan sosial anak seperti hidup
hemat, menghargai kebenaran, tenggang rasa, menolong orang lain, hidup damai,
dan sebagainya. Jelaslah bahwa lingkungan keluarga bukannya pusat penanam dasar
pendidikan watak pribadi saja, tetapi pendidikan sosial. Di dalam keluargalah
tempat menanam dasar pembentukan watak anak-anak. Decroly pernah mengemukakan
bahwa 70% dari anak-anak yang jatuh kejurang kejahatan berasal dari keluarga
yang rusak kehidupannya. Oleh karena itu untuk memperbaiki keadaan masyarakat
maka perlu adanya perbaikan dalam pendidikan keluarga (Wayan Ardhana, 1986:
Modul 4/10-11).
Pada umumnya ibu bertanggung jawab untuk
mengasuh anak, oleh karena itu, pengaruh hubungan antara ibu dan anak perlu
mendapat perhatian utamanya pengaruh pengawasan berlebihan terhadap
perkembangan anak. Levy membedakan pengawasan yang berlebihan ini menjadi dua,
yaitu memanjakan dan mendominasi anak. Anak yang dimanjakan akan lebih bersifat
tidak penurut, agresif dan suka menantang. Sebaliknya anak yang diasuh oleh ibu
yang suka mendominasi akan berkembang menjadi anak yang penurut dan selalu
bergantung kepada orang lain (kurang inisiatif). Akan tetapi di sekolah, baik
anak yang di manjakan maupun anak yang selalu didominasi pada umumnya tidak
mengalami kesulitan belajar. Berdasarkan hasil penelitiannya, Levy menyimpulkan
bahwa meskipun anak yang dimanjakan itu selalu menyimpulkan bahwa meskipun anak
yang dimanjakan itu selalu merepotkan orang tuanya di rumah, tetapi baik anak
yang dimanjakan maupun selalu didominasi oleh ibu ternyata sangat teliti
sebagai murid dan dapat menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan sekolahnya dengan
baik (Redja Mudyahardjo et. atau., 1992: Modul 5/57).
Disamping hubungan antara ibu dan anak,
komposisi keluarga juga mempunyai pengaruh terhadap perkembangan, utamanya
proses sosisalisasi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyaknya anggota
keluarga dan urutan kelahiran seorang anak mempunyai pengaruh terhadap perhatian
penuh, tetapi setelah kelahiran adiknya maka pertama itu harus belajar menerima
perhatian orang tua bersama adiknya yang baru lahir. Anak bungsu tentu
mempunyai pengalaman lain dibanding dengan anaknya lahir di tengah atau anak
sulung. Posisi kelahiran ini akan membedakan perbedaan proses sosialisasi.
Selanjutnya anak tunggal biasanya manja dan selalu menggantungkan diri kepada
kedua orang tuanya, sebab sejak masa kecilnya anak tersebut telah dibatasi
kebebasannya dengan mensupervisi semua tingkah laku anak yang bersangkutan. Karena
sering mendapatkan supervisi maka anak tersebut telah dibatasi kebebasannya
dengan mensupervisi maka anak tersebut cenderung disiplin dan tertib dalam
menyelesaikan tugas. Hanya saja anak tunggal cenderung kurang bersifat kompetitif.
Sifat-sifat tersebut di atas perlu diperhatikan oleh guru agar pendekatan
secara individual kepada anak didik dapat dilaksanakan dengan baik. Sehingga
dengan demikian guru akan mengetahui kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
setiap anak dalam belajar (Redja Mudyahardjo, et. al,. 1992. Modul 5/57-58).
Beberapa hasil penelitian telah memberi
gambaran bahwa ayah mempunyai arti yang berbeda-beda di mata anak. Seorang anak
kecil memandang ayahnya sebagai seseorang yang dapat mengatasi semua masalah.
Bagi seorang anak laki-laki yang sedang tumbuh, ayah dijadikan sebagai model
yang patut dicontoh, utamanya dalam proses sosialisasi. Oleh sebab itu, dalam
perkembangan anak perlu adanya interaksi antara anak dan ayah, sebab hubungan
yang baik dan dekat antara ayah dan anak sangat penting. Untuk anak perempuan,
ayah dipandang sebagai pendorong berkembangnya feminimitas (kewanitaan) yang
akan terjadi jika ayah sering memberi komentar kepada anak perempuannya
mengenai pakaian yang dipakainya, tatanan rambutnya, tingkah laku serta sifat-sifat
kewaitaannya. Sebaliknya ayah memperlakukan anak perempuannya seperti anak laki-laki.
Hal ini mempersulit anak perempuan itu dalam mengembangkan feminitasnya. Dari
penelitian itu ternyata dalam bahwa ketiadaan ayah dalam keluarga menimbulkan
berbagai persoalan, seperti kurangnya rasa aman dan ketiadaan model bagi anak
laki-laki, ataupun perasaan kekosongan dan tidak puas bagi anak perempuan.
Apabila di sekolah ditemukan anak yang mengalami masalah “ketiadaan ayah”
tersebut, maka guru seyogyanya dapat membantu mengatasi masalah itu antara lain
dengan mengalihkan kepada figur pengganti ayah (Redja Mudyahardjo, 1992: Modul
5/58-59). Perlu ditekankan bahwa penemuan model sebagai idola itu sangat
penting, antara lain sebagai personifikasi atau pendukung nilai/gagasan/dan
sebagainya.
Beberapa tahun terakhir ini terdapat suatu
masalah yang banyak dibicarakan orang, yakni makin banyaknya wanita yang ikut
bekerja di luar rumah. Sehingga tidak jarang terjadi, baik ayah maupun ibu sama-sama
membina karir masing-masing sehingga mengharuskan berada diluar rumah dalam
beberapa jam pada hampir setiap hari kerja. Dengan demikian, dapat membawa
masalah apabila keluarga mempunyai anak BALITA. Peran pemeliharaan fisik
mungkin dapat dilakukan oleh orang lain, namun peran edukatif dari ibu sukar
disubtitusi oleh orang lain, utamanya pembantu rumah tangga. Seperti ternyata
di masyarakat, pembantu rumah tangga pada umumnya berasal dari lapisan dengan
pendidikan dan mutu sosial budaya yang relatif rendah. Kecenderungan lain
adalah berkembangnya lembaga pendidikan prasekolah pada jalur luar sekolah
seperti kelompok bermain dan penitipan anak. Dimasa depan, peran pembantu rumah
tangga dalam pendidikan keluarga maupun fungsi edukatif dari kelompok bemain
dan penitipan anak perlu mendapat perhatian, agar dapat diyakinkan
kontribusinya dalam mewujudkan sumber daya manusia yang bermutu.
Akhirnya perlu ditegaskan lagi bahwa
disamping pendidikan keluarga itu, keluarga juga seyogyanya ikut mendukung
program-program lingkungan pendidikan lainnya (kelompok bermain, penitipan
anak, sekolah, kursus/kelompok belajar, organisasi pemuda seperti pramuka,
palang merah remaja, dan lain-lain). Keikutsertaan keluarga itu dapat pada
tahap perencanaan, pemantauan dalam pelaksanaan, maupun dalam evaluasi dan
pengembangannya, dan dengan berbagai cara (daya, dana, dan sebagainya). Dan
yang tidak kalah pentingnya adalah upaya koordinasi dan keserasian antara
ketiga pusat pendidikan itu.
b.
Sekolah
Diantara tiga pusat pendidikan, sekolah
merupakan sarana yang secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan.
Seperti telah dikemukakan bahwa karena kemajuan zaman, keluarga tidak mungkin
lagi memenuhi seluruh kebutuhan dan aspirasi generasi muda terhadap IPTEK.
Semakin maju suatu masyarakat semakin penting peranan sekolah dalam
mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan
masyarakatnya itu. Dari sisi lain, sekolah juga menerima banyak kritik atas
berbagai kelemahan dan kekurangannya, yang mencapai puncaknya dengan gagasan
Ivan Illich untuk membebaskan masyarakat dari wajib sekolah dengan buku yang
terkenal: Bebas dari Sekolah (Deshooling Society, 1972/1982). Meskipun gagasan
itu belum dapat diwujudkan, termasuk di negara Meksiko, namun kritik terhadap
sekolah patut mendapat perhatian. Oleh karena itu, kajian ini terutama
diarahkan kepada pencarian berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan peranan dan berbagai fungsi sekolah untuk tantangan. Asumsi kajian
ini adalah sekolah harus diupayakan sedemikian rupa agar mencerminkan suatu
masyarakat Indonesia di masa depan itu, sehingga peserta didik memperoleh
peluang yang optimal dalam menyiapkan diri untuk melaksanakan perannya itu.
Oleh karena itu, sekolah seharusnya menjadi pusat pendidikan untuk menyiapkan
manusia Indonesia sebagai individu, warga masyarakat, warga negara warga dunia
di masa depan. Sekolah yang demikianlah yang diharapkan mampu melaksanakan
fungsi pendidikan secara optimal, yakni mengembangkan kemampuan serta
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka
mewujudkan tujuan nasional (Pasal 3). Tujuan nasional tersebut diupayakan
pencapaiannya melalui pembangunan nasional; dengan demikian, pembangunan
nasional di bidang pendidikan adalah upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan
meningkatkan kualitas manusia indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang maju,
adil dan makmur, serta memungkinkan para warganya mengembangkan diri baik
berkenaan dengan aspek jasmaniah maupun rohaniah berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 (UU-RI No.2 tahun 1989 butir Menimbang ayat b).
Salah satu alternatif yang mungkin
dilakukan di sekolah untuk melaksanakan kebijakan nasional itu adalah secara
bertahap mengembangkan sekolah menjadi suatu tempat pusat latihan (training
centre) manusia Indonesia di masa depan. Dengan kata lain, sekolah sebagai
pusat pendidikan adalah sekolah yang mencerminkan masyarakat yang maju karena
pemanfatan secara optimal ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tetap berpijak
pada ciri keindonesiaan. Dengan demikian, pendidikan disekolah seyogyanya
secara seimbang dan serasi menjamah aspek pembudayaan, penguasaan pengetahuan,
dan pemilikan keterampilan peserta didik.
Suatu
alternatif yang mungkin dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi sekolah,
antara lain :
1.
Pengajaran yang mendidik, yakni pengajaran yang secara
serentak memberi peluang pencapaian tujuan instruksional bidang studi dan
tujuan-tujuan umum pendidikan lainnya. Untuk maksud tersebut, setiap guru-pendidikan
dapat mengajukan pertanyaan : dengan kegiatan belajar-mengajar yang saya kelola
sekarang ini, urunan apakah yang dapat menjadi kontribusi untuk membantu
manusia indonesia
seutuhnya? Jawaban pertanyaan itu tidak hanya terbatas pada tujuan yang akan
dicapai, tetapi juga dapat bersumber dari kegiatan belajar-mengajar yang aktual
terjadi dan atau keteladanan guru. Dengan demikian, proses belajar tersebut seyogyanya
memberi peranan dan tanggung jawab yang selaras dan seimbang antara guru dan
siswa di dalam kegiatan belajar-mengajar, yakni Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)
atau pendekatan keterampilan proses. Hal itu dapat terlaksana dengan efisien
dan efektif apabila guru mempunyai wawasan kependidikan yang mantap serta
menguasai berbagai strategi belajar-mengajar. Penguasaan berbagai strategi belajar-mengajar
akan memberi peluang untuk memilih variasi kegiatan belajar-mengajar yang
bermakna, sedangkan kemantapan wawasan pendidikan akan memberi landasan yang
tepat dan kuat didalam pemilihan tersebut. Pemberian prakarsa dan tanggung
jawab sedini mungkin kepada siswa untuk berperan didalam kegiatan belajar-mengajar
akan sangat bermanfaat bukan hanya dalam pencapaian siswa disekolah, tetapi
juga bermanfaat untuk membentuk dan memperkuat kebiasaan belajar terus-menerus
sesuai dengan asas pendidikan seumur hidup.
Dalam upaya mewujudkan
pengajaran yang mendidik, perlu pula dikemukakan bahwa setiap keputusan dan
tindakan guru dalam rangka kegiatan belajar mengajar akan membawa berbagai
dampak atau efek kepada siswa, baik efek
instruksional (instructional effect) maupun efek pengirim (Nurturan
effect). Efek instruksional merupakan efek langsung dari bahan ajaran yang
menjadi isi pesan dari belajar mengajar; efek instruksional ini, terutama
ditinjau untuk mencapai tujuan instruksional, khususnya tujuan instruksional
khusus (TIK). Sedangkan efek pengirim
merupakan efek tidak langsung dari bahan ajaran dan atau pengalaman belajar
yang dihayati siswa sebagai akibat dari strategi belajar mengajar yang menjadi
landasan dari kegiatan belajar mengajar tersebut. Efek pengirim itu pada umumnya
terjadi karena siswa “menghidupi” (To Life In) atau terlibat secara bermakna
didalam suatu pengalaman tertentu, yang pada umumnya tertuju pada pencapaian
tujuan-tujuan pendidikan yang lebih umum dan fundamental serta berjangka
panjang. Sebagai contoh dapat dikemukakan tentang tujuan-tujuan seperti:
kreativitas, berfikir kritis, keterbukaan dan tenggang rasa, dan mampu
bekerjasama secara efisien dan efektif, yang kesemuanya memerlukan waktu yang
panjang untuk mencapainya, serta terbentuk kumulaif secara setahap demi setahap
dalam mengiringi pencapaian tujuan instruksional (Joice dan Weil, 1980: 16-17;
Reka Joni, 1985 b:1). Oleh karena itu, baik efek instuksional maupun efek
pengiring merupakan hal yang sangat penting dalam setiap kegiatan belajar-mengajar,
yang harus mendapat perhatian yang seimbang oleh setiap guru didalam
perencanaan dan pelaksanaan program belajar-mengajar ( Sulo Lipu La Sulo, 1990:
54-55 ).
Berdasarkan
uraian tersebut diatas ternyata betapa pentingnya kegiatan belajar-mengajar
yang akan dihayati oleh siswa sebagai pengalaman belajarnya. Meskipun
pengalaman belajar itu merupakan sesuatu yang unik dan kompleks, tetapi dapat
dibedakan dalam tiga jenis sesuai dengan sasaran pembentukan atau tujuan
pendidikan yang akan dicapai. Secara singkat, ketiga jenis pengalaman belajar
tersebut ( Reka Joni, 1985: 14; Sulo Lipo La Silo, 1990: 54 ) adalah:
a) Pengkajian
untuk pembentukan pengetahuan pemahaman, yang seyogyanya diwujudkan secara
utuh, baik hasilnya (fakta, pengertian, kaidah dan sebagainya) maupun
prosesnya. Untuk maksud tersebut,
pengalaman belajar harus dirancang dan dilaksanakan dalam bentuk yang beraneka
ragam, seperti:
1) Dari segi caranya: mendengarkan ceramah,
membaca buku, berdiskusi, melakukan pengamatan langsung atau percobaan
laboratorik, dan sebagainya;
2) Dari segi peranan subyek didik di dalam
pengolahan pesan (apa yang dipelajarinya): ekspositorik yakni pesan diolah
hanya oleh guru, ataukah heuristik/problematik yakni pesandiolah bersama oleh
guru dan siswa;
3) Dari segi cara pengolahan pesan: deduktif
(dari umum ke khusus) atau induktif (dari khusus ke umum);
4) Dari segi pengaturan subyek didik:
kelompok besar (klasikal), kelompok kecil, ataukah perseorangan (individual).
b) Latihan untuk sasaran pembentukan
keterampilan (fisik, sosial, maupun intelektual). Pembentukan keterampilan itu
memerlukan perbuatan langsung, baik dalam situasi nyata maupun simulatif,
disertai dengan pemberian balikan (feedback) yang spesifik dan segera.
c) Penghayatan kegiatan/ peristiwa sarat
nilai untuk sasaran pembentukan nilai dan sikap (afektif), dengan pelibatan
secara langsung, baik sebagai pelaku maupun penerima perlakuan.
Pemilihan kegiatan belajar-mengajar yang tepat,
baik ditinjau dari efek insruksional maupun efek pengiring, akan memberikan
pengalaman belajar siswa yang efisien dan efektif untuk mewujujdkan pembangunan manusia indonesia
seutuhnya. Hal ini dapat dilaksanakan secara konsisten dan kontinu apabila guru
memiliki wawasan kependidikan yang mantap dan menguasai pendekatan Cara Belajar
Siswa Aktif (CBSA). Penerapan CBSA dengan pendekatan keterampilan proses akan
dapat memberi peranan dan tanggung jawab yang seimbang dan selaras antara guru
dan siswa di dalam kegiatan belajar-mengajar. Dengan demikian diharapkan secara
kumulatif akan terpupuk sikap, pola pikir dan prilaku kreatif, inovatif,
kritis, serta kemampuan awal sebagai ilmuan, dan ciri-ciri lain dari manusia
indonesia sesuai TUPN seperti: mandiri, bekerja keras, dan sebagainya. Hal ini
hanya mungkin terlaksana apabila guru memiliki wawsan kependidikan yang tepat
serta menguasai berbagai strategi belajar-mengajar sehingga mampu dan mau
merancang dan melaksanakan berbagai kegiatan belajar-mengajar yang kaya dan
bermakna bagi peserta didik. Seiring dengan itu, pemberian prakarsa dan
tanggung jawab sedini mungkin kepada
siswa dalam kegiatan belajar-mengajar akan memupuk kebiasaan dan kemampuan
belajar mandiri yang terus menerus, yang pada gilirannya kelak akan sangat
penting dalam upaya membangun dirinya sendiri. Dengan demikian diharapkan dapat
mewujudkan suatu masyarakat belajar
sebagai upaya penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.
Peningkatan
dan pemantapan pelaksanaan program bimbingan dan penyuluhan ( BP ) di sekolah,
agar program edukatif ini tidak sekedar suplemen tetapi menjadi komplemen yang
setara dengan program pengajaran serta program-program lainnya disekolah.
Seperti diketahui, bidang garapan program BP adalah perkembangan pribadi
peserta didik, khususnya aspek sikap dan prilaku atau kawasan efektif. Dalam
pedoman kurikulum 1984 SMA (DEP-DIKBUD, 1984: 41) dinyatakan antara lain:
Pelaksanaan
kegiatan BP disekolah menitikberatkan kepada bimbingan terhadap perkembangan
pribadi melalui pendekatan perseorangan dan kelompok. Siswa yang menghadapi
masalah mendapatkan bantuan khusus untuk mampu mengatasinya. Sementara itu
semua siswa tetapi mendapatkan bimbingan karir yang mengutamakan bimbingan
kelompok bertujuan membantu memahami diri sendiri dan lingkungannya serta
merencanakan masa depan secara lebih tepat.
Pengembangan
kepribadian ke arah penyadaran jati diri sebagai manusia indonesia merupakan sisi lain dari
tujuan pendidikan (TUPN), di penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi; bahkan
Fuad Hussan mengemukakan bahwa pemantapan kesejatian diri lebih penting dari
pada apa yang tergolong sebagai milik (penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi) (Fuad Hasan, 1986:40). Hal itu telah dilaksanakan di dalam
pendidikan ABRI, khususnya Polri, dan mungkin juga di dalam berbagai pesantren,
yang memberi bobot tinggi pada aspek mental-kepribadian diabandingkan dengan
aspek akademik dan fisik di dalam program pendidikannya. Pendidikan efektif
dapat diawali dengan kajian tentang nilai dan sikap yang seharusnya dikejar
lebih jauh dalam perwujudannya melalui prilaku sehari-hari, khususnya selama
berada di sekolah. Sekolah seyogyanya dikembangkan menjadi pusat pendidikan dan
kebudayaan yang mencerminkan suatu masyarakat Pancasilais. Di dalam pendidikan
ABRI, khususnya Polri, hal itu diwujudkan melalui pola pengasuhan (pembinaan
siswa atau BINSIS).
3.
Pengembangan perpustakaan sekolah menjadi suatu pusat
sumber belajar (PSB), yang mengelola bukan hanya bahan pustaka tetapi juga
berbagai sumber belajar lainnya, baik sumber belajar yang dirancang maupun
dimanfaatkan. Dengan kedudukan sebagai PSB diharapkan peranannya akan lebih
aktif dalam mendukung program pengajaran, bahkan dapat berperan sebagai “mitra
kelas” dalam upaya menjawab tantangan perkembangan IPTEK yang semakin cepat.
Dengan penyediaan berbagai perangkat penting yang didukung oleh perangkat keras
yang memadai, khususnya berbagai bahan belajar mandiri seperti modul, rekaman
elektronik baik audio (ATR) maupun video (VTR), dan sebagainya akan sangat
penting bukan hanya terhadap peserta didik tetapi juga terhadap pelaksanaan
tugas tenaga kependidikan lainnya (khususnya guru). Pengembangan PSB itu dapat
dilakukan secara bertahap sehingga pada akhirnya dapat berperan ganda yakni
sebagai “mitra kelas” dalam proses belajar-mengajar dan tempat pengkajian
berbagai akan dapat mendorong siswa instruksional. Suatu PSB yang memadai akan
dapat mendorong siswa dan warga sekolah lainnya untuk belajar mandiri.
4. Peningkatan dan pemantapan program
pengolaan sekolah, khususnya yang terkait dengan peserta didik. Pengelola
sekolah sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan seharusnya merupakan refleksi
dari suatu masyarakat pancasila sebagaimana yang dicita-citakan dalam tujuan
nasional. Gaya kerja para pengelola umumnya, khususnya pengelola kesiswaan,
akan sangat berpengaruh bukan hanya melalui kebijakannya tetapi juga aspek
keteladanannya. Ketiga alternatif upaya yang telah dipaparkan di atas dan hanya
mungkin terlaksanakan apabila mendapat dukungan yang memadai dari program
pengelolaan sekolah, baik dukungan sarana / prasarana maupun dukungan iklim
profesional yang memadai khusus pengelolaan kesiswaan, agar diterapkan asas tut
wuri handayani dengan tidak mengabaikan ing ngarsa sung tulada dan ing madya
mangun karsa. Dengan demikian iklim kehidupan disekolah mencerminkan kehidupan
di masyarakat yang dicita-citakan, yakni masyarakat demokratis yang dinamis dan
terbuka.
Demikianlah beberapa alternatif yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan fungsi sekolah sebagai salah satu pusat
pendidikan. Alternatif itu tentulah seiring dengan upaya peningkatan mutu
masukan instrumental dari sekolah, seperti kurikulum, tenaga pendidikan,
sarana/prasarana, dan lain-lain. Disamping itu, penataan sistem persekolahan
perlu pula mendapat perhatian khusus agar jenis dan jumlah setiap jenis itu
tertata secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pembangunan, baik dalam
suatu wilayah (umpama propinsi) maupun untuk kebutuhan nasional. Akhirnya perlu
pula dikemukakan tentang siswa sebagai masukan dalam sistem persekolahan,
utamanya tentang kesesuaian kemampuan potensial dengan jenis dan jenjang yang
dicita-citakan. Kebutuhan masyarakat akan tenaga yang bermutu, baik pada lapis
pelaksana maupun pada lapis perencana dan pemikir akan sama pentingnya sesuai
dengan bidang tugasnya masing-masing. Dengan demikian, bangsa indonesia tidak
hanya mampu swasembada ketenagakerjaan tetapi juga mampu mengekspornya.
3. Masyarakat
Kaitan antara masyarakat dan pendidikan dapat
ditinjau dari tiga segi, yakni:
a. Masyarakat sebagai penyelenggra
pendidikan, baik yang dilembagakan (jalur sekolah dan jalur luar sekolah)
maupun yang tidak dilembagakan (jalur luar sekolah),
b. Lembaga-lembaga kemasyarakatan dan atau
kelompok sosial di masyarakat, baik langsung maupun tak langsung, ikut
mempunyai peran dan fungsi edukatif.
c.
Dalam
masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang (by desain)
maupun yang dimanfaatkan (utility). Perlu pula di ingat bahwa manusia dalam
bekerja dan hidup sehari-hari akan selalu berupaya memperoleh manfaat dari
pengalaman hidupnya itu untuk meningkatkan dirinya. Dengan kata lain, manusia
berusaha mendidik dirinya sendiri dengan memanfaatkan sumber-sumber belajar
yang tersedia di masyarakatnya dalam bekerja, bergaul dan sebagainya.
Dari tiga
hal tersebut di atas, yang kedua dan ketigalah yang terutama menjadi
kawasan dari kajian masyarakat sebagai
pusat pendidikan. Namun perlu ditekankan bahwa tiga hal tersebut hanya dapat di
bedakan, sedangkan dalam kenyataan sering sukar dipisahkan.
Dalam pembahasan tentang asas belajar
sepanjang hayat (Bab III butir B.2) telah dikemukakan bahwa manusia sepanjang
hidupnya selalu terbuka peluang memperoleh pandidikan (asas pendidikan seumur
hidup), dan dari sisi lain, manusia seyogyanya belajar sepanjang hayat.
Implikasi dari asas tersebut adalah dalam beberapa tahun terakhir ini belajar
melalui pengalaman (experiential learning) makin lama makin penting (Kolb,
1984), bahkan telah dinilai dan diakui sesuatu yang setara dengan hasil belajar
lainnya melaui penilaian hasil belajar pengalaman (PHBMP) serta disertai
sebagai bagian dari kredit dalam program pendidikan tinggi seperti pada “School
for New Learning”dari “De Paul University”. Dalam UU-RI No. 2 tahun 1989
SISDIKNAS, gagasan-gagasan tersebut telah tercermin dalam pasal 24 ayat 2 (pendidikan berkelanjutan dan terbuka), pasal
26, dan lain-lain.
Fungsi masyarakat sebagai pusat pendidikan
sangat tergantung pada taraf perkembangan dari masyarakat itu beserta sumber-sumber
belajar yang tersedia didalamnya. Untuk Indonesia, perkembangan masyarakat itu
sangat berevariasi, sehingga wujud sosial kebudayaan dalam masyarakat dewasa
ini, menurut Koendjaraningrat (dari wayan Ardhana, 1986 : Modul 1/71) paling
sedikit dapat dibedakan menjadi enam tipe sosial-budaya sebagai berikut:
a). Tipe masyarakat
berdasarkan sistem berkebun yang amat sederhana, hidup dengan berburu, dan
belum mempunyai kebiasaan menanam padi. Sistem dasar kemasyarakatnnya berupa
desa terpencil tanpa difensiasi dan stratifikasi yang berarti. Masyarakat tidak
mengalami kebudayaan perunggu, kebudayaan Hindu dan Agama Islam.
b). Tipe masyarakat pedesaan
berdasar bercocok Taman di ladang atau
sawah dengan Tamanan pokok padi. Sistem dasar kemasyarakatannya adalah
komonikasi petani dengan diferensiasi
dan stratifikasi sosial sedang, dan yang merasakan diri sebagai bagian bawah
dari suatu kebudayaan yang lebih besar. Gelombang pengaruh kebudayaan Hindu dan
Agama Islam tidak dialami. Arah orientsinya adalah masyarakat Kota dengan
peradaban kepegawaian.
c). Tipe masyarakat
berdasarkan sistem bercocok Taman di ladang atau sawah dengan Tamanan pokok
padi. Sistem dasar kemasyarakatannya adalah Desa komunitas petani dengan
deferensiasi dan stratifikasi sosial sedang gelombang pengaruh kebudayaan Hindu
tidak dialami atau sangat kecil, sehingga terhapus oleh pengaruh agama Islam.
Arah orientasinya adalah msyarakat kota yang mewujudkan peradaban bekas
kerajaan berdagang dengan pengaruh Islam, bercampur dengan peradaban
kepegawaian.
d). Tipe masyarakat pedesaan
berdasarkan sistem bercocok Taman disawah dengan Tamanan pokok padi. Sistem
dasar kemasyarakatanya adalah petani deferensiasi dan stratifikasi sosial yang
agak kompleks. Masyarakat ini mengalami semua gelombang pengaruh kebudayaan
asing, seperti kebudayaan Hindu, agama Islam, dan Eropa. Arah orientasinya
adalah masyarakat kota yang mewujudkan peradaban kepegawaian.
e). Tipe masyarakat perkotaan yang mempunyai ciri-ciri
pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah. Tipe
masyarakat metropolitan yang mengembangkan sektor perdagangan dan industri,
tetapi masih didominasi oleh aktifitas kehidupan pemerintahan dengan suatu
sektor kepegawaian yang luas dan kesibukan politik ditingkat daerah ataupun
pusat.
Terdapat sejumlah lembaga kemasyarakatan
dan atau kelompok sosial yang mempunyai peran dan fungsi edukatif yang besar, antara lain: kelompok sebaya,
organisasi kepemudaan (pramuka, karang taruna, remaja masjid, dan sebagainya),
organisasi keagamaan, organisasi ekonomi, organisasi politik, organisasi
kebudayaan, media massa, dan sebagainya. Lembaga atau kelompok sosial tersebut
pada umumnya memberikan konstribusi bukan hanya dalam proses sosialisasi,
tetapi juga dalam peningkatan pengetahuan dan keterampilan anggotannya.
Beberapa diantara lembaga atau kelompok sosial tersebut akan dibahas
selanjutnya.
Setelah keluarga, kelompok sebaya mungkin
paling besar pengaruhnya terhadap pembentukan keperibadian, terutama pada saat
anak berusaha melepaskan diri dari pengaruh kekuasaan orang tua. Peralihan dari
dominasi pengaruh keluarga kearah dominasi kelompok sebaya sering kali disertai
oleh adanya konflik dan ketegangan yang bersumber dari pihak anak maupun dari
pihak orang tua. Yang dimaksud kelompok sebaya (Peers Group) adalah suatu
kelompok yang terdiri dari orang-orang yang bersamaan usianya, antara lain:
kelompok bermain pada masa kanak-kanak, kelompok monoseksual yang hanya
beranggotakan anak-anak dari kedua jenis kelamin, atau gang yaitu kelompok anak-anak
nakal. Dampak edukatif dari keanggotaan dalam kelompok sebaya itu antara lain
karena interaksi sosial yang intensif dan dapat terjadi setiap waktu, dan
dengan melalui peniruan (model) serta mekaisme penerimaan/penolakan kelompok.
Terdapat beberapa fungsi kelompok sebaya terhadap anggotanya (Wayan Ardhana,
1986 : Modul 5 /19 ) antara lain (a). Mengajar hubungan dan menyesuaikan diri
dengan orang lain, (b). Memperkenalkan kehidupan masyarakat yang lebih luas,
(c). menguatkan sebagian dari nilai-nilai yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat orang dewasa, (d). Memberikan kepada anggota-anggotanya cara-cara
untuk membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan otoritas, (e). Memberikan
pengalaman untuk mengadakan hubungan yang didasarkan pada prinsip persamaan
hak, (f). Memberikan pengetahuan yang tidak bisa diberikan oleh keluarga
secara memuaskan (pengetahuan mengenai
citarasa berpakaian, musik, jenis tingkah laku tertentu, dan lain-lain), dan
(g). Memperluas cakrawala pengalaman anak, sehingga ia menjadi orang yang lebih
kompleks.
Organisasi kepemudaan pada umumnya
mempunyai prinsif dasar yang sama yakni menyalurkan hasrat berkelompok dari
pemuda kepada hal-hal yang berguna. Organisasi ini mempunyai berbagai jenis
dengan latar yang berbeda, seperti sosial-edukatif (OSIS, pramuka, palang merah
remaja, patroli keamanan sekolah, dan sebagainya), sosial keagamaan, sosial
politik, dan sebagainya. Disamping penambahan pengetahuan dan keterampilan,
organisasi kepemudaan tersebut sangat bermanfaat dalam membantu proses
sosialisasi serta mengembangkan aspek efektif dari kepribadian (kejujuran,
disiplin, tanggungjawab dan kemandirian).
Peranan organisasi keagamaan pada umumnya sangat
penting karena berkaitan dengan keyakinan agama. Karena semua organisasi
keagamaan mempunyai keinginan untuk melestarikan keyakinan agama anggota-anggota,
maka organisasi tersebut menyediakan program pendidikan bagi anak-anaknya (a).
Mengajarkan keyakinan serta praktek-praktek keagaman dengan cara memberikan
pengalaman-pengalaman yang menyenangkan bagi mereka, (b). Mengajarkan kepada
mereka tingkah laku dan prinsip-prinsip moral yang sesuai dengan keyakinan-keyakinan
agamanya, (c) memberikan model-model bagi perkembangan watak ( wayan arharia,
1986: modul 5/18). Meskipun ada organisasi-organisasi keagamaan yang anggota-anggotanya
terdiri dari kelas-kelas sosial atau kelas etnik tertentu, pada umumnya
organisasi-organisasi keagamaan ini memiliki anggota yang terdiri dari berbagai
kelompok sosial atau kelompok etnis (suku bangsa), sehingga akan berperan
mengembangkan saling pengertian dan kerja sama antara kelompok sosial/etnis tersebut.
Seperti diketahui, pemerintah RI mengusahakan dengan sungguh-sungguh kerukunan
inter dan antar umat beragama di indonesia.
Akhirnya perlu dikemukakan salah satu
faktor dalam lingkungan masyarakat yang makin penting peranannya yakni media
massa. Pada umumnya media massa itu mempunyai tiga fungsi yakni informasi,
edukasi dan rekreasi. Karena kemajuan teknologi komunikasi pada masa ini, dan
terlebih masa yang akan datang, maka media massa sedang mengalami perubahan
yang cepat (lihat Bab IV Butir A.3). Media massa sebagai alat komunikasi dan
rekreasi yang menjangkau banyak orang telah menjadi suatu kekuatan pendorong
yang besar dalam kehidupan orang. Media massa mempunyai sumbangan yang besar
dalam mengintegrasikan kebudayaan serta mensosialisasikan generasi mudanya.
Karena biayanya yang tidak mahal, diperoleh, serta menarik, media massa mempunyai
arti penting terutama dalam kehidupan anak. Anak-anak menggunakan waktu yang
lebih banyak dalam menonton televisi, mendengarkan radio, menonton bioskop, dan
membaca komik jika dibandingkan dengan kegiatan-kegiatan lainnya. Wayan ardhana
(1986: modul 4/23) mengemukakan bahwa media massa memiliki tiga macam pengaruh.
Pertama, pengaruh sosialisasi dalam arti luas, utamanya tentang sikap dan nilai-nilai
dasar tentang masyarakat serta model tingkah laku dalam berbagai bidang
kehidupan. Kedua, pengaruh khusus jangka pendek media massa mungkin menyebabkan
orang membeli produk tertentu ataupun memberi suara/pendapat dengan cara
tertentu. Ketiga, media memberikan pendidikan dalam pengertian yang lebih
formal, yaitu dalam memberikan informasi atau mengajikan pengajaran dalam suatu
bidang studi tertentu. Ketiga fungsi ini tentu saja diluar fungsinya memberikan
rekreasi dan hiburan. Meskipun melalui fungsi rekreasi itu, media massa dapat
pula mempengaruhi prilaku manusia. Peranan media massa ini semakin menentukan dimasa
depan , karena kemajuan teknologi komunikasi sehingga media massa itu diterima
langsung kerumah-rumah, seperti pada radio dan televisi.
C. Pengaruh Timbal Balik Antara
Tripusat Pendidikan Terhadap Perkembangan Peserta Didik
Perkembangan peserta didik,
seperti juga tumbuh-kembang anak pada umumnya, dipengaruhi oleh berbagai faktor
yakni hederitas, lingkungan, proses perkembangan, dan anugrah. Khususnya untuk
faktor lingkungan, peranan tripusat itulah yang paling menentukan, baik secara
sendiri-sendiri ataupun secara bersama-sama. Dikaitkan dengan tiga poros
kegiatan utama pendidikan (membimbing, mengajar, dan melatih seperti tersebut
ayat 1 pasal 1 UU-RI No. 2/1989), peranan ketiga tripusat pendidikan itu
bervarisi meskipun ketiganya melakukan tiga kegiatan pokok dalam pendidikan
tersebut.
Disamping peningkatan
kontribusi setiap pusat pendidikan terhadap perkembangan peserta didik,
diprasyaratkan pula keserasian antara kontribusi itu, serta kerja sama yang
erat dan harmonis antara tripusat tersebut. Berbagai upaya dilakukan agar
program-program pendidikan dari setiap pusat pendidikan tersebut saling
mendukung dan memperkuat antara satu dengan yang lainnya. Di lingkungan
keluarga telah diupayakan berbagai hal (perbaikan gizi, permainan edukatif, dan
sebagainya) yang dapat mejadi landasan pengembangan selanjutnya disekolah dan
masyarakat. Di lingkungan sekolah diupayakan berbagai hal yang lebih
mendekatkan sekolah dengan orang tua siswa (organisasi orang tua siswa,
kunjungan rumah oleh personel sekolah, dan sebagainya). Selanjutnya, sekolah
juga mengupayakan agar programnya erat kaitannya dengan masyarakat di
sekitarnya (siswa kemasyarakat, nara sumber dari masyarakat ke sekolah, dan
sebagainya). Akhirnya lingkungan masyarakat mengusahakan berbagai kegiatan/program
yang menunjang/melengkapi program keluarga dan sekolah. Dengan kontribusi
tripusat pendidikan yang saling memperkuat dan saling melengkapi itu akan
memberi peluang mewujudkan sumber daya manusia terdidik yang bermutu.
Terdapat salah satu masalah
yang banyak dibicarakan yakni sekolah sebagai produk Masyarakat modern sering
membawa dampak negatif karena secara terselubung menghantar generasi terdidik
ke kota-kota besar. Seperti diketahui, di lokasi sekolah itu adalah semakin
tinggi jenjang sekolah itu makin dekat kekota besar sehingga perguruan tinggi
pada umumnya di ibu kota propinsi. Hal
itu membawa dampak negatif yakni
terpusatnya tenaga terdidik di daerah perkotaan, dan hanya sedikit yang
kembali kedaerah pedesaan. Program-program
Kuliah Kerja Nyata (KKN), pengerahan
tenaga sarjana suka rela ke pedesaan, dan sebagainya belum berhasil mengatasi
persoalan itu. Oleh karena itu terdapat berbagai pendapat yang diarahkan pada
perbaikan program persekolahan, khususnya kurikulum, agar lebih diorientasikan
pada kebutuhan daerah yang bersangkutan.
Titik kulminasi dari pemikiran
tersebut diatas akhirnya dituangkan dalam
Kep.Men.Dikbud-RI No.0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987 tentang penerapan
Muatan Lokal Kurikulum Sekolah Dasar. Keputusan itu kemudian dikukuhkan
oleh UU-RI No.2 tahun 1989 tentang
SISDIKNAS (umpamanya dalam pasal 37, 38 ayat 1) Jo.PP-RI No.28 tahun 1990
tentang Diknas (pasal 14 ayat 3 dan 4). Dengan demikian, pada tingkat sistem
(nasional) telah ditetapkan berbagai aturan sebagai acuan pengembangan/pelaksanaan
muatan lokal Kurikulum SD. Yang masih perlu dimantapkan adalah berbagai
komponen pada tingkat institusional maupun pelaksanaannya. Muatan Lokal
kurikulum tersebut adalah lingkungan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya
dan kebutuhan daerah yang perlu dipelajari oleh murid (Kep.Men.Dikbud-RI
No.0412/U/1987 ps 1).
Berdasarkan ketentuan yuridis
tersebut diatas ternyata bahwa kurikulum
SD mempunyai dua jenis muatan, yakni muatan nasional dan muatan lokal.
Kedua jenis muatan itu merupakan satu kesatuan yang saling menunjang dan
menguatkan. Muatan nasional kurikulum SD ditetapkan secara nasional, dan
berlaku sama di seluruh Indonesia (UU-RI No.2/1989 ps. 38 ayat 2). Sedangkan
muatan lokal kurikulum SD dapat berupa mata pelajaran tambahan dan atau
penjabaran / tambahan kajian dari mata pelajaran yang telah ada (PP-RI No.
28/1990 ps 14 ayat 3 dan 4), yang disesuaikan dengan lingkungan (alam, sosial
dan budaya) serta kebutuhan pembangunan didaerah tertentu. Untuk maksud
tersebut, pemilihan berbagai muatan lokal dari kurikulum yang berlaku secara
nasional dan tidak menyimpang dari tujuan pendidikan nasional.
Disamping isi kurikulum,
muatan lokal juga dapat berkaitan dengan cara penyampaian isi kurikulum
tersebut. Cara penyampaian itu meliputi baik kegiatan intrakurikuler, maupun ko-kurikuler
ataupun ekstra kurikuler. Muatan lokal dalam cara penyampaian kurikulum itu
akan sangat meningkatkan kadar relevansi kurikulum dengan situasi dan kebutuhan
setempat. Pemilihan strategi/metode/teknik belajar-mengajar, sumber belajar
(termasuk nara sumber), serta pendukung lainnya yang tersedia di sekitar siswa
akan sangat sangat bermanfaat mendekatkan siswa dengan lingkungannya,
mengakrabkan dengan bidang-bidang kemahiran yang ada disekitarnya, serta memahami
daerahnya.
Dari segi lain, perlu pula
dikemukakan bahwa muatan lokal kurikulum SD memerlukan kajian secara cermat
agar aspek kebhinekaan itu tetap dalam latar memantapkan/memperkaya
ketunggalikaan. Muatan lokal didalam kurikulum tidak boleh menghambat mobilitas
peserta didik, baik secara horisontal
maupun vertikal. Dengan kata lain, muatan lokal dalam kuruikulum SD harus
diupayakan sedemikian rupa sehingga menghasilkan bukan-nya “manusia lokal” akan
tetapi “maniusia nasional” disuatu lokal tertentu. Manusia Indonesia yang akrab
dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, sebagai pribadi dengan jati
diri Indonesia yang terintegrasi dengan masyarakat sekitarnya, serta mampu
mengembangkan minat dan kemampuannya yang khas untuk di sumbangkan kepada masyarakat.
Dalam Petunjuk Penerapan
Muatan lokal Kurikulum SD (lampiran Kep.Men.Dikbud-RI No.0412/U/1987)
dikemukakan beberapa tujuan yang lebih rinci dari muatan lokal tersebut yang
dapat dikategorikan dalam dua kelompok sebagai berikut:
- Tujuan-tujuan yang segera dapat dicapai yakni (a) bahan pengajaran lebih mudah diserap oleh murid, (b) sumber belajar di daerah dapat lebih dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, (c) murid dapat menerapkan pengetahuan untuk memecahkan masalah yang ditemukan di sekitarnya, (d) murid telah mengenal kondisi alam, lingkungan sosial dan lingkungan budaya yang terdapat di daerahnya.
- Tujuan-tujuan yang memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapainya yakni (a) murid dapat meningkatkan pengetahuan mengenai daerahnya, (b) murid diharapkan dapat menolong orang tuanya dan menolong dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, (c) murid menjadi akrab dengan lingkungannya dan terhindar dari keterasingan dari lingkungan sendiri.
Muatan lokal kurikulum SD
seyogyanya semakin diperluas/ditingkatkan, agar dapat terlaksana dengan
semestinya berdasarkan tujuan muatan lokal, peningkatan dan perluasan muatan
lokal dilakukan dengan memperhatikan (1) GBPP yang berlaku, (2) sumber daya
yang tersedia, (3) kekhasan lingkungan (alam, sosial dan budaya) dan kebutuhan
daerah, (4) mobilitas daerah dan (5) perkembangan dan kemampuan murid
(Kep.Men.Dikbud No.0412/U/1987 ps 6) . Dengan demikian, pendidikan akan mampu
melaksanakan secara serentak fungsi pelestarian kebudayaan dan fungsi pengembangan
dari kebudayaan yang diembannya itu. Dan seiring dengan itu, sekolah sebagai
pusat pendidikan akan lebih dekat dengan pusat-pusat lainnya yakni keluarga dan
masyarakat. Dengan demikian, tripusat pendidikan diharapkan dapat menunaikan
tugasnya untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya dan membangun seluruh
masyarakat Indonesia.
Pendidikan merupakan suatu
proses yang kompleks dan melibatkan berbagai pihak, khususnya keluarga, sekolah
dan masyarakat sebagai lingkungan pendidikan yang dikenal sebagai tripusat
pendidikan.fungsi dan peranan tripusat pendidikan itu, baik sendiri-sendiri
maupun bersama-sama, merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan pendidikan
yakni membangun manusia Indonesia seutuhnya serta menyiapkan sumber daya
manusia pembangunan yang bermutu. Dengan demikian, pemenuhan fungsi dan peranan
itu secara optimal merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan pembangunan
nasional.
* Tambahan Petunjuk Belajar
Setelah anda mempelajari Bab V ini dengan seksama, kerjakanlah tugas –
tugas dibawah ini :
1. Hampir semua orang telah/sedang/akan
menjadi orang tua (ayah dan ibu) yang berperan sebagai pendidik dalam
keluarganya. Banyak diantara mereka yang tidak mempersiapkan diri untuk
melaksanakan tugas itu, dan mungkin hanya berbekal naluri keibuan/kebapaannya
saja ditambah dengan meniru sepintas lalu pada orang tuanya atau orang lain. Bagaimana
pendapat anda tentang hal itu?
- jika anda menganggap hal di atas sudah cukup, apa alasannya?
- Jika belum cukup, apakah yang seharusnya dilakukan dan bagaimana caranya?
Tuliskanlah pedapat Anda itu dan bandingkanlah
dengan pedapat orang lain melalui
diskusi kelas!
2. Dengan kemajuan teknologi komunikasi maka
berbagai informasi dan hiburan dapat diterima dari seluruh dunia langsung
kesetiap rumah tangga dengan bebasnya. Seperti diketahui, pengaruhnya terhadap anak-anak
sangat besar, utamanya pengaruh film, sinetron dan video clips. Sebagai orang
tua di abad 21 yang akan datang, apakah yang anda dapat lakukan untuk
memanfaatkan kemajuan itu, dan sebaliknya, menangkal pengaruh negatifnya? Tuliskan
pendapat Anda tersebut dan bandingkanlah dengan pendapat orang melalui diskusi
kelas.
BAB VI
ALIRAN ALIRAN
PENDIDIKAN
Gagasan dan pelaksanaan pendidikan selalu dinamis
sesuai dengan dinamika manusia dan masyarakatnya. Sejak dulu, kini maupun
dimasa depan pendidikan itu selalu mengalami perkembangan seiring dengan
perkembangan sosial-budaya dan perkembangan iptek. Pemikiran-pemikiran yang
membawa pembaruan pendidikan itu disebut aliran-aliran pendidikan. Seperti
dalam bidang-bidang lainnya, pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu
berlangsung seperti suatu diskusi berkepanjangan yakni pemikiran-pemikiran terdahulu selalu
dianggap dengan pro dan kontra oleh pemikir-pemikir berikutnya, dan karena
dialog tersebut akan melahirkan lagi pemikiran-pemikiran baru, dan demikian
seterusnya. Agar diskusi berkepanjangan itu dapat diikuti dan dipahami,
utamanya calon pakar kependidikan, harus memahami berbagai aliran-aliran itu agar dapat menangkap makna setiap gerak
dinamika pemikiran-pemikiran dalam pendidikan itu.
Pemahaman terhadap
pemikiran-pemikiran penting dalam pendidikan dengan membekali tenaga pendidikan
dengan wawasan kesejahteraan, yakni kemampuan memahami kaitan antara pengalaman-pengalaman
masa lampau, tuntutan dan kebutuhan masa kini, serta perkiraan/antisipasi masa
datang. Kawasan historis tersebut dapat berperan sebagai penangkal terhadap
kemungkinan kekeliruan kebijakan masa kini yang dapat berakibat bencana dimasa
depan. Seperti diketahui, hasil pendidikan segera nampak sehingga kekeliruan
sekecil apapun akan menyebabkan upaya perbaikan yang kadang-kadang sudah
terlambat.
Aliran-aliran pendidik
telah dimulai sejak awal hidup manusia, karena setiap kelompok manusia selalu diharapkan
dengan generasi muda keturunannya yang memerlukan pendidikan yang lebih baik
dari orang tuanya. Di dalam berbagai kepustakaan tentang aliran-aliran pendidikan,
pemikiran-pemikiran tentang pendidikan telah dimulai dari zaman yunani kuno
sampai kini (seperti: Ulich,1950). Oleh karena itu, kajian dalam BAB VI ini
dibatasi hanya pada beberapa gerakan baru yang pengaruhnya masih terasa hingga
kini dan akirnya dua tonggak penting pemikiran pendidikan di Indonesia.
Meskipun paparan ini terbatas hanya pada beberapa aliran penting saja namun
diharapkan tidak akan mengurangi maksud dan tujuannya yaitu sebagai pembekalan
wawasan historis terhadap setiap calon tenaga kependidikan.
A.
Aliran Klasik dan Gerakan Baru dalam
Pendidikan
Pemikiran-pemikiran tentang pendidikan yang telah
dimulai pada zaman Yunani Kuno dan dengan kontribusi berbagai bagian dunia
lainnya, akhirnya perkembangan dengan pesat di Eropa dan Amerika Serikat. Oleh
Karena itu, baik aliran-aliran klasik maupun gerakan-gerakan baru dalam
pendidikan pada umumnya berasal dari kedua kawasan itu. Pemikiran-pemikiran itu
tersebar keseluruh dunia termasuk Indonesia dengan berbagai cara seperti: dibawa oleh bangsa penjajah kedaerah
jajahannya, melalui bacaan (buku dan sejenisnya), dibawa oleh orang-orang yang pergi belajar ke Eropa/Amerika dan
sebagainya. Penyebaran itu menyebabkan pemikiran-pemikiran dari kedua kawasan
itu pada umumnya menjadi acuan dalam penetapan kebijakan dibidang
pendidikan di berbagai negara.
Aliran-aliran
klasik yang meliputi aliran-aliran empirisme, nativisme, naturalisme dan konevegerensi
merupakan benang-benang merah yang menghubungkan pemikiran-pemikiran pendidikan
masa lalu, kini dan mungkin yang akan datang.
Aliran-aliran itu mewakili berbagai variasi pendapat tentang pendidikan,
mulai dari yang paling pesimis sampai dengan yang paling optimis. Aliran yang
paling pesimis memandang bahwa pendidikan kurang bermanfaat bahkan mungkin
merusak bakat yang telah dimiliki anak. Sedang sebaliknya aliran yang sangat
optimis memandang anak seakan akan tanah liat yang dapat dibentuk sesuka hati.
Selanjutnya,
terdapat beberapa gagasan yang lebih bersifat atau gerakan dalam pendidikan
yang pengaruhnya masih terasa samapai kini, yakni gerakan gerakan dalam
pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat perhatian, sekolah kerja dan
pengajaran proyek. Gerakan-gerakan tersebut mendapat reaksi yang berbeda-beda di
berbagai negara namun terdapat asas yang mendasarinya yang diterima secara
luas. Gerakan-gerakan ini sangat mempengaruhi cara-cara guru dalam mengelola
kegiatan belajar mengajar di Sekolah. Oleh karena itu gerakan-gerakan itu dapat
dikaji untuk memperkuat wawasan dan pengetahuan tentang pengajaran. Seperti telah dikemukakan bahwa pengajaran
merupakan pilar penting dari kegiatan pendidikan di sekolah, utamanya kalau dilakukan
pengajaran yang sekaligus mendidik.
1. Aliran-aliran dalam pendidikan dan
Pengaruhnya terhadap Pemikiran Pendidikan di Indonesia
Manusia merupakan makhluk yang misterius
yang mampu menjelajahi angkasa luar tetapi angkasa dalam nya masih belum cukup
terungkap ; minimal para pakar dari ilmu-ilmu perilaku cenderung berbeda
pendapat tentang berbagai hal mengenai perilaku manusia itu. Dalam paparan
tentang “Landasan Psikologi” (Bab III Butir A.4) telah dikemukakan perbedaan
bahkan pertentangan pendapat tentang hakekat manusia ditinjau dari segi psiko-edukatif,
utamanya teori kepribadian. Sehubungan dengan kajian tentang aliran-aliran
pendidikan, perbedaan pandangan itu berpangkal pada perbedaan pandangan tentang
perkembangan manusia itu. Terdapat perbedaan penekanan di dalam suatu teori
kepribadian tertentu tentang faktor manakah yang paling berpengaruh (dominan)
dalam perkembangan kepribadian. Teori-teori dari strategi Disposional, terutama
yang berdasar pada pandangan biologis (konstitusional) dari Kretschmer dan
Sheldon, memberikan tekanan pada pengaruh faktor hereditas, sedangkan teori-teori
dari strategi behavioral dan strategi phenologis menekankan faktor belajar.
Kedua strategi yang terakhir ini, meskipun keduanya menekankan faktor belajar
tetapi mengemukakan pandangan yang berbeda tentang bagaimana proses belajar itu
terjadi, akibat perbedaan pandangan tentang hakikat manusia. Startegi
behavioral memandang manusia terutama sebagai makhluk pasif yang tergantung
pada pengaruh lingkungannya (ingat tradisi ala J.Locke : Rasa), sedangkan
Strategi Phenomonologis memandang manusia sebagai makhluk aktif yang mampu
beraksi dan melakukan pilihan-pilihan sendiri (ingat tradisi ala G.Leibnits :
Monad). Bagi Locke “Knowledge comes from external stimulation, that manusia
is adalah receiver and transmitter of information (Milhollan s Forisha, 1972 :
24). Seperti diketahui pandangan kita adalah bahwa siswa itu bukan hanya
“receiver and transmiller” tetapi juga “generation of information” dengan
prinsip cara belajar siswa aktif (CBSA).
Perbedaan
pandangan tentang faktor dominan dalam perkembangan manusia tersebut menjadi
dasar perbedaan tentang peran pendidikan terhadap manusia, mulai dari yang
paling pesimis sampai yang paling optimis. Aliran-aliran itu pada umumnya mengemukakan
satu faktor dominan tertentu saja, dan dengan demikian, suatu aliran dalam
pendidikan akan mengajukan gagasan untuk mengoptimalkan faktor tersebut untuk
mengembangkan manusia. Seperti dalam kajian selanjutnya, bahwa aliran
konvergensi mencoba mengemukakan pandangan menyeluruh dan karena itu diterima
luas oleh banyak pihak.
a.
Aliran empirisme
Aliran empirisme bertolak dari Lockean
Tradition yang mementingkan stimulais
eksternal dalam perkembangan manusia, dan menyatakan bahwa perkembangan anak
tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak dipentingkan. Pengalaman yang diperoleh anak dalam
kehidupan sehari-hari didapat dari dunia sekitarnya yang berupa stimulan-stimulan.
Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun diciptakan oleh orang dewasa
dalam bentuk program pendidikan. Tokoh perintis dalam pandangan ini adalah
seorang filsuf inggris bernama John Locke (1704-1932) yang mengembangkan teori:
Tabula Rasa”, yakni anak lahir didunia bagaikan kertas putih yang bersih.
Pengalaman empirik yang diperoleh dari lingkungan akan berpengaruh besar dalam
menentukan perkembangan anak. Menurut pandangan empirisme (biasa pula disebut
environmentalisme) pendidik memegang peranan yang sangat penting sebab pendidik dapat menyediakan lingkungan
pendidikan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai pengalaman-pengalaman.
Pengalaman-pengalaman itu tentunya yang sesuai dengan tujuan pendidikan.
Aliran
empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan pengalaman
yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan-kemampuan dasar yang dibawa
anak sejak lahir dianggap tidak menetukan, menurut kenyataan dalam kehidupan
sehari-hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan
sekitarnya tidak mendukung. Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan
yang berasal dari dalam diri yang berupa kecerdasan atau kemauan keras, anak
berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat mengembangkan bakat atau kemampuan
yang telah ada dalam dirinya. Meskipun demikian, penganut aliran ini masih
tampak pada pendapat-pendapat yang memandang manusia sebagai makhluk yang pasif
dan dapat dimanipulasi, umpama melalui modifikasi tingkah laku. Pandangan
behavioral ini juga masih bervariasi dalam menetukan faktor apakah yang paling
utama dalam proses belajar itu (Milhollan dan Forisha, 1972 : 31-79; Ivey 1987
: 231-263), sebagai berikut :
1) Pandangan yang menekankan peranan stimulus
(rangsangan) terhadap perilaku seperti dalam “classic conditioning atau
respondent learning” oleh Ivan Pavlov
(1849-1936) di Rusia dan Jon B. Watson (1878-1958) di Amerika Serikat.
2) Pandangan yang menekankan peranan dari
dampak ataupun balikan dari sesuatu perilaku seperti dalam “operant
conditioning” atau ”instrument learning” dari Edward L. Thorndike (1874-1949)
dan Burhus F.Skinner (1904-) di Amerika
Serikat.
3) Pandangan yang menekankan peranan pengamatan
dan imitasi seperti OL “observational learning” yang dipelopori oleh
N.E. Miller dan J.Dollar dengan “social learning and imitation (diterbitkan
tahun 1976) maupun dengan “self-efficaty” (diterbitkan tahun 1982).
Seperti yang akan
dikemukakan pada butir dan (aliran konvergensi) pada bagian ini, beberapa
pendapat dalam pandangan behavioral
tersebut tidak lagi sepenuhnya ala “Tabula Rasa” dari J.Locke, karena telah
mulai diperhatikan pula faktor-faktor internal dari manusia.
b. Aliran Nativisme
Aliran Nativisme bertolak
dari Leibnitzian tradtion yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga
faktor lingkungan, termasuk faktor pendidikan, kurang berpengaruh terhadap pendidikan
anak. Hasil perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah
diperoleh sejak kelahiran. Lingkungan yang berpengaruh terhadap pendidikan dan
perkembangan anak. Hasil pendidikan tergantung pada pembawaan, Scopenhauer
(filsuf Jerman 1788-1860) berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan
pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karena itu, hasil akhir pendidikan
ditentukan oleh pembawaan yang sudah dibawa sejak lahir. Berdasarkan pandangan
ini maka keberhasilan pendidikan ditentukan oleh anak didik itu sendiri.
Ditekankan bahwa “yang jahat akan menjadi jahat dan yang baik akan menjadi
baik”. Pendidikan yang tidak sesuai dengan bakat dan pembawaan anak didik tidak
akan berguna untuk anak sendiri. Penganut pandangan aliran nativisme menyatakan bahwa kalau anak mempunyai
pembawaan jahat maka dia akan menjadi jahat, sebaliknya kalau anak mempunyai
pembawaan baik maka dia akan menjadi orang baik. Pembawaan baik dan buruk tidak
dapat diubah dari kekuatan luar.
Meskipun dalam kenyataan sehari-hari, sering ditemukan anak
mirip orang tuanya (secara fisik) dan
anak juga mewarisi bakat-bakat yang ada pada orang tuanya. Tetapi pembawaan itu bukanlah
merupakan satu-satunya faktor yang menentukan perkembangan. Masih banyak faktor
yang dapat mempengaruhi pembentukan dan perkembangan anak dalam menuju
kedewasaan. Pandangan konvergensi akan memberikan penjelasan tentang pentingnya
kedua faktor : Pembawaan atau hereditas dan lingkungan dalam perkembangan anak.
Terdapat suatu pokok pendapat aliran nativisme yang berpengaruh luas yakni
dalam diri individu terdapat suatu “inti” pribadi (G.Leibnitz : monad) yang
mendorong manusia untuk mewujudkan diri, mendorong manusia dalam menentukan
pilihan dan kemampuan sendiri dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk aktif
yang mempunyai kemampuan bebas. Meskipun pandangan ini mengakui pentingnya
belajar, namun pengalaman dalam belajar itu ataupun penerimaan dan persepsi
seseorang banyak ditentukan oleh kemampuan memberi makna kepada apa yang
dialaminya itu. Dengan kata lain pengalaman belajar ditentukan oleh “internal frame of reference”
yang dimilikinya. Terdapat variasi pendapat dari pendekatan phenomonologi
/humanistik tersebut (Milhollan dan Forisha, 1972 : 81-123 ; etal 1987 : 267-197)
sebagai barikut :
1) Pendekatan aktualisasi diri atau non
direktif (client centered) dari Carl R. Rogers dan Abraham Maslow.
2) Pendekatan “Personal Constructs” dari
George A. Kelly yang menekankan betapa pentingnya memahami hubungan transioknal
antara manusia dan lingkungannya sebagai bekal awal memahami perilakunya (Ivey,
et. aliran, 1987 :144 dan 154).
3) Pendekatan “Gestal” baik yang klasik (max
Wertheimer dan Wolgang Kphler) maupun pengembangan selanjutnya (K.Lewin dan
F.Persl).
4) Pendekatan “Search for meaning” dengan
aplikasinya sebagai “Logteraphy” dari Viktor Franki yang mengungkapkan betapa pentingnya
semangat (human spirit) untuk mengatasi berbagai tantangan /masalah yang dihadapi.
Pendekatan-pendekatan
tersebut diatas tetap menekankan betapa pentingnya “inti” pertunjukkan privasi atau
jati diri manusia.
c. Aliran Naturalisme
Pandangan yang ada
persamaannya dengan nativisme adalah aliran naturalisme yang dipelopori oleh
seorang filsuf Prancis J.J Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan Scopenhauer,
Rousseau bahwa semua anak akan menjadi rusak karena dipengaruhi oleh
lingkungan. Rousseau juga berpendapat bahwa pendidikan yang diberikan orang dewasa
malah dapat merusak pembawaan anak yang baik itu. Aliran ini juga disebut
Negativisme, karena berpendapat bahwa pendidik wajib membiarkan pertumbuhan
anak pada alam. Jadi dengan kata lain pendidik tidak diperlukan. Yang
dilaksanakan as menyerahkan anak didik ke alam agar pembawaan yang baik itu
tidak menjadi rusak oleh tangan manusia melalui proses dan kegiatan pendidikan
itu. J.J Rousseau ingin menjauhkan anak dari segala keburukan masyarakat yang
serba dibuat-buat (artificial) sehingga kebaikan anak-anak yang diperoleh
secara alamiah saat kelahirannya itu dapat nampak secara spontan dan bebas. Ia
mengusulkan perlunya permainan bebas kepada anak didik untuk mengembangkan
pembawaannya, kemampuan-kemampuan dan kecenderungan-kecenderungannya.
Pendidikan, harus dijauhkan dalam perkembangan anak karena hal itu berarti
dapat menjauhkan anak dari segala hal yang bersifat dibuat-buat (artificial)
dan dapat membawa anak kembali ke alam untuk mempertahankan segala yang baik.
d. Aliran Konvergensi
Perintis aliran ini adalah
William Stern (1871-1939), seorang ahli pendidikan bangsa Jerman yang
berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai pembawaan
baik dan pembawaan buruk. Penganut aliran ini berpendapat bahwa dalam proses
perkembangan anak, baik dari faktor pembawaan maupun faktor lingkungan sama-sama
mempunyai peranan yang sangat penting. Bakat yang dibawa pada waktu lahir tidak
akan berkembang dengan baik tanpa adanya dukungan lingkungan yang sesuai untuk
perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkugan yang baik tidak dapat
menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak tidak
terdapat bakat yang diperlukan untuk pendidikan pengembangan itu. Sebagai
contoh hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata adalah juga
hasil konveregensi. Pada anak manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui
situasi lingkungannya, anak belajar belajarv berbicara dalam bahasa tertentu.
Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan bahasanya.
William Stern berpendapat bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari pembawaan
dan lingkungan, seakan akan dua garis yang menuju ke satu titik pertemuan
sebagai berikut :
a a.
pembawaan
c b. Lingkungan
|
Karena itu teori W. Stern
disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat kesatu titik). Jadi
menurut teori konvergensi :
1) Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
2) Pendidikan diartikan sebagai pertolongan
yang diberikan lingkungan kepada anak didik untuk mengembangkan potensi yang
baik dan mencegah berkembangnya potensi yang kurang baik.
3) Yang membatasi hasil pendidikan adalah
pembawaan dan lingkungan.
Aliran konvergensi pada
umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh
kembang manusia. Meskipun demikian terdapat variasi pendapat tentang faktor-faktor
mana yang paling baik dalam menentukan tumbuh kembang itu. Seperti telah
dikemukakan bahwa variasi-variasi itu tercermin antara lain dalam perbedaan
pandangan tentang strategi yang tepat untuk memahami perilaku manusia, seperti
strategi disposisional /konstitusional, strategi phenomonologis/humanistik,
strategi behavioral, strategi psikodinamik/psiko-analitik dan sebagainya. Dari
sisi lain, variasi pendapat itu juga melahirkan berbagai pendapat tentang
belajar mengajar, seperti peran guru sebagai fasilitator ataukah informator,
teknik penialian pencapaian siswa dengan tes objektif atau tes esai, perumusan
tujuan pengajaran yang sangat behavioral, penekanan pada peran teknologi
pengajaran (the teaching machine, belajar berprogram dan lain-lain).
e. Pengaruh Aliran Klasik terhadap Pemikiran
dan Praktek Pendidikan di Indonesia
Aliran-aliran pendidikan
yang klasik mulai dikenal di Indonesia melalui upaya-upaya pendidikan, utamanya
persekolahan dari penguasa penjajah Belanda dan disusul kemudian oleh orang-orang Indonesia yang belajar di negeri Belanda pada
masa penjajahan. Setelah kemerdekaan Indonesia, gagasan dalam aliran-aliran
pendidikan itu masuk ke Indonesia melalui orang-orang yang belajar di berbagai negara eropa,
Amerika Serikat dan lain-lain. Seperti diketahui, sistem persekolahan
diperkenalkan oleh pemerintah kolonial belanda di Indonesia sebelum masa itu
pendidikan di Indonesia terutama oleh keluarga pada masyarakat (kelompok
belajar/padepokan, lembaga keagamaan/pesantren dan lain-lain).
Meskipun dalam hal-hal
tertentu sangat diutamakan bakat dan dimensi lainnya dari anak (umpama pada
bidang kesenian, keterampilan tertentu dan sebagainya), namun upaya penciptakan
lingkungan untuk pengembangan bakat dan kemampuan itu diusahakan pula secara
optimal. Dengan kata lain, meskipun peranan pandangan empirisme dan nativisme
tidak spenuhnya ditolak, tetapi penerimaan itu dilakukan dengan pendekatan
efektif fungsional yakni diterima sesuai dengan kebutuhan, namun ditempatkan
dalam latar pandangan yang konvergensi.
Khusus dalam latar persekolahan, kini terdapat
sejumlah pendapat yang lebih menginginkan agar peserta didik lebih ditempatkan
pada posisi yang seharusnya, yakni sebagai manusia yang dapat dididik dan juga
dapat mendidik dirinya sendiri. Hubungan pendidik dan peserta didik seyogyanya
adalah hubungan yang setara antara dua pribadi, meskipun yang satu lebih
berkembang dari yang lain (Raka Joni, 1983 : 29; Sulo Lipa Sulo,1984). Hubungan
kesetaraan dalam interaksi edukatif tersebut seyogyanya diarahkan menjadi suatu
hubungan transaksional, suatu hubungan antar pribadi yang memberi peluang baik
bagi peserta didik yang belajar,maupun bagi pendidik yang ikut belajar
(coleaner). Dengan demikian, cita-cita pendidikan seumur hidup dapat diwujudkan
melalui belajar seumur hidup. Hubungan tersebut sesuai dengan asas ing ngarsa
sung tulada, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.
2. Gerakan Baru Pendidikan dan Pengaruhnya terhadap
Pelaksanaan di Indonesia
Pendidikan sebagai suatu kegiatan
yang kompleks menuntut penanganan untuk meningkatkan kualitasnya, baik yang
bersifat menyeluruh maupun pada beberapa komponen tertentu saja. Gerakan-gerakan
baru dalam pendidikan pada umumnya termasuk yang kedua yakni upaya mutu
pendidikan hanya dalam satu atau beberapa komponen saja. Meskipun demikian, sebagai
suatu sistem, penanganan satu atau beberapa komponen itu akan mempengaruhi pula
komponen lainnya. Beberapa dari gerakan-gerakan baru tersebut memusatkan diri
pada perbaikan dan peningkatan kualitas kegiatan belajar mengajar pada sistem
persekolahan, seperti pengajaran alam sekitar, pengajaran pusat perhatian,
sekolah kerja, pengajaran proyek, dan sebagainya (Suparlan, 1984; Soejono, 1958).
a. Pengajaran Alam Sekitar
Gerakan pendidikan yang
mendekatkan anak dengan sekitarnya adalah gerakan pengajaran alam sekitarnya,
perintis gerakan ini antara lain : Fr. A Finger (1808-1916) di Jerman dengan
heimatkunde (pengajaran alam sekitar, dan J. Lingthart (1859 – 1916) di Belanda
dengan Het Volle Leven (kehidupan senyatanya). Beberapa prinsip gerakan
Heitmakunde adalah :
1) Dengan pengajaran alam sekitar itu, guru
dapat meragakan secara langsung.
2) Pengajaran alam sekitar memberikan
kesempatan sebanyak-banyaknya agar anak aktif
3) atau giat tidak hanya duduk, dengar dan catat
saja.
4) Pengajaran alam sekitar memungkinkan untuk
memberikan pengajaran totalitas, yaitu suatu bentuk pengajaran dengan ciri-ciri
dalam garis besarnya sebagai berikut :
a) Suatu pengajaran yang tidak mengenai
pembagian mata pengajaran dalam daftar pengajaran, tetapi guru memahami tujuan
pengajaran dan mengarahkan usahanya untuk mencapai tujuan.
b) Suatu pengajaran yang menarik minat,
karena segala sesuatu dipusatkan atas suatu bahan pengajaran yang menarik
perhatian anak dan diambilkan dari alam sekitarnya.
c) Suatu pengajaran yang memungkinkan segala
bahan pengajaran itu berhubung-hubungan satu sama lain seerat-eratnya secara
teratur.
Pengajaran alam sekitar
memberi kepada anak bahan apersepsi intelektual yang kukuh dan tidak
verbalistis.Yang dimaksud dengan apersepsi intelektual ialah segala sesuatu
yang baru dan masuk di dalam intelek anak, harus dapat luluh menjadi satu
dengan kekayaan pengetahuan yang sudah dimiliki anak.
Pengajaran alam sekitar memberikan apersepsi emosional,
karena alam sekitar mempunyai ikatan emosional dengan anak. Sedangkan J. Lingthart mengemukakan pegangan
dalam Het Volle Vellen sebagai berikut:
1) Anak harus mengetahui barangnya terlebih
dahulu sebelum mendengar namanya, tidak kebalikannya, sebab kata itu hanya
suatu tanda dari pengertian tentang barang itu.
2)
Pengajaran sesungguhnya harus mendasarkan pada
pengajaran selanjutnya atau mata pengajaran yang lain harus dipusatkan atas
pengajaran itu.
3) Haruslah diadakan perjalanan memasuki
hidup senyatanya kesemua jurusan, agar murid paham akan hubunga antara bermacam-macam
lapangan dalam hidupnya (pengajaran alam sekitar).
Pokok-pokok pendapat pengajaran alam
sekitar tersebut telah banyak dilakukan di sekolah, baik dengan peragaan,
penggunaan bahan lokal dalam pengajaran, dan lain-lain. Seperti dikemukakan
bahwa beberapa tahun terakhir ini telah ditetapkan adanya muatan lokal dalam
kurikulum, termasuk penggunaan alam sekitar. Di samping alam sekitar sebagai
isi bahan ajaran, alam sekitar juga menjadi
kajian empirik melalui percobaan, studi banding, dan sebagainya.
b. Pengajaran Pusat Perhatian
Pengajaran pusat perhatian dirintis
oleh Ovideminat Decroly (1871-1932) dari Belgia dengan pengajaran melalui pusat-pusat
minat (Centres d’internet). Pendidikan menurut Decroly berdasar pada semboyan :
Ecole pour la vie, par la vie (sekolah untuk hidup dan oleh hidup). Menurut
Decroly dunia ini terdiri dari alam dan kebudayaan. Dan dunia itu harus hidup
dan dapat mengembangkan kemampuan untuk mencapai cita-cita. Pengetahuan anak-anak
harus bersifat subyektif dan obyektif. Dari penelitian secara tekun, Decroly
menyumbangkan dua pendapat yang sangat berguna bagi pendidikan dan pengajaran,
yaitu :
1) Metode Global (keseluruhan). Dari hasil
yang didapat dari observasi dan tes, dapatlah ia menetapkan, bahwa anak-anak
mengamati dan mengingat secara global (keseluruhan). Mengingat keseluruhan
lebih dulu daripada bagian-bagian. Jadi ini berdasar atas prinsip psikologi
Gestalt.
2) Centre d’interet (pusat-pusat minat). Dari
penyelidikan psikologik, ia menetapkan bahwa anak-anak mempunyai minat yang
spontan (sewajarnya). Pengajaran harus disesuaikan dengan minat-minat spontan
tersebut. Sebab apabila tidak, misalnya minat yang ditimbulkan oleh guru, maka
pengajaran itu tidak akan banyak hasilnya. Anak mempunyai minat-minat spontan terhadap
diri sendiri dan minat spontan terhadap diri sendiri itu dapat kita bedakan
menjadi :
a) Dorongan mempertahankan diri,
b) Dorongan mencari makan dan minum,
c) Dorongan memelihara diri,
Sedangkan minat terhadap
masyarakat (biososial) ialah :
a)
Dorongan sibuk bermain-main,
b) Dorongan meniru orang lain,
Dorongan-dorongan inilah
yang digunakan sebagai pusat-pusat minat. Sedangkan pendidikan harus selalu
dihubungkan dengan pusat-pusat minat tersebut.
Gerakan pengajaran pusat
perhatian tersebut telah mendorong sebagai upaya agar dalam kegiatan belajar
mengajar diadakan berbagai variasi (cara mengajar dan lain-lain).
c. Sekolah Kerja
Gerakan sekolah kerja dapat
dipandang sebagai titik kulminasi dari pandangan-pandangan yang mementingkan
pendidikan keterampilan dalam pendidikan. G. Kerscenteiner ( 1854-1932 )
sebagai bapak sekolah kerja dengan Arbeitscule-nya (sekolah kerja) di Jerman. Perlu
dikemukakan bahwa sekolah kerja itu bertolak dari pandangan bahwa pendidikan
tidak hanya demi kepentingan masyarakat. Dengan kata lain, sekolah berkewajiban
menyiapkan warga negara yang baik, yakni :
1) Tiap orang adalah pekerja dalam salah satu
lapangan jabatan,
2) Tiap orang wajib menyumbangkan tenaganya
untuk kepentingan negara,
3) Dalam menunaikan kedua tugas tersebut
haruslah selalu diusahakan kesempurnaannya, agar dengan jalan itu warga negara
ikut membantu mempertinggi kesusilaan dan keselamatan negara. Berdasarkan hal
itu, maka menurut G. Kerschenteiner tujuan sekolah adalah :
a) Menambah pengetahuan anak, yaitu
pengetahuan yang didapat dari buku atau orang lain, dan didapat dari pengalaman
sendiri,
b)
Agar anak dapat memiliki kemampuan dan kemahiran
tertentu,
c) Agar anak dapat memiliki pekerjaan sebagai
persiapan jabatan dalam mengabdi negara.
Oleh karena demikian
banyaknya macam pekerjaan yang menjadi pusat pelajaran, maka sekolah kerja
dibagi menjadi tiga golongan besar :
1)
Sekolah-sekolah perindustrian (tukang cukur, tukang
kayu dan lain-lain)
2)
Sekolah-sekolah perdagangan (makanan, pakaian, bank dan
lain-lain)
3)
Sekolah-sekolah rumah tangga, bertujuan mendidik para
calon ibu yang diharapkan akan menghasilkan warga neagara yang baik.
Pengikut G. Kerschenteiner antara
lain, Leo de Paeuw. Leo de Paeuw adalah direktur jendral pengajaran normal di
Belgia, yang mendirikan sekolah kerja seperti Kerschenteiner di negaranya. Ia
membuka lima
macam sekolah kerja yaitu :
1)
Sekolah teknik kerajinan,
2)
Sekolah dagang,
3) Sekolah pertanian bagi anak laki-laki,
4) Sekolah rumah tangga kota, dan
5) Sekolah rumah tangga desa.
d. Pengaruh Gerakan Baru dalam Pendidikan Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan di Indonesia
Telah dikemukakan bahwa gerakan baru dalam pendidikan tersebut terutama
berkaitan dengan kegiatan belajar mengajar di sekolah, namun dasar-dasar
pikirannya tentulah menjangkau semua segi dari pendidikan, baik aspek
konseptual maupun operasional. Sebab itu, mungkin saja gerakan-gerakan itu
tidak diadopsi seutuhnya di suatu masyarakat atau negara tertentu, namun asas
pokoknya menjiwai kebijakan-kebijakan pendidikan dalam masyarakat atau negara
itu.
Akhirnya, perlu ditekankan lagi bahwa kajian
tentang pemikiran-pemikiran pendidikan pada masa lalu akan sangat bermanfaat
untuk memperluas pemahaman tentang seluk beluk pendidikan, serta memupuk
wawasan historis dari setiap tenaga kependidikan.
B.
Dua “Aliran” Pokok Pendidikan di Indonesia
Dua
“aliran” pokok pendidikan dimaksudkan adalah Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
dan Ruang Pendidikan INS Kayu Taman. Kedua aliran ini dipandang suatu tonggak
pemikiran tentang pendidikan di Indonesia. Secara historis, pendidikan yang
melembaga telah dikenal sebelum Belanda menjajah Indonesia, seperti padepokan,
pesantren, dan sebagainya. Belanda memperkenalkan sistem persekolahan di
Indonesia, timbul pula berbagai upaya untuk mendirikan sekolah. RA Kartini (1879-1904)
telah berhasil mendirikan sekolah untuk anak perempuan di Jepara dan di
Rembang. Demikian pula tokoh di bidang keagamaan telah merintis persekolahan
bercorak keagamaan sesuai dengan ajaran maing-masing. Sebagai contoh adalah
Muhammadiyah (didirikan 1912 oleh K.H. Achmad Dahlan), Perguruan Kebangsaan
Taman Siswa (didirikan oleh KH. Dewantara pada 3 juli 1922).
Setelah kemerdekaan, telah diupayakan mengembangkan satu sistem
pendidikan nasional sesuai ketetetapan Ayat 2 Pasal 31 dari UUD 1945. Menjelang
PJP II telah diletakkan landasan yuridis untuk penataan Sisdiknas ditetapkannya
UU RI No. 2 Tahun 1989 beserta peraturan pelaksanaannya. Dalam ketetapan itu
dengan tegas dinyatakan “satu” dan bukannya “suatu” Sisdiknas itu. Oleh karena
itu, kajian terhadap kedua aliran pokok tersebut (Taman Siswa dan INS) seyogyanya
dalam latar Sisdiknas tersebut.
1. Perguruan Kebangsaan Taman Siswa
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa didirikan oleh Ki Hajar Dewantara pada
tanggal 3 juli 1932 di Yogyakarta, yakni dalam bentuk Yayasan, selanjutnya
mulai didirikan Taman Indria (Taman Kanak-Kanak) dan Kursus Guru, selanjutnya
Taman Muda (SD), disusul Taman Dewasa merangkap Taman Guru, dan dikembangkan
meliputi Taman Madya, Prasarjana, dan Sarjana Wiyata. Dengan demikian Taman Siswa telah meliputi semua
jenjang persekolahan.
a. Asas dan Tujuan Taman Siswa
Perguruan Kebangsaan Taman Siswa mempunyai tujuh asas perjuangan untuk menghadapi
pemerintah kolonial Belanda serta sekaligus untuk mempertahankan kelangsungan
hidup bersifat nasional, dan demokrasi. Ketujuh asas tersebut yang secara
singkat disebut “asas 1922” adalah sebagai berikut :
1) Bahwa setiap orang mempunyai hak mengatur
dirinya sendiri dengan mengingat tertibnya pesatuan dalam peri kehidupan umum.
Dari asas pertama ini jelas bahwa tujuan yang hendak dicapai adalah kehidupan
yang tertib dan damai.
2) Bahwa pengajaran harus memberi pengetahuan
yang berfaedah yang dalam arti lahir dan batin dapat memerdekakan diri.
3) Bahwa pengajaran harus berdasar pada kebangsaan
sendiri.
4) Bahwa pengajaran harus tersebar luas
sampai dapat menjangkau kepada seluruh rakyat.
5) Bahwa untuk mengejar kemerekaan hidup yang
sepenuhnya lahir dan batin hendaknya diusahakan dengan kekuatan sendiri, dan
menolak bantuan apapun dan dari siapapun yang mengikat, baik berupa ikatan
lahir maupun batin.
6) Bahwa sebagai konsekuensi hidup dengan
kekuatan sendiri maka mutlak harus membiayai sendiri segala usaha yang
dilakukan.
7) Bahwa dalam mendidik anak-anak perlu
adanya keikhlasan lahir dan batin untuk mengorbankan segala kepentingan pribadi
demi keselamatan dan kebahagian anak-anak.
Ketujuh asas tersebut diumumkan pada tanggal 3 Juli 1922, bertepatan
dengan berdirinya Taman Siswa, dan disahkan oleh kongres Taman Siswa yang
petama di Yogyakarta pada tanggal 7 Agustus 1930.
Selanjutnya, dikemukakan penjelasan resmi dari Perguruaan Kebangsaan
Taman Siswa tentang ketujuh asas 1922 tersebut Ki Hajar Dewantara (1952: 270-271),
wawasan kependidikan guru (1982: 148-151), sebagai berikut :
Pasal pertama: Disinilah kita
dapat saksikan sendiri terkandungya dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Dijelaskan
disitu, bahwa kebebasan tadi bukan kebebasan yang yang leluasa namun kebebasan
yang terbatas dan harus mengingat tertib damainya hdup bersama. Dengan tegas
ayat kedua dalam pasal itu mengemukakan tujuan daripada hidup merdeka tadi
yaitu hidup tertib dan damai; bukan
hanya tertib atau teratur saja namun sebetulnya tak ada rasa damai, namun tak
ada peraturam tertib. Itulah cita-cita tertib, damai yang abadi.
Bagaimana
caranya kita melaksanakan asas ini terhadap anak-anak kita,
barang tentu kita masing-masing dapat menentukan sendiri. Dengan
menyesuaikannya dengan keadaan masing-masing, misalnya : ketertiban dalam kelas
yang dicapai dengan kekerasan. Dengan memukul anak-anak yang ribut dengan kata-kata
yang keras dan kasar, bukanlah ketertiban yang sejati. Ketertiban yang dicapai
dari cara demikian mengakibatkan tertib namun menimbulkan kegelisahan atau
menjauhkan ketenteraman. Dan ketertiban yang demikian tidak akan langgeng .
Termasuk
pula dalam pasal itu dasar kodrat alam, yang diterangkan padanya, untuk
mengganti sistem pendidikan cara aman yang menggunakan perintah, paksaan dan
hukuman. Kemajuan yang sejati hanya diperoleh dengan perkembangan kodrat yang
terkenal sebagai “evolusi”. Dasar kodrat alam inilah yang kemudian mewujudkan among
sistem, dalam cara guru-guru kita
menjadi pamong. Yaitu sebagai pemimpin berdiri dibelakang dengan bersemboyan
“tut wuri handayani”, yakni tetap mempengaruhi dengan memberi kesempatan kepada
anak didik untuk berjalan sendiri, tidak terus menrus dituntun di depan.
Pasal
kedua : Disini masih diteruskan keterangan “dasar kemerdekaan” yakni dengan
kebebasan, bahwa kemerdekaan tadi hendaknya dikenakan terhadap cara anak-anak
berpikir yaitu jangan selalu “dipelopori”, atau disuruh mengakui buah pikiran
orang lain, akan tetapi biasakanlah anak-anak
mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri.
Begitu pula cara anak-anak melakukan sikap batinnya, merasakannya, memelihara
keinsyafannya dan sebagainya hendaknya jangan pula dipelopori namun, berilah
kebebasan secukup-cukupnya kepada mereka.
Pasal
ketiga : Dalam pasal ini terkandung sementara kepentingan yang harus
diperhatikan, sekalipun tidak sampai menjadi dasar atau yang patut dimasukkan
“Keterangan Dasar 1947”. Terdapatlah dalam pasal itu singgungan kepentingan-kepentingan
umumnya disebabkan karena bangsa kita selalu menyesuaikan diri dengan hidup dan
penghidupan kebarat-baratan. Hal ini terdapat pula dalam sistem kependidikan
dan pengajaran, yang terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran hingga
menyuburkan jiwa intelektual dengan segala akibat-akibatnya.
Pasal keempat : Disinilah terdapat dasar
kerakyatan yang tak termasuk “Keterangan Dasar 1947”. Mempertinggi pengajaran
dianggap perlu, namun jangan sampai menghambat tersebarnya pendidikan dan
pengajaran untuk seluruh masyarakat purba. Dalam zaman belanda sudah ada
perguruan-perguruan tinggi, akan tetapi karena sistem pengajaran rakyat masih
sangat primitifnya, maka pelajar-pelajar kebanyakan berasal dari golongan
Belanda dan bangsa asing lainnya yang berkeleluasaan menerima pengajaran
persiapan yang baik dan cukup.
Pasal
kelima : Inilah asas yang sangat
penting bagi semua orang, yang sungguh-sungguh berhasrat mengejar kemerdekaan
hidup yang sepenuhnya. Janganlah
menerima bantuan yang dapat mengikat diri kita, baik berupa ikatan lahir maupun
batin. Boleh kita menerima bantuan dari siapapun juga asalkan tidak mengikat
sedemikian rupa, hingga dapat mengurangi kemerdekaan dan kebebasan kita. Dan
dengan positif tegas dinyatakan disitu, bahwa pokok dari pada asas kita adalah
: Berkehendak mengusahakan kekuatan diri sendiri.
Pasal keenam : Disini terdapatlah syarat yang mutlak dalam kita mengejar
kemerdekaan diri itu, yaitu keharusan untuk membelanjai dengan segala usaha.
Sistem itu mulai dulu terkenal sebagai zelf-begrotings-system, yang bagai
golongan-golongan lain, yang ingin hidup merdeka dan bebas, amat sukarlah
rupanya untuk menirunya. Kesukaran tadi disebabkan, karena untuk menegakkan
sistem membelanjai sendiri tadi diperlukan (sebagai syarat mutlak pula)
keharusan untuk hidup sederhana.
Pasal
ketujuh : Teranglah dalam kepentingan
kita selamat dan bahagianya anak-anak yang kita didik. Kita harus sanggup
mematahkan segala ikatan lahir dan batin yang merancang jiwa raga kita, untuk
dapat “berhamba kepada sang anak” dengan segala hasrat kesucian.
Dalam perkembangan selanjutnya Taman Siswa
melengkapi “Asas 1922” tersebut dengan “Dasar-dasar 1947” yang disebut pula
“Panca Dharma” (Pasal 7, dan nomor pasal-pasal dalam bagian ini, diambil dari
peraturan dasar persatuan taman siswa). Kelima dasar Taman Siswa
tersebut (Ki Mangansarkoro, 1952 dari Wawasan Pendidikan Guru. 1982 : 153-154)
adalah :
1)
Asas
kemerdekaan harus diartikan disiplin pada diri sendiri
oleh diri sendiri atas dasar nilai hidup yang tinggi, baik hidup sebagai
individu maupun sebagai anggota masyarakat. Maka itu kemerdekaan menjadi alat
mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suatu pertimbangan dan
keselarasan dengan masyarakat tertib damai tempat keanggotaannya.
2)
Asas
kodrat alam berarti bahwa pada hakikatnya manusia itu
sebagai makhluk adalah satu dengan kodrat alam ini. Ia tidak bisa lepas dari
kehendaknya tetapi akan mengalami bahagia jika bisa menyatukan diri dengan
kodrat alam yang mengandung kemajuan yang dapat kita gambarkan sebagai
bertumbuhnya tiap-tiap benih sesuatu pohon yang kemudian berkembang menjadi dasar
dan akhirnya berbuah dan setelah menyebarkan benih biji yang baru pohon
tersebut mengakhiri hidupnya, dengan keyakinan bahwa dharmanya akan dibawa
terus dengan tumbuhnya lagi benih-benih yang disebarkan.
3)
Asas
kebudayaan Taman siswa tidak berarti asal memelihara
kebudayaan kebangsaan itu ke arah kemajuan yang sesuai dengan kecerdasan zaman,
kemajuan dunia, dan kepentingan hidup rakyat lahir dan batin tiap-tiap zaman
dan keadaan.
4)
Azas
kebangasaan Taman siswa tidak boleh bertentangan dengan
kemanusiaan, malahan harus menjadi bentuk dan fiil kemanusiaan yang nyata dan
oleh karena itu tidak mengandung arti permusuhan dengan bangsa lain, melainkan
mengandung rasa satu dengan bangsa sendiri, rasa satu dalam suka dan duka, rasa
satu dalam kehendak menuju kepada kebahagiaan hidup lahir dan batin seluruh
bangsa.
5)
Asas
kemanusiaan menyatakan bahwa dharma tiap-tiap manusia
itu adalah mewujudkan kemanusiaan, yang berarti kemajuan manusia lahir dan
batin yang setinggi-tingginya, dan juga bahwa kemajuan kemanusiaan yang tinggi
itu dapat dilihat pada kesucian hati orang
dan adanya rasa kasih terhadap makhluk Tuhan seluruhnya, tetapi cita
kasih yang tidak bersifat kelembekan hati, melainkan bersifat keyakinan adanya
hukum kemajuan yang meliputi alam semesta.
Tujuan
perguruan kebangsaan Taman Siswa dapat dibagi dua jenis yaitu tujuan yayasan
atau keseluruhan perguruan dan tujuan pendidikan.
1. Sebagai yang dinyatakan dalam keterangan
“Asas Taman Siswa” tahun 1922 Pasal 1, tujuan Taman Siswa sebagai badan
perjuangan kebudayaan dan pembangunan masyarakat tertib dan damai.
2. Tertib yang sebenarnya tidak akan ada,
jika tidak ada damai antara manusia. Dan damai antara manusia itu hanya mungkin
ada dalam keadilan sosial sebagai wujud berlakunya kedaulatan dan kemanusiaan,
yang menghilangkan segala rintangan oleh manusia terhadap sesamanya dalam sarat-sarat
hidupnya, serta menjamin terbaginya sarat-sarat hidup lahir batin, secara sama-rata
sama rasa. Sedangkan tujuan Pendidikan (Pasal 13) yaitu : Tujuan pendidikan
Taman Siswa ialah membangun anak didik menjadi manusia yang merdeka lahir
batin, luhur akal budinya, serta sehat jasmaninya untuk menjadi anggota
masyarakat yang berguna dan bertanggung jawab atas keserasian bangsa, tanah
air, serta manusia pada uimumnya.
b. Upaya-Upaya Pendidikan yang Dilakukan Taman Siswa
Peraturan Dasar Persatuan Taman Siswa
menetapkan berbagai upaya yang dilakukan Taman Siswa, baik di lingkungan
perguruan, untuk mencapai tujuannya (seperti yang maksudkan dalam Pasal 8)
Taman Siswa berusaha dengan jalan (Pasal 9) sebagai berikut:
1) Menyelenggarakan tugas pendidikan dalam
bentuk perguruan dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi, baik yang bersifat
umum maupun yang bersifat kejuruan , serta memberi pendidikan itu serba isi
yang baik dan berguna untuk keperluan hidup dan penghidupan masyarakat sesuai
dengan asas, dasar dan tujuan pendidikan Taman Siswa dengan selalu
mengingat/menyesuaikan dengan kecerdasan zaman dan kemajuan dunia.
2) Mengikuti, mempelajari perkembangan dunia
di luar Taman Siswa yang ada hubungannya dengan bidang-bidang kegiatan-kegiatan
Taman Siswa untuk diambil faedah sebaik-baiknya.
3) Menumbuhkan dan memasakkan lingkungan
hidup keluarga Taman Siswa, sehingga dapat tampak benar wujud masyarakat Taman
Siswa yang dicita-citakan.
4) Meluaskan kehidupan ke Taman Siswa-an
diluar lingkungan masyarakat perguruan, sehingga dapat terbentuk wadah yang
nyata bagi jiwa Taman Siswa, agar dengan demikian ada pengaruh timbal balik
antara perguruan/keluarga dan masyarakat sekitarnya pada khususnya, dan
masyarakat luas pada umumnya.
Disamping itu upaya-upaya dalam lingkungan
perguruan, untuk mencapai tujuan Taman Siswa (seperti tersebut pada Pasal 8),
Taman Siswa berusaha diluar lingkungan perguruan dengan jalan (Pasal 10)
sebagai berikut :
1) Menjalankan kerja pendidikan untuk
masyarakat umum dengan dasar-dasar dan
hidup Taman Siswa, baik yang bersifat umum untuk meningkatkan kecerdasan
masyarakat maupun pendidikan karya untuk meningkatkan kecakapan dan kemampuan
hidupnya
2) Menyelenggarakan usaha-usaha
kemasyarakatan dalam masyarakat dalam bentuk-bentuk badan sosial ekonomi yang
dapat memberi bimbingan dan dorongan kegiatan masyarakat dalam perjuangannya
menuju masyarakat bahagia tertib-damai.
3) Bersama-sama dengan instansi-instansi
dengan pemerintahan menyelenggarakan usaha-usaha pembentukan kesatuan hidup
kekeluargaan sebagai pola masyarakat baru Indonesia.
4) Menyelenggarakan usaha pendidikan kader
pembangunan yang tenaganya dapat disumbangkan kepada masyarakat untuk
pembangunan.
5) Mengusahakan terbentuknya pusat-pusat
kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai bidang kehidupan dan penghidupan
masyarakat dengan inti-inti kejiwaan Taman Siswa.
c. Hasil-Hasil yang Dicapai
Yayasan Perguruan
Kebangsaan Taman Siswa yang didirikan Suwardi Suryaningrat (Ki Hadjar
Dewantara) pada tanggal 3 Juli 1922 di
Yogyakarta sampai kini telah mencapai berbagai hal seperti : gagasan/pemikiran
tentang pendidikan nasional, lembaga-lembaga pendidikan dari Taman Indria
sampai dengan Sarjana Wiayata, dan sejumlah besar alumni perguruan (banyak yang
menjadi tokoh nasional, antara lain Ki Hadjar Dewantara, Ki Mangunsarkoro, dan Ki
Suratman). Ketiga pencapaian itu merupakan pencapaian sebagai suatu yayasan
pendidikan, yang juga mungkin dicapai oleh yayasan pendidikan lainnya.
Meskipun Hampir semua upaya
pendidikan yang dilakukan oleh orang
Indonesia di zaman penjajahan adalah sebagai sarana perjuangan
kemerdekaan Indonesia, namun Taman Siswa menduduki tempat khusus dalam peran
perjuangan itu. Seperti diketahui, persatuan dan kesatuan sangat diperlukan
oleh setiap bangsa yang bhineka tunggal ika, seperti di Indonesia.
Akhirnya
perlu dikemukakan harapan seperti yang tercermin dalam Tajuk Rencana
Harian Kompas menyambut kongres ke-16 dan
hari jadi ke-70 Taman Siswa dengan judul :”Menyelenggarakan Kembali Semangat
Humanisme Ki Hadjar Dewantara” yakni perlunya penyegaran untuk mengantisipasi
perkembangan masyarakat yang serba cepat dan tak terduga.
Karena
tanpa penyegaran dan dinamisasi, dapat terjadi Taman Siswa sebagai “Indonesia
Kecil” bisa mengikuti “sesama Taman Siswa” lain yakni perguruan kebangsaan yang
bersemangat nasionalisme yang satu persatu mati, demikian Kompas. Harapan kita
semua penyegaran dan dinamisasi itu akan terus berkembang agar Taman Siswa
dapat maju terus ; seperti diketahui, hari jadi pendiri Taman Siswa itu (2 Mei)
telah ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.
2.
Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
Ruang Pendidikan INS (Indonesia Nederlandsche School) didirikan
oleh Mohammad Sjafei (lahir di Matan, Kalbar tahun 1895) pada tanggal 31
oktober 1926 di Kayu Taman (Sumatra Barat). INS pada mulanya dipimpin oleh
bapaknya, kemudian diambil alih oleh Moh. Sjafei. dimulai dengan 75 orang
murid, dibagi dalam dua kelas, serta masuk sekolah bergantian karena gurunya
hanya satu yakni Moh.Sjafei sendiri. Sekolah ini mengalami pasang surut sesuai
dengan keadaan di Indonesia saat itu, bahkan pada bulan Desember 1948 sewaktu
belanda menyerang ke Kayu Taman, seluruh gedung INS dibumihanguskan, termasuk
ruang pendidikan, pengajaran, dan kebudayaan (RPPK) di Padang Panjang. Pada
tahun 1952, INS mendirikan percetakan
Sridharma yang menerbitkan majalah bulanan “Sendi”dengan sasaran khalayak
adalah anak-anak.
a.
Asas
dan Tujuan Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
Pada awal didirikan, Ruang
Pendidikan INS mempunyai asas-asas sebagai berikut :
1) Berpikir
logis dan rasional
2) Keaktifan
atau kegiatan
3) Pendidikan
Masyarakat
4) Memperhatikan
pembawaan anak
5) Menentang
intelektualisme
Setelah
kemerdekaan Indonesia,
Moh. Sjafei mengembangkan asas-asas
pendidikan INS menjadi dasar-dasar pendidikan Republik Indonesia. Dasar-dasar
tersebut dikembangkan dengan mengintegrasi asas-asas ruang Pendidik INS, sila-sila
dari pancasila, dan hasil analisis alam dan masyarakat Indonesia, serta
pengalaman sebagai guru sekolah Kartini di Jakarta (1914-1922) dan sebagai
pemimpin INS. Dasar-dasar pendidikan
tersebut (Mohammad Sjafei, 1979 : 31-86 ; dan said, 1981 : 57-69) sebagai
berikut :
1) Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa
2) Kemanusiaan.
3) Kesusilaan
4) Kerakyatan
5) Kebangsaan
6)
Gabungan
antara pendidikan ilmu umum dan kejujuran.
7)
Percaya
pada diri sendiri juga pada Tuhan
8) Berakhlak
(bersusila) setinggi mungkin
9)
Bertanggung
jawab akan keselamatan nusa dan bangsa.
10) Berjiwa
aktif dan aktif negatif
11) Mempunyai
daya cipta
12) Cerdas,
logis dan rasional
13) Berperasaan
tajam, halus dan estetis
14) Gigih atau
ulet yang sehat
15) Correct
atau tepat
16) Emosional
atau terharu
17) Jasmani
sehat dan kuat
18)
Cakap
berbahasa Indonesia, Inggris dan Arab
19) Sanggup
hidup sederhana dan bersusah payah
20) Sanggup
mengerjakan sesuatu pekerjaan dengan alat serba kurang.
21) Sebanyak
mungkin memakai kebudayaan nasional waktu mendidik.
22)
Waktu mengajar para guru sebanyak mungkin
menjadi objek, dan murid-murid mejadi subjek. Bila hal ini tidak mungkin barulah para guru menjadi subjek dan murid
menjadi objek.
23)
Sebanyak
mungkin para guru mencontohkan pelajaran-pelajarannya, tidak hanya pandai
menyuruh saja.
24)
Diusahakan
supaya pelajar mempunyai darah ksatria ; berani karena benar.
25) Mempunyai
jiwa konsentrasi
26) Pemeliharaan
(perawatan) sesuatu usaha.
27) Menepati
janji
28) a. Sebelum
pekerjaan dimulai dibiasakan menimbangnya dulu sebaik-baiknya
b. Kewajiban harus dipenuhi
29)
Hemat
Demikianlah dasar-dasar
pendidikan menurut Moh. Sjafei yang mencakup berbagai hal, seperti : syarat-syarat
pendidikan yang efektif, tujuan yang ingin dicapai dan sebagainya.
Sejak didirikan, tujuan Ruang Pendidikan INS Kayu Taman adalah
:
1)
Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.
2) Memberi pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat.
3) Mendidik para pemuda agar berguna
untuk masyarakat.
4) Menanamkan kepercayaan terhadap diri
sendiri dan berani bertanggung jawab
5)
Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.
b. Usaha-Usaha
Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
Terdapat
berbagai usaha yang dilakukan oleh Mohammad sjafei dan kawan-kawan dalam
mengembangkan gagasan dan berupaya mewujudkannya, baik yang berkaitan dengan
Ruang Pendidikan INS maupun tentang pendidikan dan perjuangan/pembangunan
bangsa Indonesia
pada umumnya. Beberapa hal yang perlu dikemukakan adalah memantapkan dan memperluaskan
gagasan-gagasannya tentang pendidikan nasional, pengembangan Ruang Pendidikan
INS (kelembagaan, sarana/prasarana, dan lain-lain), upaya pemberantasan buta
huruf, penerbitan majalah, anak-anak, dan lain-lain.
Beberapa usaha yang dilakukan Ruang Pendidik INS Kayu Taman yang dalam
bidang kelembagaan antara lain menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan,
seperti ruang rendah (7 tahun, setara sekolah dasar), ruang dewasa (4 tahun
sesudah ruang rendah, setara dengan sekolah menengah), dan sebagainya. Perlu
ditekankan bahwa program pendidikan INS tersebut sangat mengutamakan
menggambar, pekerjaan tangan, dan sejenisnya (Mohammad Sjafei, 1979: 87-117).
Terdapat pula program khusus untuk menjadi guru yakni tambahan satu tahun setelah ruang dewasa untuk pembekalan
kemampuan mengajar dan praktek mengajar (Said, 1981 : 57-69). Disamping bidang
kelembagaan itu, Ruang Pendidikan INS Kayu Taman juga menyelenggarakan usaha
lain sebagai bagian mencerdaskan kehidupan bangsa, yakni penerbitan
“sendi”(majalah anak-anak), buku bacaan dalam rangka pemberantasan buta huruf/aksara
dan angka dengan judul “Kunci 13”, mencetak buku-buku pelajaran, dan lain-lain.
(Soedjono, 1958 : 46). Seperti diketahui, upaya-upaya dari Ruang Pendidikan INS
Kayu Taman tersebut dilakukan sebagai usaha mandiri, dan menolak bantuan yang
mungkin akan membatasi kebebasannya.
c. Hasil-Hasil
yang Dicapai Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
mengalami masa pasang surut seirama dengan pasang surutnya perjuangan bangsa
Indonesia. Seperti telah dikemukakan bahwa akibat bumihangus pada penyerangan
Belanda tahun 1948, praktis kegiatan nyata dari INS terhenti, dan baru dimulai
kembali pada tahun 1950. Perkembangannya berlangsung lambat, tetapi tidak mati
seperti beberapa perguruan kebangsaan lainnya. Sebagaimana Taman Siswa, Ruang Pendidikan
INS Kayu Taman juga mengupayakan gagasan-gagasan tentang pendidikan nasional
(utamanya pendidikan keterampilan/kerajinan), beberapa orang alumni telah berhasil menerbitkan salah satu
tulisan Moh. Sjafei yakni Dasar-Dasar Pendidikan (1976), yang ditulis pada
tahun 1968 (cetakan kedua tahun 1979).
Seperti
harapan kepada Taman Siswa, Ruang Pendidikan INS Kayu Taman juga diharapkan
melakukan penyegaran dan dinamisasi, seiring dengan perkembangan masyarakat dan
Iptek. Di samping itu, upaya-upaya pengembangan Ruang Pendidikan INS Kayu Taman
tersebut seyogyanya dilakukan dalam rangka pengembangan Sisdiknas, sebagai
bagian dari usaha mewujudkan cita-cita Ruang Pendidikan INS Kayu Taman, yakni
mencerdaskan seluruh rakyat Indonesia,.
* Tambahan Petunjuk Belajar
Setelah
Anda mempelajari Bab VI ini dengan seksama, kerjakanlah tugas-tugas di bawah
ini :
1.
Bentuklah beberapa kelompok
berpasangan (a 5-10 orang/kelompok) untuk melakukan debat tentang aliran-aliran
pendidikan; satu kelompok setuju (pro, mempertahankan) dan yang lainnya kontra
(mengkritik) tentang satu aliran tertentu. Sesudah berdebat tersebut, tunjuklah
3-5 orang tim perumus (gabungan dua kelompok untuk membuat rangkuman dari debat
itu. Hasil kerja tim perangkum tersebut dilaporkan dalam pleno (kelas).
2. Carilah bahan-bahan
pemberitaan (koran, majalah, dan lain-lain) tentang Taman Siswa, Ruang
Pendidikan INS Kayu Taman atau Aliran Pendidikan lainnya di Indonesia. Diskusikan bahan-bahan
tersebut dalam kelompok-kelompok kecil (3-5 orang), dan buat laporan untuk
disampaikan kepada pleno (kelas).
BAB VII
MASALAH PENDIDIKAN
Pendidikan
mempunyai tugas menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan. Derap langkah
pembangunan selalu diupayakan seirama dengan tuntutan zaman. Sebagai
konsekuensi logis, pendidikan selalu diharapkan pada masalah-masalah baru. Masalah
yang dihadapi dunia pendidikan itu demikian luas, pertama karena sifat
sasarannya yaitu manusia sebagai makhluk misteri, kedua karena usaha pendidikan
harus mengantisipasi ke hari depan yang tidak segenap seginya terjangkau oleh
kemampuan daya ramal manusia. Oleh karena itu, perlu ada rumusan sebagai
masalah-masalah pokok yang dapat dijadikan pegangan oleh pendidik dalam
mengemban tugasnya.
Dengan mengkaji
materi bab VII ini anda akan memahami permasalahan pokok pendidikan, dan saling
kaitan antara pokok tersebut, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangannya
dan masalah-masalah aktual beserta cara penanggulangan.
Lebih rinci Anda akan dapat:
1. Menuliskan 4 macam masalah pokok
pendidikan dan menjelaskannya.
2. Menjelaskan saling hubungan antara masalah-masalah
pokok pendidikan tersebut.
3. menjelaskan pengaruh perkembangan iptek,
pertumbuhan penduduk , dan aspirasi masyarakat terhadap perkembangan masalah
pendidikan.
4. Menjelaskan (dengan memberikan contoh-contoh)
permasalahan aktual pendidikan di tanah air kita serta upaya penanggulannya.
Untuk mencapai tujuan tersebut berikut ini
disajikan materi yang meliputi: Permasalahan pokok pendidikan dan
penanggulangannya.
·
Jenis permasalahan pokok pendidikan dan
penanggulannya.
·
Saling keterkaitan antara masalah pokok
pendidikan.
· Faktor-faktor yang mempengaruhi
perkembangan permasalahan pendidikan.
· Masalah aktual pendidikan di
Indonesia dan penanggulannya.
A.
Permasalahan Pokok Pendidikan dan
Penanggulangannya
Sistem pendidikan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sosial budaya dan
masyarakat.Pembangunan sistem pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika
tidak sinkron dengan pembangunan nasional. Kaitan yang erat antara bidang
pendidikan sebagai suprasistem tersebut di mana sistem pendidikan menjadi
bagiannya , menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahan intern sistem
pendidikan itu menjadi sangat kompleks. Artinya, suatu permasalahan intern
dalam sistem pendidikan selalu ada kaitannya dengan masalah-masalah di luar sistem
pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak
dapat dilepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat sekitarnya,
dari mana murid-murid sekolah tersebut berasal, serta masih banyak lagi faktor-faktor
lainnya di luar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar
tersebut.
Berdasarkan kenyataan
tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sangat kompleks, menyangkut
banyak komponen, dan melibatkan banyak pihak.
Pada dasarnya ada dua
masalah pokok yang dihadapi oleh dunia pendidikan di tanah air kita dewasa ini
yaitu:
a.
Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan
pendidikan.
b.
Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik
dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun ke dalam kancah
kehidupan bermasyarakat.
Yang pertama
mengenai masalah pemerataan, dan yang kedua adalah masalah mutu, relevansi, dan
juga efisiensi pendididkan.
B. Jenis Permasalahan Pokok Pendidikan
Seperti telah dikemukakan pada bagian A, pada bagian ini akan dibahas
empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi kesepakatan nasional yang
perlu diprioritaskan penanggulangannya.Masalah yang dimaksud yaitu:
1. Masalah
pemerataan pendidikan.
2. Masalah
mutu pendidikan.
3. Maslah
efisiensi pendidikan.
4. Masalah
relevansi pendidikan.
Keempat masalah tersebut akan dibahas
secara berturut-turut pada bagian berikut ini :
- Masalah Pemerataan Pendidikan
Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk
memajukan bangsa dan kebudayaan nasional,
pendidikan nasional diharapkan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya
bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan
bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan
itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang
pembangunan.
Masalah
pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga Negara khususnya anak
usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan
karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, ditanah
air kita pemerataan pendidikan itu telah dinyatakan di dalam Undang-Undang No.4
Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada Bab
X1, Pasal 17 berbunyi:
”Tiap-tiap warga Negara Republik Indonesia
mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika syarat-syarat
yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran di sekolah itu dipenuhi”
Selanjutnya
dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, Pasal 10 Ayat 1, menyatakan :
“Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun
diwajibkan belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya.” Ayat 2
menyatakan:”Belajar di sekolah agama yang telah mendapat pengakuan dari menteri
agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.”
Landasan
yuridis pemerataan pendidikan tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan
pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai
akibat penjajahan.
Khusus melalui jalur pendidikan luar
sekolah usaha pemerataan pendidikan mengalami perkembangan pesat. Ada dua faktor
yang menunjang yaitu perkembangan iptek yang menawarkan berbagai macam
alternatif , dan dianutnya konsep pendidikan sepanjang hidup yang tidak
membatasi pendidikan hanya sampai pada usia tertentu dan tidak terbatas hanya
pada penyediaan sekolah.
Perkembangan iptek menawarkan beraneka
ragam alternatif model pendidikan yang dapat memperluas pelayanan kesempatan
belajar dililihat dari segi waktu belajarnya bervariasi dari beberapa jam,
hari, minggu, bulan, sampai tahunan; melalui proses tatap muka, melalui mass
media ataukah jarak jauh; isinya berupa paket terbatas ataukah himpunan
sejumlah paket; sumber belajarnya manusia, barang cetak elektronik, sampai pada
lingkungan alam.
Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak
macam pemecahan masalah yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah untuk
meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa,yaitu melalui cara konvesional dan cara inovatif
- Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil
pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu hasil
pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhadap
calon luarah, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika lurah tersebut terjun
ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen
tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test).
Jadi mutu pendidikan pada akhirnya dilihat
pada kualitas keluarannya. Dengan kata lain apakah keluaran itu mewujudkan diri
sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun
lingkungannya. Kualitas lurah seperti itu disebut nurturant effect.
Masalah mutu pendidikan juga mencangkup masalah pemerataan mutu. Umumnya
kondisi mutu pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah
pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah
perkotaan. Acuan usaha pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem
pendidikan khususnya sistem persekolahan dengan segala jenis dan jenjangnya di
seluruh pelosok tanah air mengalami peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan
situasi dan kondisinya masing-masing.
Pemecahan Masalah Mutu Pendidikan
Meskipun untuk tiap-tiap jenis dan jenjang
pendidikan masing-masing memiliki kekhususan, namun pada dasarnya pemecahan
masalah mutu pendidikan bersasaran pada perbaikan kualitas komponen pendidikan
(utamanya komponen masukan mentah untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi,
dan komponen masukan instrumental) serta mobilitas komponen-komponen tersebut. Upaya
tersebut pada gilirannya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses
pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik, yang akhirnya dapat
meningkatkan hasil pendidikan.
- Masalah Efisiensi Pendidikan
Masalah
efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan
mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika
penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi. Jika
terjadi yang sebaliknya, efisiensinya berarti rendah
Beberapa
masalah efisiensi pendidikan yang penting ialah :
a.
Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan
b. Bagaimana prasarana dan sarana pendidikan
digunakan.
c.
Bagaimana pendidikan diselenggarakan.
d. Masalah efisiensi dalam memfungsikan
tenaga.
Masalah pengembangan tenaga kependidikan
di lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirya
kurikulum baru. Setiap
pembaruan kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari pada pelaksana di
lapangan. Dapat dikatakan umumnya penanganan pengembangan tenaga pelaksana di
lapangan (yang berupa penyuluhan, latihan, lokakarya, penyebaran buku panduan)
sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk dapat siap melaksanakan
kurikulum baru memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat
direncanakan saat berlakunya kurikulum dengan saat mulai dilaksanakan. Dalam masa transisi yang relatif lama ini
proses pendidikan berlangsung kurang efisien dan efektif.
- Masalah Efisiensi dalam Prasarana dan Sarana
Penggunaan
Prasarana dan sarana pendidikan yang tidak efisien bisa terjadi antara lain
sebagai akibat kurang matangnya perencanaan dan sering juga karena perubahan
kurikulum. Gejala lain tentang tidak adanya efisiensi dalam penggunaan sarana pendidikan
yaitu diadakannya dan didistribusikannya sarana pembelajaran tanpa dibarengi
dengan pembekalan kemampuan, sikap dan keterampilan calon pemakai, ataupun
tanpa dilandasi oleh konsep yang jelas.
- Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah relevansi pendidikan
mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat menghasilkan iuran yang sesuai
dengan kebutuhan pembangunan. Iuran pendidikan diharapakan dapat mengisi semua
sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa dan
lain-lain, baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas.
C.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Berkembangnya Masalah Pendidikan
1.
Perkembangan
Iptek dan Seni
a.
Perkembangan Iptek
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan
dengan iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi). Ilmu pengetahuan merupakan hasil
eksplorasi secara sistem dan terorganisasi mengenai alam semesta, dan teknologi
adalah penerapan yang direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat.
b.
Perkembangan Seni
Kesenian
merupakan aktivitas berkreasi manusia, secara individual ataupun kelompok yang
menghasilkan sesuatu yang indah. Berkesenian menjadi kebutuhan manusia, melalui
kesenian manusia dapat menyalurkan dorongan berkreasi (mencipta) yang bersifat
orisinil (bukan tiruan) dan dorongan spontanitas dalam menemukan keindahan.
Dilihat dari segi tujan pendidikan yaitu terbentuknya manusia seutuhnya,
aktivitas kesenian mempunyai andil yang besar karena dapat mengisi pengembangan
dominan efektif khususnya emosi yang positif dan konstruktif serta keterampilan
di samping domain kognitif yang sudah digarap melalui program/bidang studi yang
lain.
2.
Laju Pertumbuhan
Penduduk
Masalah kependudukan dan kependidikan bersumber pada 2 hal, yaitu :
a.
Pertambahan penduduk
b.
Penyebaran penduduk
c.
Menurut Email Salim (Conny R. Semiawan, 19991: 18)
Dari sekarang hingga abad XXI, terus menerus bahan pendudukan akan
terjadi pertambahan jumlah penduduk meskipun gerakan KB berhasil. Sebabnya
karena tingkat kematian, yaitu sebesar 4,5%. Yaitu sebesar 4.5% dari turunnya
tingkat kelahiran, Yaitu sebesar 4.5%. Hal
tersebut juga mengakibatkan berubahnya susunan umur penduduk. Tentang
pertumbuhan penduduk itu Bank Dunia memperkirakan gambaran seperti terlihat
pada tabel di bawah ini.
Tabel
Pemikiran Jumlah Penduduk
Menurut Bank Dunia Tahun 1986
Pertengahan Abad XXI
Tahun
|
1986
|
1990
|
2000
|
2050
|
Penduduk
(juta)
|
166
|
178
|
207
|
355
|
Dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka
penyediaan prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang
terselenggaranya pendidikan harus ditambah. Dan ini berarti beban pembangunan
nasional menjadi bertambah.
Pertambahan penduduk yang dibarengi dengan
meningkatnya usia rata-rata
dan penurunan angka kematian, mengakibatkan berubahnya struktur kependudukan,
yaitu proporsi penduduk usia sekolah dasar menurun, sedangkan proporsi penduduk
usia sekolah lanjutan, angkatan kerja , dan penduduk usia tua meningkat berkat
kemajuan bidang gizi dan kesehatan.
3. Aspirasi Masyarakat
Dalam
dua dasa warsa terakhir ini aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat, khususnya
aspirasi terhadap pendidikan hidup yang sehat, aspirasi terhadap pekerjaan,
kesemuanya ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan. Pendidikan dinggap memberikan jaminan bagi
peningkatan taraf hidup dan pendidikan di tangga sosial. Sebagai akibat dari
peningkatan aspirasi terhadap pendidikan
maka orang tua mendorong anaknya untuk bersekolah, agar nantinya anak-anaknya
memperoleh pekerjaan yang lebih baik daripada orang tuanya sendiri.
Namun demikian tidaklah berarti bahwa
aspirasi terhadap pendidikan harus diredam, justru sebaliknya harus tetap dibandingkan
dan ditingkatkan, utamanya pada masyarakat yang belum maju dan masyarakat di
daerah terpencil, sebab aspirasi menjadi
motor penggerak roda kemajuan.
4. Keterbelakangan Budaya dan Sarana Kehidupan
Keterbelakangan
budaya adalah suatu istilah yang diberikan oleh sekelompok masyarakat (yang
menganggap dirinya sudah maju) kepada masyarakat lain pendukung budaya, kebudayaannya
pasti dipandang sebagai sesuatu yang bernilai dan baik. Semestinya masyarakat
luar itu bukan harus menilainya melainkan hanya melihat bagaimana kesesuaian
kebudayaan tersebut dengan tuntutan zaman. Jika sesuai dikatakan maju dan jika tidak sesuai lalu dikatan terbelakang.
Perubahan
kebudayaan terjadi karena adanya penemuan baru dari luar maupun dari dalam
lingkungan masyarkat sendiri. Kebudayaan baru itu baik bersifat material
seperti peralatan-peralatan pertanian, rumah tangga, transportasi, telekomunikasi
dan non material seperti pangan atau konsep baru tentang keluarga berencana, budaya
menabung, penghargaan terhadap waktu, dan lain-lain. Keterbelakangan budaya
terjadi karena :
v
Letak geografis tempat tinggal suatu masyarakat
(misal terpencil).
v
Penolakan masyarakat terhadap datangnya unsur
budaya baru karena tidak dipahami atau kerena dikhawatirkan akan merusak sendi
masyarakat.
v Ketidakmampuan masyarakat secara ekonomis
menyangkut unsur kebudayaan tersebut.
Sehubungan dengan faktor penyebab terjadinya
keterbelakangn budaya umumnya dialami oleh:
v
Masyarakat daerah terpencil
v
Masyarakat tidak mampu secara ekonomis
v
Masyarakat kurang terdidik
D. Permasalahan Aktual Pendidikan di Indonesia
1. Permasalahan aktual Pendidikan di
Indonesia
Pendidikan selalu menghadapi masalah,
karena selalu terdapat kesenjangan antara apa yang diharapkan dengan hasil yang
dapat dicapai dari proses pendidikan. Permasalahan aktual berupa kesenjangan-kesenjangan
yang pada saat ini dihadapi dan mendesak untuk ditanggulangi.
Beberapa
masalah aktual pendidikan yang akan dikemukakan meliputi masalah-masalah
ketuhanan pencapaian sasaran, kurikulum, peranan guru, pendidikan dasar 9
tahun, dan pendayagunaan teknologi pendidikan
Perlu
dipahami bahwa tidak semua masalah aktual tersebut merupakan masalah baru. Bahkan
ada yang sudah lama. Sudah sejak lama masalah aktual itu kita sepakati untuk
mengatasinya, tetapi dari tahun ketahun hasilnya tetap sama. contoh Pendidikan
Moral Pancasila seperi yang telah diungkapkan tadi.
Berikut ini masalah aktual tersebut
akan dibahas satu persatu.
a. Masalah Keutuhan Pencapaian sasran
Di
dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan nasional bab
11 Pasal 4 telah dinyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional ialah
mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Kemudian dipertegas lagi secara
rinci di dalam GBHN butir 2a dan b, tentang arah dan tujan pendidikan bahwa
yang dimaksud dengan manusia seutuhnya itu adalah manusia yang sehat jasmani
dan rohani, manusia yang memiliki hubungan secara vertical (dengan Tuhan Yang
Maha Esa), horizontal (dengan lingkungan dan masyarakat), dan konsentris
(dengan diri sendiri); yang berimbang antara duniawi dan ukhrawi. Pengembangan
daya pikir dinomorsatukan, sedangkan perasaan dan hati agar memahami nilai-nilai
melainkan harus mengalaminya. Dengan demikian mengalami peserta didik dibuka
kemungkinannya untuk menghayati hal-hal seperti kepercayaan diri, kemandirian, keyakinan,
dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang maha Esa, penghargaan terhadap waktu dan
kerja, kegairahan belajar, kedisiplinan kesetiakawanan sosial, dan semangat
kebangsaan.
b.
Masalah Kurikulum
Pada bagian ini
akan dibahas masalah actual mengenai kurikulum. Masalah kurikulum meliputi masalah konsep dan masalah pelaksanaannya. Yang
menjadi sumber masalah ini ialah bagaimana sistem
pendidikan dapat membekali peserta didik untuk terjun ke lapangan kerja dan
memberikan bekal dasar yang kuat untuk ke perguruan tinggi.
c.
Masalah Peranan Guru
Konsep-konsep baru lahir sebagai cerminan
humanisme yang memberikan arah baru pada pendidikan. Sejalan dengan itu
perkembangan iptek yang pesat menyumbangkan cara-cara
baru yang lebih mantap terhadap pemecahan masalah pendidikan. Sejalan dengan
itu maka guru sebagai suatu komponen sistem pendidikan juga harus berubah.
d.
d. Masalah
Pendidikan Dasar 9 Tahun
Keberadaan pendidikan dasar 9 tahun mempunyai
landasan yang kuat. UU RI Nomor 2 Than 1989 pasal 6 menyatakan tentang hak
warga Negara untuk mengikuti pendidikan sekurang-kurangnya tamat pendidikan
dasar, dan pasal 13 menyatakan tujuan pendidikan dasar. Kemudian PP Nomor 28
Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan dasar
merupakan pendidikan 9 tahun, terdiri atas program pendidikan 6 tahun di SD dan
program pendidikan 3 tahun di SLTP, pasal 3 memuat tujuan pendidikan dasar
yaitu memberikan bekal kemampuan dasar kepada pendidik untuk mengembangkan
kehidupannya sebagi pribadi, anggota masyarakat, warganegara, dan anggota umat
manusia, serta mempersiapkan peserta didik untuk mengikuti pendidikan menengah.
2.
Upaya Penanggulangannya
Beberapa
upaya perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah-masalah aktual seperi telah
dikemukakan pada butir 1, antara lain sebagai berikut:
a. Pendidikan efektif perlu ditingkatkan
secara terprogram tidak cukup berlangsung hanya secara insidental.
b. Pelaksanaan ko dan ekstrakurikuler
dikerjakan dengan penuh kesungguhan, kegigihan dan hasilnya diperhitungkan
dalam menetapkan nilai akhir ataupun pelulusan.
c. Pemilihan siswa atas kelompok yang akan
melanjutkan belajar ke perguruan tinggi dengan
yang akan terjun ke masyarakat merupakan hal yang prinsipil karena pada
dasarnya tidak semua siswa secara potensial mampu belajar di perguruan tinggi .
d. Pendidikan tenaga kependidikan (prajabatan
dan dalam jabatan) perlu diberi perhatian khusus, oleh karena tenga
kependidikan khususnya guru menjadi
penyebab lahirnya sumber daya manusia yang berkualitas untuk pembangunan
e. Untuk pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun,
apa lagi di kaitkan dengan gerakan wajib belajar, perlu di adakan penelitian
secara meluas pada masyarakat untuk menemukan faktor penunjang dan utamanya
faktor penghambatnya .
* Tambahan
Petunjuk Belajar
- Bentuklah Kelompok diskusi kelompok 3-5 orang
- Usahakan setiap orang diberikan no urut.
- Buatlah kesimpulan permasalahan pendidikan di Indonesia yang di anggap mendasar sampai sekarang.
- Hasil kesimpulan dari kelompok akan dipresentasikan di depan kelas oleh salah seorang anggota dengan melalui lot.
DAFTAR PUSTAKA
Bloom, B.S., Hastings, J.T., dan
Madaus, G.G. (1971). Handbook on Formative
and Summative Evaluation of Student Learning. New York: McGraw-Hill.
Conny R. Semiawan. (1990/1991). Hakikat Pendidikan di
Sekolah Dasar. Makalah' yang disajikan
dalam Penataran Calon
Penatar dalam rangka Persiapan Penyelenggaraan Program D-II PGSD,
P2TK Ditjen Dikti Depdikbud, Juni-Agustus 1990 di Bogor.
Dedi Supriadi. 1990.
“Globalisasi: Dunia Tanpa Tapal Batas” (Tinjauan Buku). Mimbar Pendidikan. Jurnal
Pendidikan NO. 4 Tahun IX. H. 60
.
Depdikbud. Filsafat Ilmu. Materi Dasar
Pendidikan Program Akta Mengajar V, Buku IA. (1981). Jakarta: Proyek PIPT
Ditjen Dikti Depdikbud.
Depdikbud. 1992. Kurikulum
Pendidikan Tenaga Kependidikan Sekolah Menengah Program S1: Buku Ketentuan-Ketentuan Pokok Kurikulum
Pendidikan Prajabatan Tenaga
Kependidikan dan Strategi Pengembangannya. Jakarta: P2TK
Ditjen Dikti Depdikbud. Ditjen
Pembinaan Pers dan
Grafika Deppen RI.
(Januari 1992). “Pengembangan
Jaringan Informasi.” Makalah yang Disajikan dalam Konvensi Nasional Pendidikan
Indonesia II di Medan, 4-8 Februari 1992.
Emil Salim. 1990.
“Pembekalan Kemampuan Intelektual untuk Menjinakkan Gelombang Globalisasi”
(Hasil Wawancara). Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX.
h. 8-13.
Faure, Edgar, et.al.
1981. Belajar untuk Hidup: Dunia Pendidikan Hari Kini dan Hari Esok. (Terjemahan/Edisi
Bahasa Indonesia oleh PT Bhratara Karya Aksara). Jakarta: Unesco-Bhratara.
(Buku Asli Tetbit 1972).
Fuad Hassan. 1986.
“Mendekatkan Anak Didik Pada Lingkungan, Bukan Mengasingkannya” (Dialog). Prisma. No. 2 Tahun
XV. h. 39-44.
Hameyer. Uwe. 1979. School Curriculum in
the Context of Lifelong Learning.
Hamburg:
UNESCO Institute for Education.
Howsam. R.B., Corrigan,
D.C., Denemark, G.W., & Nash,
R.J.. 1976. Educating a Profession. Report
of the Bicentennial Commission on Education for the Profession of Teaching
of the American Association of Colleges for Teacher Education. Washington, D.C.:
American Association of Calleges for Teacher Education.
Johnson., D.W., & Johnson, P.P. 1975. Joining
Together, Group Theory and Group Skill. Englewood, N.J.: Pretice-Hall.
Ketetapan-Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat RI 1978. (1978). Surabaya: Bina Ilmu.
Koentjaraningrat. 1974. Kebudayaan, Mentalitet dan
Pembangunan. Bungarampai, Jakarta: Gramedia.
Depdikbud. Komunikasi Pendidikan. Program
Akta Mengajar V-B Komponen Bidang Studi Teknologi Pengajaran. Buku Modul 22-DIK.
(1982/ 1983), Jakarta: Proyek PIPT, Ditjen Dikti Depdikbud.
Makagiansar, Makaminan. 1990. “Dimensi dan Tantangan
Pendidikan dalam Era Globalisasi.” (Hasil Wawancara). Mimbar Pendidikan. Jurnal
Pendidikan No. 4 Tahun IX. h. 5-7.
Buchori, Mochtar. 1990.
“Menyongsong Globalisasi: Dibutuhkan Loncatan Konseptual dan Kepemimpinan
Intelektual.” (Hasil wawancara). Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan
No. 4 Tahun IX. h. 17-23.
Ansyar, Mohd. 1992.
“Proses Pendidikan Guru dalam Arus Perubahan.” Makalah yang disajikan dalam
Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia II di Medan, 4-8 Februari 1992.
Mouly, G.J.. 1963.
“Perkembangan Ilmu.” Dalam Jujun S. Suriasumantri (Ed.) (1978). Ilmu dalam Perspektif (h.
87-98), Jakarta: Gramedia.
Notosusanto, Nugroho. 1984. Menegaskan
Wawasan Almamater. Jakarta: Ul-Press.
Sudarsono, Pratiwi. 1990. “Globalisasi sebagai Peluang
untuk Mengembangkan Diri.” (Hasil wawancara). Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun
IX. h. 14-16.
Profesionalisasi Jabatan Guru.
Program Akta
Mengajar V-B Komponen Bidang Studi Teknologi Pengajaran, Buku II Modul No. 41B-DIK.
(1983), Jakarta: Proyek PIPT Ditjen Dikti Depdikbud.
Raka Joni, T. 1984. Penelitian
Pengembangan dalam Pembaruan Pendidikan. Jakarta: P2LPTK Ditjen Depdikbud.
—————. 1983. Cara Belajar Siswa
Aktif, Wawasan Kependidikan, dan Pembaruan Pendidikan Guru (Pidato
Pengukuhan). Malang: IKIP Malang.
—————. 1981. Pembinaan Staf
Akademik Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan, Permassalahan dan
Pendekatan. Jakarta: P3G Depdikbud.
Refleksi: “Budaya Dunia”. 1990. Mimbar
Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX h. 3-4.
Sajidiman. 1972. “Membangun Manusia Indonesia untuk
Mencapai Masyarakat Pancasila.” Dalam Laporan Hasil-Hasil Pertemuan Diskusi
Tjibulan V, 5-7 Mei 1972, di Tjibulan Bogor.
Hamijoyo, Santoso S.
1990. Lima Jurus Strategi Dasar Pendidikan Nasional dalam Era Globalisasi.
Mimbar Pendidikan. Jurnal Pendidikan No. 4 Tahun IX h. 30-35.
La Sulo, Sulo Lipu. 1992. “Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD),
Permasalahan. dan Pengembangannya.” Makalah
yang disajikan dalam Konvensi
Nasional Pendidikan Indonesia II di Medan, 4-8 Februari 1992.
—————. 1990. Penelaahan Kurikulum Sekolah. Ujung
Pandang: FIP IKIP Ujung Pandang.
Sekretariat Bersama. 1989. Pengembangan
Pendidikan Pra-Jabatan Guru Sekolah Dasar. Jakarta: P2TK Ditjen Dikti
Depdikbud.
Dirdjosoemarto, Soedjojo. dan Abdurachman.
1990. Materi Pokok Pendidikan IPA 2. Buku I Modul 7-12.
Jakarta: P2TK Ditjen Dikti Depdikbud.
Undang-Undang tentang
Sistem Pendidikan Nasional
(UU Rl No. 2
Tahun 1989) dan Peraturan Pelaksanaannya. Jakarta: Sinar Grafika..
Senarai
Globalisasi Bumi sebagai kesatuan seakan
akan tanpa tapal batas kenegaraan (global berarti utuh, kebulatan, menyeluruh).
Transparan Tembus pandang, jernih,
terbuka sehingga dapat diamati oleh setiap orang.
Limpahan Merembes ke segala arah
karena meluap atau terlalu penuh.
Empiris Pengalaman, sesuatu yang
ditangkap oleh alat indra (indrawi).
Induktif Cara kerja (seperti
berpikir) dari yang khusus (fakta, data) menuju ke yang umum (generalisasi,
kesimpulan).
Deduktif Cara kerja (seperti
berpikir) dari yang umum (teori, prinsip) menuju ke yang khusus (contoh sehari-hari).
Sistematik Runtun, teratur, menurut
aturan tertentu (sistematis).
Sistemik Secara sistem, menurut
sistem (keseluruhan dari bagian yang terkait secara fungsional).
Antisipasi Upaya/gerakan untuk
menyongsong sesuatu yang akan terjadi.
Dampak instruksional Dampak yang secara sengaja diraneang terjadi
dalam pengajaran untuk mencapai tujuan (instructional effect).
Dampak pengiring Dampak yang ikut terjadi sebagai akibat
kegiatan tertentu (nurturant effect).
Internalisasi Proses menjadi internal (di
dalam), penghayatan.
Taksonomi Pengelompokan berdasarkan
jenis dan atau jenjang, seperti taksonomi tujuan pendidikan.
Sisdiknas Sistem pendidikan
nasional, sistem pendidikan yang diatur dalam UU RI No. 2 tahun 1989.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar